Buka konten ini
Dalam beberapa tahun terakhir, wajah urban Kota Batam, Bandar Dunia Madani, berubah signifikan. Tumbuh satu fenomena yang mencolok di sudut-sudut kota: kafe. Tidak hanya sebagai tempat minum kopi, kafe kini menjelma sebagai ruang sosial baru yang merangkum gaya hidup, ekspresi kreatif, peluang usaha, bahkan cinta.
DINAS Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Batam mencatat jumlah kafe meningkat tajam dari sekitar 360 unit pada 2020 menjadi lebih dari 1.200 kafe pada 2023. Sebuah pertumbuhan hampir empat kali lipat dalam waktu tiga tahun. Bahkan, Kepala Disbudpar Batam, Ardiwinata, menyebut angka riil bisa mencapai 3.000 jika dikategorikan sebagai bagian dari restoran.
“Memang kafe di Batam kian banyak. Ini menunjukkan kota ini semakin maju dan iklim berusaha semakin berkembang,” katanya, Sabtu (7/6).

Menurutnya, geliat bisnis kafe menandakan denyut ekonomi yang terus hidup. “Batam bisa kita simpulkan sebagai primadona buat siapa pun untuk berusaha,” tambahnya.
Ledakan jumlah kafe ini tidak bisa dipisahkan dari tren konsumsi masyarakat, terutama kalangan muda. Kafe menjadi tempat bertemu, bekerja, berkreasi, hingga bernostalgia. Ruang seperti ini dibutuhkan sebagai pelengkap interaksi sosial yang tak tergantikan oleh layar ponsel.
Akan tetapi, geliat itu juga beririsan dengan tantangan. Bagi pelaku usaha, pasar kafe di Batam tergolong menjanjikan, namun tidak murah. Haykal, Manager Amati Kopi, mengungkap bahwa memulai bisnis kafe bisa memerlukan modal hingga miliaran rupiah. “Untuk berbisnis kafe di Batam cukup menjanjikan. Hanya saja butuh modal yang besar,” ujarnya, saat berbincang dengan Batam Pos, Sabtu (7/6) malam.
Amati Kopi berdiri sejak akhir 2018. Cabang pertama dibuka di kawasan Buana Central Park. Setelah lima tahun, mereka memilih untuk pindah ke Tiban, salah satu kawasan padat penduduk yang kini menjadi titik baru pertumbuhan bisnis kafe.
“Kami anggap di Buana masih ada cabang kami, tapi pusat sekarang di Tiban,” katanya.
Amati mengusung konsep unik: menjadikan kafe se-perti rumah. Nama ”Amati” sendiri diambil dari bahasa Arab yang berarti ”ibu”, sosok yang menurut Haykal paling tahu bagaimana membuat rumah menjadi nyaman. Customer bukan lagi pembeli, tapi mereka anggap sebagai tamu yang datang ke rumah.
Di tengah gempuran kafe baru dengan berbagai konsep, ia mengaku tak merasa tersaingi. Ia melihat industri ini sebagai ruang yang terus tumbuh. “Semakin banyak buka, orang makin banyak pilihan. Pun nanti akan tersaring sendiri,” ujarnya dengan yakin.
Meski begitu, dia menyadari Batam perlahan mengikuti arah kota-kota besar lain seperti Jakarta dalam mengembangkan konsep kafe. Namun Amati tetap setia dengan pendekatan yang lebih personal dan tenang, tanpa tergoda untuk mengadopsi konsep semi-bar atau live music.
“Kalau di Jakarta sekarang lebih main ke konsep, Batam sedang menuju ke arah itu,” katanya.
Sementara itu, bagi pelaku usaha skala kecil seperti warung kopi, fenomena ini menimbulkan perasaan campur aduk. Azhari Yusuf Hasibuan, seorang pengusaha kopi dan penikmat kopi sejati, menyebut kebiasaan ngopi telah mengakar dalam keseharian warga Batam.
“Ngopi ini sudah jadi kebiasaan kita, warga Batam. Banyak yang sudah paham cara menikmati kopi,” katanya, Minggu (8/6).
Namun ia juga mengingatkan soal keterbatasan pasar lokal. Menurutnya, Batam masih seperti “kolam” cukup baik untuk tumbuh, tapi belum cukup luas untuk menjadi besar.
“Kalau ingin menjadi naga, ya harus keluar dari Batam. Tapi kalau tetap di Batam, kita akan tetap menjadi kepala ayam,” kata Azhari, menggunakan analogi yang dalam namun menyentil.
Meski demikian, dia tetap optimistis. Ia menyarankan agar pengusaha kafe maupun barista di Batam terus menekuni usahanya dan meningkatkan kualitas diri. “Batam tetap punya peluang. Tapi harus lebih dalam menggali potensi,” tambahnya.
Dari segi bahan baku, para pelaku usaha di Batam kini sudah lebih mengenal ragam kopi. Mulai dari Arabika, Robusta, hingga Liberika. Semua tersedia dan mulai diolah dengan lebih kreatif. Bahkan kini hadir varian seperti kopi susu gula aren dan berbagai campuran kekinian lainnya.
Di sisi lain, keberadaan kafe juga turut menggerakkan sektor lain seperti desain interior, pemasok bahan makanan, hingga pekerja lepas kreatif. Bagi banyak anak muda, menjadi barista kini bukan lagi pekerjaan sambilan, tapi karier yang bisa dijalani dengan bangga.
Tren Ekonomi Baru
Fenomena menjamurnya kedai kopi atau coffee shop di Batam kini menjadi salah satu daya tarik utama masyarakat lintas usia.
Hal tersebut disampaikan oleh Stephane Gerald Martogi Siburian, pemilik salah satu kafe di Batam yang juga menjabat sebagai Staf Khusus BP Batam. “Di masa pandemi, masyarakat tetap membutuhkan makanan dan minuman favorit mereka. Dari situ banyak pelaku usaha melihat peluang besar. Modal memulai bisnis ini cukup variatif, mulai dari skala UMKM hingga investasi miliaran rupiah,” ujar Stephane, Kamis (5/6).
Untuk membuka kafe di kawasan ruko, misalnya, modal awal yang dibutuhkan berkisar dari Rp300 juta. Namun banyak juga pelaku UMKM yang memulai dengan modal lebih kecil. Di kawasan Bengkong, menurut Stephane, ada kafe yang berkembang dengan investasi hingga miliaran rupiah. “Dulu saat pandemi, banyak yang FOMO, buka kafe karena tren. Tapi sekarang pasarnya mulai sehat dan stabil. Hanya saja, tidak sedikit juga yang tutup dalam enam bulan hingga setahun,” ungkapnya.
Uniknya, Stephane juga terlibat dalam rantai pasok bisnis ini. Ia menyuplai kopi dan mesin kopi ke sejumlah kafe. “Banyak yang mulai dari mesin kopi seharga Rp10 juta, tapi ada juga yang di atas Rp100 juta. Kalau mereka tutup, kami juga kadang membeli kembali mesin-mesin itu,” jelasnya.
Selain membuka lapangan pekerjaan, keberadaan coffee shop juga memberikan ruang kerja fleksibel bagi banyak mahasiswa. Rata-rata kafe mempekerjakan tiga hingga empat staf tetap, namun jumlahnya meningkat saat akhir pekan dengan tambahan tenaga paruh waktu.
“Ini sangat membantu mahasiswa yang ingin sambil kerja. Mereka bisa menambah pemasukan sambil tetap kuliah,” kata Stephane.
Tidak hanya itu, efek ekonomi dari bisnis ini menjalar ke sektor lain. Bahan baku seperti kopi, sayuran, hingga makanan ringan tak selalu berasal dari vendor besar, melainkan juga dari pasar tradisional dan pelaku UMKM lokal. “Ini yang saya sebut multiplier effect. Ekonomi tidak hanya berputar di anak muda, tapi juga menyentuh pelaku pasar tradisional,” imbuhnya.
Kawasan Batam Center dan Bengkong dulunya menjadi pusat konsentrasi kafe. Namun kini, geliat bisnis serupa juga mulai tumbuh di Sekupang, Batuaji, Sagulung, bahkan Nongsa.
“Harga menunya pun sama, di atas Rp30 ribu. Ini menunjukkan daya beli masyarakat di pinggiran kota juga meningkat. Mereka tak perlu lagi ke pusat kota untuk menikmati suasana kafe,” tambah Stephane.
Stephane menyebut, banyak pelaku usaha kafe tidak hanya menjual makanan dan minuman, melainkan juga menghadirkan konsep tempat nongkrong yang Instagramable, terutama untuk menarik segmen pasar perempuan muda. “Budaya ngopi di Indonesia sudah jadi bagian dari kehidupan. Baik itu pertemuan bisnis, pekerjaan, atau sekadar hiburan. Kafe menjadi pilihan tempat yang nyaman dan fungsional,” ujarnya.
Menurutnya, dukungan pemerintah terhadap pertumbuhan sektor ini cukup signifikan. Selain memperluas lapangan kerja, geliat ekonomi dari kafe dan coffee shop juga menjadi indikator kebangkitan sektor konsumsi masyarakat pasca-pandemi.
Jadi Magnet Gaya Hidup Baru
Tren menjamurnya kedai kopi di Kota Batam menjadi fenomena gaya hidup baru yang merambah berbagai kalangan, dari pelajar, mahasiswa, pekerja kantoran, hingga pencinta musik. Salah satu yang kini menjadi sorotan adalah Cincai Cafe yang berlokasi di kawasan Komplek KBC, Batam Center.
Berawal dari Baloi, Lubukbaja pada 2020, Cincai Cafe kini bertransformasi menjadi tempat nongkrong favorit berkonsep kekinian yang mengedepankan suasana santai, live musik, dan cita rasa menu yang terjangkau.
“Kami melihat gaya hidup anak muda Batam yang gemar nongkrong dan kalangan pekerja yang mendambakan keseimbangan antara pekerjaan dan waktu luang. Maka, kami ingin menciptakan suasana yang nyaman bagi siapa pun untuk melepas penat setelah bekerja,” ujar Manager Cincai Cafe, Nelly, saat ditemui, Senin (9/6).
Menurutnya, Cincai Cafe tidak hanya menawarkan secangkir kopi atau tempat duduk nyaman, tapi juga menghadirkan pengalaman hiburan berbeda. Salah satunya adalah pertunjukan live musik yang berlangsung rutin setiap malam, mulai Rabu hingga Minggu. Tak jarang, Cincai Cafe juga menghadirkan musisi nasional seperti Banda Neira dalam tur mereka, serta band Bleach hasil kerja sama dengan pengelola event profesional.
“Live musik kami kurasi dengan konsep dan kualitas berbeda. Selain itu, area outdoor kami cukup luas dan bisa menampung hingga 500 orang. Bahkan baru-baru ini kami mengadakan nobar timnas Indonesia dan sambutannya luar biasa,” kata Nelly.
Lebih dari sekadar tempat nongkrong, Cincai Cafe kini tengah mempersiapkan konsep baru bernama Kulinari Kanopi yang akan diluncurkan pada Juli 2025. Dalam program ini, pihaknya akan menggandeng pelaku UMKM kuliner lokal untuk memasarkan produk-produk unggulan di area cafe.
“Kami ingin mendukung pelaku UMKM di Batam agar punya ruang eksposur lebih luas. Jadi Cincai Cafe bukan cuma tempat minum kopi saja,” ujarnya.
Dari sisi menu, Cincai Cafe menyajikan beragam pilihan mulai dari kopi, minuman non-kopi, hingga makanan ringan dan berat yang cocok untuk semua usia. Harga yang ditawarkan juga terjangkau, mulai dari Rp18 ribu dengan berbagai promo menarik setiap minggunya. Ruang indoor cafe pun tak kalah luas, cocok untuk kegiatan korporat, gathering bahkan tengah disiapkan untuk menyambut permintaan acara pernikahan dalam waktu dekat.
Di tengah persaingan ketat industri kopi di Batam, Nelly mengakui bahwa kekuatan media sosial memegang peranan penting dalam membangun brand. Namun ia menekankan bahwa bukan hanya soal tampilan Instagramable melainkan bagaimana menyuguhkan branding yang otentik dan relevan dengan gaya hidup masyarakat urban saat ini.
“Media sosial itu penting. Tapi bukan sekadar tampilan, melainkan bagaimana kita membangun pengalaman yang membuat orang ingin datang kembali,” kata dia.
Jadi Penopang Ekonomi Baru
Kawasan Batuaji dan Sagulung dikenal sebagai daerah dengan jumlah penduduk terpadat. Dalam beberapa tahun terakhir, daerah ini menunjukkan geliat yang luar biasa dengan menjamurnya kafe dan pusat kuliner yang tidak hanya menjadi tempat bersantai, tetapi juga menjadi simpul baru perekonomian masyarakat.
Setelah pandemi Covid-19 mereda, geliat bisnis di dua wilayah ini semakin hidup. Banyak pusat perbelanjaan dan pertokoan yang sebelumnya sepi kini mulai padat dengan kehadiran berbagai kafe dan tempat makan. Fenomena ini menjadi sinyal positif terhadap pemulihan ekonomi lokal, di mana pelaku usaha dan pekerja yang bergelut di bidang ini mendapatkan ruang untuk tumbuh dan berkembang.
Kawasan Tunas Regency dan Pertokoan Cipta Gran City di Sagulung menjadi contoh nyata bagaimana bisnis kuliner berkembang pesat. Puluhan kafe dan tempat nong-krong berdiri berjejer, masing-masing menawarkan keunikan tersendiri. Ada kafe yang mengedepankan suasana nyaman, sementara yang lain menonjolkan kekayaan cita rasa kuliner khas Nusantara yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung.
Salah satu tempat yang cukup populer adalah Kafe Hob yang berada di kawasan Pasar Fanindo, Batuaji. Kafe ini dikenal dengan suasana adem dan nyaman, menjadikannya pilihan favorit untuk bersantai. Tak hanya menyuguhkan makanan dan minuman lengkap dengan harga terjangkau, kenyamanan pelanggan juga menjadi prioritas, menciptakan pengalaman yang menyenangkan bagi pengunjung dari berbagai kalangan.
Tak kalah menarik adalah kafe-kafe yang berada di sekitar kawasan SP Plaza. Keberagaman konsep dan menu yang ditawarkan oleh kedai kopi di sini menjadi magnet tersendiri. Beberapa kedai bahkan menciptakan suasana tematik dan menyuguhkan kopi khas daerah, yang makin memperkaya ragam pilihan masyarakat setempat dalam menikmati waktu luang.
Camat Sagulung, M Hafiz Rozie, mengakui pertumbuhan pesat pelaku usaha, baik dari kalangan UMKM maupun usaha berskala besar. Ia menilai bahwa perkembangan ini harus tetap dijaga dan diarahkan sesuai regulasi yang berlaku.
”Kami berharap para pelaku usaha tetap mematuhi aturan yang ada agar pertumbuhan ekonomi ini berkelanjutan dan tidak merugikan masyarakat sekitar,” ujarnya.
Senada dengan itu, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batam, Ardi Winata, turut menyampaikan bahwa geliat usaha kafe, rumah makan, hingga hotel memberikan kontribusi positif terhadap sektor pariwisata. Menurutnya, kombinasi antara pelayanan, kuliner, dan kenyamanan bisa menjadi kekuatan utama dalam menarik wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.
Kehadiran berbagai usaha kuliner ini tidak hanya berdampak pada perputaran uang yang meningkat, tetapi juga menciptakan banyak lapangan kerja. Dari barista, juru masak, hingga staf layanan, semua ikut terdampak positif. Selain itu, meningkatnya kunjungan ke kafe-kafe tersebut ikut menggairahkan sektor pendukung lainnya seperti penyedia bahan makanan, transportasi, dan jasa kebersihan.
Aldi, salah satu pelaku usaha kafe yang baru merintis di Sagulung, mengatakan bahwa dukungan dari masyarakat dan pemerintah menjadi dorongan besar bagi pebisnis pemula.
”Selama operasional kafe mengikuti aturan, kami merasa cukup nyaman untuk menjalankan usaha,” ungkapnya.
Diburu Meski di Ujung Kota
Lain lagi dengan kawasan Nongsa yang dahulu dikenal sebagai wilayah paling tenang di Batam, kini menjadi tujuan wisata kuliner dan suasana. Hadirnya kafe-kafe berkonsep alam memberikan rasa berbeda untuk pengunjung seperti untuk melepas penat sembari menikmati nikmatnya kopi dan kudapan.
Sebuah pelarian kecil di ujung kota, yang mampu menyuguhkan lebih dari sekadar secangkir kopi. Ia menyuguhkan pengalaman. Sebuah cerita yang menunggu untuk dibagikan.
Jalan berkelok menuju Kampung Terih, Sambau, Nongsa, Batam, tak menyurutkan langkah para pemburu senja dan kopi. Di ujung kota ini, tepat di samping gapura Kampung Tua Terih, berdiri sebuah kafe berkonsep taman terbuka yang semakin hari kian ramai dibicarakan, Sunmofee Tropical namanya.
Meski untuk mencapainya setiap pengunjung harus melewati kawasan Tempat Pemakaman Umum (TPU) Nongsa, nyatanya kafe ini justru menyuguhkan nuansa yang bertolak belakang—penuh warna, alami, dan menenangkan. Dikelilingi taman dengan bunga-bunga tropis dan pohon rindang, Sunmofee menyambut tamu dengan udara segar dan deretan tempat duduk bergaya piknik yang menyatu dengan alam.
Tak hanya suasananya yang menarik, dari kafe ini pengunjung dapat menyaksikan pemandangan Kota Batam dari kejauhan. Gedung-gedung pencakar langit tampak menonjol dari balik bukit, menciptakan kontras indah antara kota dan alam.
“Kalau sore, apalagi menjelang malam, lampu-lampunya bikin suasana jadi magis,” ujar Alya, pengunjung asal Bengkong, yang sengaja datang sore hari untuk menikmati matahari tenggelam.
Sunmofee buka mulai pukul 15.00 hingga 22.00 WIB. Fasi-litasnya pun cukup lengkap—musala, toilet bersih, area parkir luas, bahkan rooftop yang menjadi incaran pengunjung yang ingin menikmati panorama hijau dari ketinggian. Di sekeliling kafe, pengelola juga menata taman buah dan bunga yang dapat dijelajahi sambil menunggu pesanan.
Nostalgia Alam yang Tersembunyi
Masih di wilayah Nongsa, satu lagi kafe berkonsep unik juga menjadi tujuan favorit warga Batam, Roemah Pohon. Terletak di Batubesar, kafe ini tidak berada di tepi jalan utama, melainkan masuk ke dalam sekitar 200 meter dari jalan besar. Namun lokasinya yang tersembunyi justru menjadi daya tarik tersendiri.
Begitu memasuki area kafe, pengunjung langsung disambut suasana jadul yang hangat. Area barista di bagian depan didekorasi dengan pernak-pernik klasik, mulai dari teko enamel, kursi rotan, hingga radio tua yang masih menyala. Sentuhan vintage itu berpadu manis dengan hijaunya taman dan rindangnya pepohonan besar yang menaungi beberapa bangunan kecil di atas pohon.
Ya, Roemah Pohon menawarkan sensasi menikmati kopi di atas ketinggian. Pengunjung bisa memilih duduk lesehan sambil berselonjor, atau duduk santai di kursi kayu yang tersedia di tiap “rumah pohon”.
“Buat kami yang capek de-ngan hiruk pikuk kota, tempat kayak gini tuh kayak pelarian. Tenang, adem, dan unik,” kata Haris, pengunjung dari Tiban, yang mengaku baru pertama kali ke tempat ini tapi langsung jatuh hati.
Selain itu, di Roemah Pohon, pengunjung juga menikmati sejumlah pernah pernik, dan jejeran buku yang bisa dibaca secara gratis.
Mendorong kebangkitan UMKM dan ekonomi, geliat kafe dan cofee shop menawarkan beragam konsep untuk menarik tak hanya bagi warga Batam. Tetapi juga memberikan peluang lebih bagi pelaku wisata untuk menawarkan para wisatawan domestik dan mancanegara untuk menjajal aneka kuliner dan nuansa baru di Batam.
Apa yang terjadi di Batam mencerminkan bagaimana kafe telah menjadi lebih dari sekadar tempat ngopi. Ia adalah cermin zaman, tempat di mana ekonomi, gaya hidup, dan aspirasi bertemu dalam satu cangkir. Dan di kota yang dulunya dikenal hanya sebagai kawasan industri dan perdagangan, kini menjadi era identitas baru sebagai kota gaya hidup. (***)
Reporter : ARJUNA – AZIS MAULANA – EUSEBIUS SARA – YASHINTA
Editor : RYAN AGUNG