Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman meminta Satgas Pangan Mabes Polri mengusut dugaan sabotase dalam distribusi beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Jakarta. Ia menilai, arus keluar beras yang tidak wajar dari pasar tersebut berdampak langsung pada penurunan stok dan kenaikan harga beras di pasaran.
Padahal, kata Amran, stok beras nasional saat ini sedang melimpah. Bahkan menurutnya, stok beras kali ini merupakan yang tertinggi sejak era 1960-an. Di tengah melimpahnya stok, Malaysia diketahui sedang melobi Indonesia untuk membuka ekspor beras.
“Kalau ada yang memainkan distribusi atau mengotak-atik data stok beras di Cipinang, itu sama saja dengan sabotase terhadap upaya pemerintah menjaga ketahanan pangan,” ujarnya di kantor Kementan, Jakarta, kemarin (3/6).
Untuk itu, Amran meminta Satgas Pangan menyelidiki informasi yang menyebutkan lebih dari 11 ribu ton beras keluar dari PIBC hanya dalam satu hari. Ia juga mempertanyakan, apakah angka tersebut benar atau hanya manipulasi data untuk memengaruhi harga di pasar.
Buka Data
Pernyataan Amran merespons data kenaikan harga beras yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (2/6). Ia menyebut ada kejanggalan karena harga gabah di tingkat petani justru sedang turun.
“Sekarang saya balik tanya. Kalau harga di petani turun, seharusnya harga eceran ikut turun, bukan naik,” ujarnya.
Amran menunjukkan data BPS yang memperlihatkan penurunan harga di penggilingan, namun di sisi lain harga eceran justru naik. Ia menduga penyebabnya adalah aliran keluar beras dalam jumlah besar dari PIBC secara tidak wajar.
Dijelaskan Amran, pada 28 Mei 2025 tercatat 11.410 ton beras keluar dari PIBC. Padahal, rata-rata harian dari 2020 hingga awal Juni 2025 hanya sekitar 1.000-2.000 ton. Pernah tercatat hingga 3.000 ton dalam sehari, tetapi itu sangat jarang.
“Kalau satu truk membawa 10 ton beras, berarti ada 1.141 truk keluar dari Pasar Induk Cipinang dalam satu hari,” kata Amran.
Aliran keluar yang tak wajar ini menyebabkan stok di PIBC anjlok. “Kalau stok menurun drastis, tentu harga akan naik. Sebaliknya, jika stok melimpah, harga akan stabil,” tambahnya.
Ia mengingatkan agar tidak ada tengkulak atau middleman yang mengambil untung besar dari rantai pasok beras, sementara petani tetap mendapat penghasilan minim. Amran menyebut rata-rata petani dengan lahan kurang dari satu hektare hanya memperoleh Rp1 juta hingga Rp1,5 juta, sedangkan middleman bisa meraup keuntungan berlipat.
“Artinya, ada yang mempermainkan. Ini yang sering kita sebut sebagai mafia. Sementara pemerintah sudah mati-matian menggenjot produksi,” ujarnya.
Dugaan Manipulasi Data
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Satgas Pangan Polri Brigjen Pol Helfi Assegaf mengatakan bahwa pihaknya sudah mulai menyelidiki data distribusi beras tersebut.
“Mereka yang di PIBC sudah dimintai keterangan, tapi tidak bisa menjelaskan ke mana barang (beras) sebanyak itu disalurkan,” ungkap Helfi.
Ia menambahkan, saat ditanya asal beras sebanyak itu, pihak terkait juga tidak dapat memberikan penjelasan. Satgas Pangan akan terus mendalami data di lapangan.
“Kalau data yang diberikan ternyata tidak sesuai, berarti ada unsur manipulasi,” tegasnya.
Wacana Ekspor Beras
Di tengah cadangan beras pemerintah yang mencapai lebih dari 4 juta ton, muncul wacana ekspor ke sejumlah negara yang mengalami krisis pangan, seperti Malaysia dan Jepang.
Amran menjelaskan bahwa ketidakpastian iklim global telah memengaruhi produksi beras di beberapa negara, termasuk Jepang. Dampaknya, harga beras di negara tersebut melonjak.
Malaysia, kata Amran, tengah melobi Indonesia untuk membuka keran ekspor beras. Namun ia menegaskan, urusan teknis ekspor adalah ranah Perum Bulog, termasuk skema Business to Business antara pelaku usaha di kedua negara. (***)
Reporter : JP GROUP
Editor : PUTUT ARIYO TEJO