Buka konten ini
Dulu nyaris menyerah saking sulitnya lepas dari kemiskinan, kini dari dua restorannya di Madinah saja mengalir omzet miliaran rupiah. Abah Umar bermimpi suatu hari bisa menjadi bagian dari katering haji.
AROMA khas masakan Indonesia menyeruak begitu memasuki Medina Asian Restaurant yang tidak jauh dari Masjid Nabawi, Madinah. Di balik dapur terbuka, terlihat sosok pria paro baya mengenakan batik cokelat dan topi koki putih tinggi.
Dengan cekatan, dia memotong, mencicipi, dan memberi instruksi pada pegawainya terkait makanan yang akan disajikan kepada tamu. Termasuk bakso, pisang tanduk crispy, dan rendang.
Dia adalah Mohammad Sarwono Thoyyibi Al Akhir atau lebih dikenal sebagai Abah Umar. Seorang perantau asal Cilacap, Jawa Tengah, yang kini sukses mengibarkan bisnis kuliner Indonesia di Tanah Suci.
Di restoran berkonsep indoor itu, dinding-dindingnya dipenuhi foto Abah Umar bersama pejabat dan publik figur ternama. Dari Raffi Ahmad, Nagita Slavina, hingga Panglima TNI Agus Subiyanto.
Meski sudah mapan dengan belasan cabang restoran di Arab Saudi, Abah Umar tetap cekatan turun langsung ke dapur, membuktikan bahwa passion memasaknya tak pernah luntur.
Restoran itu punya dua ruang utama. Satu ruangan dipenuhi meja-meja kecil yang bisa digunakan untuk makan bersama empat orang. Di ruangan lain, terdapat meja panjang dan kursi-kursi yang bisa menampung rombongan besar dan sering dipakai untuk makan bersama atau acara khusus.
”Dulu saya tidur di kolong jembatan,” ucap Abah Umar sambil tersenyum lebar saat mengenang masa lalunya.
Umar kali pertama mengenal dunia kuliner saat era booming warteg di Jakarta pada 1989-an. Kala itu, Umar remaja yang hidup serba kekurangan bekerja membantu di warteg-warteg sederhana, tidur di kolong warung dengan penghasilan tak lebih dari Rp30 ribu sebulan ukuran uang sekarang.
Tapi, di tengah berbagai kesulitan itu, dia mulai mengamati cara memasak, menyajikan makanan, dan melayani pelanggan. Dari sana, perlahan tumbuh minatnya untuk belajar lebih dalam.
Namun, pendapatan yang sangat kecil menyulitkan langkahnya. Pria kelahiran 18 Agustus 1974 itu mengaku pernah mengais rezeki dari belas kasih orang, tidur beralaskan kardus, makan seadanya, bahkan sempat tergoda mencari ilmu pesugihan di Banten pada 1997-an.
Itu semua dilakukan demi ingin kaya. ”Saking miskinnya, sampai dikira orang gila,” kenangnya.
Suatu hari, dia lantas bertemu dengan seorang guru agama yang mengajaknya nyantri. Gurunya bilang ke Umar muda, kalau mau berhasil, harus mengubah diri jadi lebih baik dulu.
Ketekunan belajar agama dan tetap berkecimpung di kuliner itu akhirnya membuahkan hasil. Ekonominya mulai membaik ketika dia bekerja di sebuah restoran Jakarta. Kemampuannya dalam memasak juga makin meningkat. Hingga pada 2011, dia ikut Masterchef Indonesia season 1 meski tidak dilanjutkan sampai selesai.
Abah Umar juga mulai berani merantau ke luar negeri. Dia melanglang ke Singapura, Abu Dhabi, dan masuk ke Arab Saudi pada 2014. Dia pernah di Makkah dan kini Madinah. Kini, Abah Umar punya enam restoran di Makkah, Riyadh, serta Madinah.
Ada dua Medina Asian Restaurant miliknya. Cabang dekat Masjid Nabawi belum genap satu tahun. Menunya berat seperti rendang, ayam pop, bakso, hingga signature dish andalannya: pisang tanduk crispy.
Pisang tanduknya khusus diimpor dari India, sementara bumbu-bumbu khas Indonesia dia upayakan langsung dari tanah air. Entah dikirim khusus atau dititip lewat teman yang berangkat haji atau umrah.
Cabang lain yang lebih dulu dibangunnya terletak di Bukit Uhud yang bersejarah itu. Tepatnya di seberang Masjid Syuhada Uhud.
Menurut pengakuannya, restorannya di Madinah kini bisa menghasilkan sekitar SAR300 ribu per bulan. Kalau dikonversi, itu setara dengan Rp1,3 miliar. Tapi, kesuksesan itu sama sekali tak membuat Abah Umar jemawa.
Justru, dia semakin giat berbagi. ”Saya dulu nggak punya apa-apa. Jadi, saya tahu rasanya,” katanya seraya berkaca-kaca.
Restorannya juga sering jadi tempat makan gratis bagi orang Indonesia yang sedang kesulitan di Madinah. Bagi Umar, kekayaan sejati bukan sekadar soal omzet besar, tapi tentang seberapa banyak manfaat yang bisa dia salurkan kepada sesama.
Selain di Madinah, dia juga punya bisnis Pisang Goreng Tanduk Crispy di Bintaro, Jakarta Selatan, yang kini berkembang hingga 26 outlet.
Salah satu impian terbesarnya saat ini adalah menjadi bagian dari penyedia katering haji untuk jemaah Indonesia. Dia telah mengamati sendiri seluk-beluknya dan bercita-cita bisa menyediakan makanan yang lebih layak, lebih nikmat, dan lebih manusiawi kepada para jemaah.
”Saya ingin bikin dapur sendiri, mudah-mudahan terlaksana,” ujarnya dengan semangat, matanya berbinar.
Keinginan dia lainnya, pertama, memboyong keluarganya ke Madinah. Kedua, ”Saya ingin wafat di sini,” katanya dengan mata yang basah. (***)
Laporan: DHIMAS GINANJAR
Editor: RYAN AGUNG