Buka konten ini
KETUA Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Batam, Rafki Rasyid, menekankan pentingnya penyelesaian menyeluruh terhadap persoalan lahan yang masih menjadi hambatan utama investasi di Batam.
Menurutnya, solusi tuntas perlu dimulai dari pembenahan di tingkat dasar, termasuk keberanian menindak oknum-oknum yang selama ini memperkeruh tata kelola lahan.
“Persoalan lahan ini harus dibereskan dari akar. Selama masih ada oknum aparat maupun masyarakat yang bermain, maka selama itu pula investasi akan terus terganggu,” tegas Ketua Apindo Batam itu.
Ia menyarankan agar pimpinan BP Batam yang baru (Amsakar-Li Claudia) bersikap lebih tegas dan berani dalam menertibkan permainan lahan.
Apindo mendorong agar alokasi lahan kepada investor benar-benar dilakukan dalam kondisi siap bangun, seperti yang sudah diterapkan di Vietnam sehingga Vietnam menjadi lebih kompetitif. BP Batam tidak boleh lepas tangan dan membiarkan investor menyelesaikan sendiri.
“Lahan yang diberikan kepada pengusaha harus benar-benar bebas dari sengketa dan siap digunakan. Jangan sampai pengusaha yang sudah membayar UWT malah diminta lagi membayar biaya pengosongan, apalagi sampai berseteru dengan masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, Apindo meminta BP Batam segera menambah luasan lahan yang tersedia untuk investasi, mengingat saat ini ketersediaannya mulai terbatas, sementara minat investasi terus tumbuh.
Di sisi lain, Apindo juga meminta pemerintah mengambil kebijakan yang adil dan bijak, mengingat persoalan lahan tidak hanya menyangkut kepentingan investasi, tetapi juga hak masyarakat.
“Pemerintah harus hadir sebagai penengah. Investasi memang penting untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi hak masyarakat atas lahan juga harus dijaga,” tambahnya.
Apindo memperingatkan bahwa jika persoalan ini tidak segera dituntaskan, maka bukan hanya investasi baru yang gagal masuk, melainkan investor lama pun bisa berpindah ke daerah atau negara lain, seperti Johor, yang saat ini terus berkembang dengan segala kemudahan dan kenyamana yang ditawarkan.
“Kita tidak ingin kehilangan momentum. Jangan sampai Batam ditinggalkan investor hanya karena persoalan klasik yang seharusnya bisa diselesaikan sejak dulu,” pungkasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, sejumlah investor di Batam, khususnya di kawasan prestisius Baloi Kolam yang telah lama memegang Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan telah melunasi uang wajib tahunan (UWT) puluhan miliar tidak bisa membangun kawasan tersebut karena masih dalam cengkraman rumah liar (ruli).
Bahkan, pada 2014, ada 12 konsorsium yang tercatat memegang Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di kawasan Baloi Kolam. Nama-nama besar berseliweran dalam daftar itu: Trans Corp, PT Alvinky Multi Berkat, hingga sejumlah taipan lokal seperti Rudi Tan dan Cahya. Semangat investasi saat itu sedang tinggi-tingginya. Nilai komitmen investasinya pun tak tanggung-tanggung, ditaksir mencapai triliunan rupiah.
Akan tetapi, pada 2016, jumlah konsorsium yang bertahan menyusut menjadi delapan. Beberapa hengkang diam-diam, sebagian lagi masih bertahan dengan harapan BP Batam menepati janjinya: menghadirkan kepastian hukum dan penataan kawasan yang mendukung investasi. Sayangnya, harapan itu hingga kini tak kunjung jadi kenyataan.
Sementara, regulasi dari Badan Pengusahaan (BP) Batam tegas, lahan yang tak digarap dua tahun sejak diterbitkan PL, bisa dicabut hak pengelolaannya.
Kondisi ini menciptakan paradoks. Para investor menunaikan kewajiban kepada negara, membayar UWT dan mengucurkan miliaran rupiah. Namun, harus menanggung biaya tambahan untuk penataan lapangan.
Persoalan kian pelik ketika para pengusaha merasa pemerintah seolah lepas tangan. Padahal, dalam sistem pengelolaan lahan di Batam, pemerintah-dalam hal ini BP Batam- memegang peran vital sebagai regulator dan fasilitator utama.
Kepala BP Batam, Amsakar Achmad, saat dimintai tanggapan justru menyebut proses komunikasi antara investor dan warga sudah berlangsung.
“Kita berharap ada keputusan yang bijak, yang mengompromikan kepentingan semuanya,” kata dia, usai menghadiri salah satu acara, Minggu (18/5).
Namun ketika ditanya apakah pemerintah menjamin kepastian hukum bagi investor, Amsakar malah menyebut penataan kawasan memang sejak lama menjadi urusan investor.
“Itu sudah praktik bisnis dari kemarin, bukan sejak era kami ini saja,” katanya. Ketika diwawancara lebih dalam, Amsakar bergegas masuk ke mobil dan pergi.
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan besar: jika penataan kawasan diserahkan ke investor, lalu apa sebenarnya fungsi BP Batam sebagai pemegang kuasa atas lahan di Batam?. (***)
Reporter : RENGGA YULIANDRA
Editor : RYAN AGUNG