Buka konten ini
Terumbu karang di Barang Caddi adalah rumah bagi ribuan makhluk laut, dari ikan warna-warni hingga penyu langka. Para relawan melakukan pembibitan khusus karang dan menanam mangrove, semuanya dengan melibatkan masyarakat.
MATAHARI belum terlalu tinggi ketika kapal pinisi mulai bergerak pelan menjauh dari dermaga Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan. Di atas kapal kayu berlayar cokelat tua itu, belasan orang sibuk mempersiapkan peralatan selam, tabung oksigen, sirip, masker, dan rangka logam.
Mereka adalah para relawan aksi pelestarian laut yang dikoordinasi Yayasan Kitaji Pinisi Indonesia. Tujuan mereka pada Selasa (20/5) dua pekan lalu itu adalah Pulau Barang Caddi, sebuah pulau kecil di gugusan Kepulauan Sangkarang yang secara administratif termasuk salah satu kecamatan di Kota Makassar.
Barang Caddi barangkali tak dikenal banyak orang. Tapi, pulau yang berjarak sekitar satu jam perjalanan laut dari Pantai Losari tersebut me-nyimpan “harta karun” berupa terumbu karang yang menjadi rumah bagi ribuan makhluk laut, dari ikan warna-warni hingga penyu langka.
Sayangnya, seperti banyak wilayah pesisir lainnya di Indonesia, Barang Caddi pun tak luput dari kerusakan. Penangkapan ikan dengan bom dan bius ikan, limbah rumah tangga, hingga dampak perubahan iklim perlahan menggerogoti kehidupan bawah lautnya.
Bius ikan merupakan cara merusak yang digunakan untuk mendapatkan ikan dengan cara menyemprotkan cairan berisi potasium sianida ke terumbu karang. Dampaknya, karang yang dulu megah dan berwarna kini memucat, rusak, bahkan mati.
“Kalau karang rusak, ikan pergi. Padahal, kalau dijaga, karang itu bisa jadi sumber kehidupan yang luar biasa,” kata Muh Imran Lapong, pembina Yayasan Kitaji Pinisi Indonesia, kepada FAJAR (grup Batam Pos) dalam perjalanan menuju Barang Caddi.
Bisa Kehilangan Semua
Para penyelam turun perlahan. Ikan-ikan kecil mulai mendekat, penasaran dengan kehadiran para tamu yang datang bukan untuk mengganggu, melainkan untuk membangun. ”Kami juga menyiapkan ekosistem karang yang dibibit khusus. Jadi, jika ada yang ingin melakukan transplantasi, tidak perlu lagi memotong karang yang hidup secara alami, cukup yang kami biakkan,” ungkap Imran.
Taufik Alamsyah, manajer program kelautan Yayasan Kehati, yang juga hadir dalam kegiatan tersebut menegaskan, kondisi terumbu karang di pulau-pulau lain di sekitar Barang Caddi sudah sangat memprihatinkan. “Tutupan karangnya tinggal 32 persen. Padahal, ada penyu, ada keanekaragaman hayati. Kalau dibiarkan, kita kehilangan semuanya,” katanya.
Taufik melihat Barang Caddi sebagai peluang. Sebuah contoh bahwa perbaikan bisa dimulai dari komunitas kecil. Di sana, tidak hanya dilakukan transplantasi karang, tetapi juga penanaman mangrove. Semuanya dilakukan dengan melibatkan masyarakat.
“Kita ingin pulau ini jadi pusat pembelajaran, pusat konservasi. Tapi tidak bisa dari luar saja. Masyarakat harus jadi pelaku utama,” katanya.
Dan, itu pula yang ditekankan oleh Sekretaris Camat Kepulauan Sangkarang, Siti Subaeda. Namun, ia juga bicara terus terang bahwa sebagian kerusakan karang justru datang dari warga sendiri karena ke-terbatasan pengetahuan dan ekonomi.
“Bom ikan, bius, itu masih terjadi. Tapi bukan karena jahat, karena tak ada pilihan. Kalau kita beri alternatif, beri pengetahuan, saya percaya masyarakat akan berubah,” ujarnya.
Senada, Lurah Barang Caddi, Muh Sahryd, mengatakan, kegiatan tersebut adalah awal baru bagi pulau yang ia pimpin. Bukan hanya karena akan ada karang yang tumbuh lagi di bawah laut, tetapi karena masyarakat mulai dilibatkan dalam prosesnya.
“Kami tidak ingin hanya jadi penonton. Warga kami harus ikut, harus bisa jadi pengelola,” ujarnya.
Barang Caddi memiliki potensi luar biasa. Selain karang, ia juga rumah bagi hewan-hewan endemik, seperti penyu yang bertelur di malam hari. Serta ada lawi-lawi (anggur laut) dan ikan kecil yang hanya ada di kawasan ini.
“Kalau karang kembali sehat, penyelam datang. Homestay bisa berkembang, ekonomi warga bergerak. Tapi, semua itu harus dijaga dari sekarang,” tambah Sahryd.
Sore itu, matahari mulai turun. Langit memerah, angin laut kembali sejuk, dan kapal pinisi bersandar kembali ke pantai. Para relawan berkemas, wajah lelah namun penuh senyum. Barang Caddi tak akan berubah dalam semalam. Tapi, satu demi satu, seperti karang yang tumbuh perlahan, perubahan itu sudah dimulai. (***)
Laporan: EDWARD AS
Editor: RYAN AGUNG