Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Peneliti Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air (PRLSDA) BRIN Reni Sulistyowati melakukan analisis banjir 2025. Hasilnya menunjukkan bahwa banjir pada 2025 lebih parah dibandingkan dengan banjir tahun 2020 dan 2022.
Menurut dia, data curah hujan GSMaP (Global Satellite Mapping of Precipitation) mencatat intensitas hujan mencapai 21,37 mm/jam dengan akumulasi harian 236,44 mm pada puncaknya 2–4 Maret lalu. Simulasi hidrologi dengan model Rainfall-Runoff-Inundation (RRI) menunjukkan bahwa area terdampak dengan genangan lebih dari 50 cm mencapai 43 km persegi. Sedangkan genangan di atas 100 cm mencakup 24 km persegi. Data tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan banjir 2020 dan 2022.
Reni mengatakan, sirkulasi angin darat-laut (sea breeze) juga memperburuk kondisi dengan memicu hujan deras di malam hari dan di daerah aliran sungai (DAS) Bekasi, Cikeas, serta Cileungsi. “Kondisi DAS Kali Bekasi memerlukan perhatian serius karena infrastruktur belum memadai, ditambah dengan rendahnya kesadaran lingkungan dan lambatnya respons pemerintah,” jelas Reni.
Ketua Kelompok Riset Teknologi Kebencanaan dan Energi Perairan Darat (TKEPD) BRIN Agustya Adi Martha mengungkapkan, pihaknya tengah mengembangkan teknologi pemantauan bencana secara real time. “Salah satu inovasi kami adalah sistem monitoring real time yang mencakup pemantau kelembaban tanah dan alat deteksi longsor,” jelasnya.
Agustya juga mengungkapkan bahwa BRIN telah mengembangkan perangkat Indonesian Structural Health Monitoring (INA-SHM). Perangkat ini digunakan untuk memantau dampak gempa dan kondisi kekuatan struktur pada bendungan atau waduk. Selain itu, dikembangkan Automatic Weather System (AWS) yang dapat diintegrasikan dengan Sistem Monitoring Elevasi Gelombang Laut untuk memantau ketinggian muka air laut secara real time.
Terkait mitigasi banjir, Perekayasa Ahli Utama sekaligus Ketua Kelompok Riset Teknologi Modifikasi Cuaca BRIN Heru Widodo menjelaskan perkembangan signifikan dalam teknologi modifikasi cuaca (TMC). Awalnya TMC difokuskan untuk menambah curah hujan di waduk dan sektor pertanian. Kini mampu mengurangi intensitas curah hujan serta mengatasi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan.
“Kolaborasi dengan BMKG memungkinkan penerapan TMC berjalan secara cepat dan efektif dengan didukung pengembangan teknologi modifikasi cuaca dari hasil riset BRIN,” ujarnya.
Heru menambahkan, metode TMC untuk pengurangan curah hujan mencakup jumping process menggunakan pesawat terbang dan kompetisi uap air menggunakan ground particle generator (GPG). GPG terbukti mampu mengurangi curah hujan lebih dari 20 persen di area pertambangan dan dapat dioperasikan selama 24 jam menggantikan pesawat yang hanya dapat beroperasi pada siang hari. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : GALIH ADI SAPUTRO