Buka konten ini
Penulis bukanlah seorang budayawan namun penulis sangat peduli terkait budaya budaya di Indonesia. Sebagai anak bangsa rasanya ingin mencurahkan segala kemampuan analisa dan nalar yang ada saat ini berkecamuk. Jujur saat penulis menorehkan tulisan dan menggerakan tangan untuk mengetik beberapa kali menghela napas dalam dalam karena terjadinya menurunnya sikap dan perilaku anak-anak khususnya generasi milenial dan gen Z. Penulis juga sebagai praktisi SDM yang diberi amanah dengan menjadi area direktur Lembaga organisasi Gerakan Nasional Indonesia Kompeten di Batam, Kepri. Lembaga tersebut disingkat dengan GNIK Batam, Kepri. Izinkan penulis menorehkan uneg uneg serta opini yang sliweran dalam hati dan pikiran ini.
Di tengah hiruk-pikuk modernisasi Batam, budaya Melayu ibarat akar pohon yang menjaga tanah dari longsor. Ia memeluk erat nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang, meski badai globalisasi mengguncang dari segala arah. Namun, akankah kita membiarkan akar itu kering, tertimbun debu peradaban yang semakin deras?
Batam adalah kanvas hidup yang dipenuhi warna-warna globalisasi. Gedung pencakar langit, pelabuhan bertaraf internasional, dan teknologi canggih bak lukisan futuristik di setiap sudut kota. Namun di balik megahnya modernisasi itu, budaya Melayu jika tidak dipertahankan dan dilestarikan juga dikembangkan bisa menjadi bayang-bayang yang redup. Padahal, budaya ini bukan sekadar warisan; ia adalah identitas, jiwa, dan napas masyarakat Kepulauan Riau.
Menjaga Jiwa Melayu di Tengah Deru Teknologi
Budaya Melayu mengajarkan budi pekerti, kearifan lokal, dan nilai-nilai gotong royong. Dalam pantun-pantunnya, tersimpan pesan kehidupan yang sederhana namun mendalam. Dalam tari-tarinya, terlihat harmoni antara alam dan manusia juga spiritual. Namun, modernisasi kadang hadir seperti arus deras yang membawa hanyut tradisi-tradisi yang penuh nilai religi, menggantinya dengan budaya instan yang tanpa akar. Bahkan bisa menjerumuskan anak bangsa sebagai penerus atau estafet kepemimpinan di negeri tercinta.
Generasi muda yang hidup di era digital, sering kali lebih akrab dengan tren global ketimbang pantun atau gurindam. Kita harus bertanya: apakah akar kita cukup kuat untuk bertahan di tengah badai ini? Jawabannya ada di tangan kita semua, terutama kita yang saat ini diberi tanggung jawab sebagai penerus dan meneruskan.
Melestarikan, Bukan Mengawetkan
Melestarikan budaya Melayu bukan berarti mengawetkannya seperti fosil di museum. Budaya adalah aliran sungai yang harus tetap mengalir, menyentuh generasi baru dengan bentuk yang relevan. Batam, dengan segala modernitasnya, dapat menjadi panggung besar untuk memperkenalkan budaya Melayu ke dunia. Bayangkan sebuah aplikasi digital yang mengajarkan pantun secara interaktif, atau konten TikTok yang menggabungkan tari zapin dengan musik modern.
Modernisasi bukan musuh budaya, melainkan mitra. Budaya Melayu harus berdialog dengan teknologi, menciptakan harmoni yang menjadikan tradisi tetap hidup sekaligus menarik bagi kaum muda.
Membangun Kesadaran Kolektif
Melestarikan budaya Melayu membutuhkan semangat kolektif. Pemerintah, lembaga pendidikan, pelaku seni, hingga gene-rasi muda harus berkolaborasi. Festival budaya dapat menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, contoh memadukan tarian zapin dengan pertunjukan cahaya dan teknologi. Sekolah-sekolah bisa meng-ajarkan pantun tidak hanya sebagai pelajaran bahasa, tetapi juga sebagai cara untuk menanamkan moral dan etika.
Di sisi lain, orangtua perlu menjadi teladan. Ketika anak-anak lebih sering mendengar lagu tradisional Melayu di rumah, nilai-nilai budaya akan tertanam sejak dini. Ini adalah langkah kecil yang memiliki dampak besar, seperti benih yang kelak tumbuh menjadi pohon rindang.
Menghidupkan Jiwa Melayu
Budaya Melayu adalah harta karun yang tak ternilai, seperti permata yang terpendam di dasar lautan. Jika kita tidak menggali dan menjaganya, kita akan kehilangan cahaya yang memandu kita sebagai bangsa. Mo-dernisasi Batam adalah peluang, bukan ancaman. Dengan langkah bijak, kita bisa menjaga akar budaya tetap kuat sambil membiarkan cabangnya tumbuh tinggi ke langit global.
Mari kita jadikan budaya Melayu sebagai pelita yang menyinari modernitas, bukan sekadar lentera yang redup di tengah gemerlap teknologi. Sebab, tanpa budaya, kita hanyalah kapal tanpa kompas, terombang-ambing di lautan globalisasi. Batam, dengan semangat Melayunya, harus menjadi mercusuar yang menerangi peradaban, bukan sekadar pulau yang hilang di antara gelombang zaman. Semoga bisa. (*)