Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Di tengah wacana impor gas alam cair (LNG) akibat mahalnya harga LNG lokal, Pengamat Ekonomi Energi sekaligus Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengingatkan bahwa impor LNG bukanlah solusi ideal.
Menurutnya, impor LNG justru akan lebih mahal karena memiliki sejumlah biaya tambahan, seperti transportasi, regasifikasi, dan kewajiban kontrak seperti take or pay. “Jika memang lebih murah, lakukan saja impor. Tapi biar mereka tahu, ada banyak komponen biaya tambahan yang harus ditanggung,” ujar Komaidi saat diwawancarai.
Komaidi menjelaskan bahwa mendatangkan LNG ke Indonesia memerlukan proses panjang yang menciptakan biaya tambahan.
Yakni biaya transportasi – pengiriman LNG dari negara produsen. Regasifikasi – Proses mengubah LNG menjadi gas untuk digunakan konsumen. Kewajiban Kontrak – Seperti take or pay, yang mengharuskan pembeli membayar jumlah tertentu meski pasokan tidak digunakan sepenuhnya. Biaya Infrastruktur – Termasuk investasi fasilitas penyimpanan dan distribusi.
Dengan biaya tambahan ini, harga LNG impor yang awalnya terlihat murah, seperti dari Qatar yang disebut USD 3 per MMBTU, dapat membengkak hingga USD 6 per MMBTU atau lebih.
Harga LNG di pasar global saat ini berkisar USD 16-17 per MMBTU, sementara harga gas pipa domestik di luar program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) berada di angka USD 10-11 per MMBTU. Untuk gas pipa dengan HGBT, harga ditetapkan USD 6 per MMBTU.
Namun, pasokan gas pipa domestik kian terbatas akibat penurunan produksi di sejumlah sumur tua, seperti Blok Corridor. Oleh karena itu, PGN (Perusahaan Gas Negara) telah menawarkan LNG sebagai alternatif untuk mengatasi kekurangan ini, terutama bagi pelanggan yang melebihi kuota gas pipa yang tersedia.
Komaidi menegaskan bahwa badan usaha seperti PGN dapat menjadi buffer atau penyangga risiko yang muncul dalam pengadaan LNG, seperti investasi infrastruktur dan risiko komersial dalam kontrak. Hal ini dianggap lebih efisien dibandingkan jika pelaku industri langsung mengimpor LNG sendiri.
“Kalau pelaku industri mau mencoba impor, silakan. Agar mereka memahami bahwa harga domestik sebenarnya tidak semahal yang dibayangkan,” imbuhnya.
Menanggapi tudingan bahwa penetapan harga gas di Indonesia tidak transparan, Komaidi menegaskan bahwa harga LNG lokal telah merujuk pada acuan harga internasional.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia, Redma Gita Wirawasta, mengklaim bahwa impor gas dari Timur Tengah seperti Qatar masih bisa menjadi opsi. Namun, ia juga mengakui adanya biaya tambahan. (*)
Reporter : JP Group
Editor : gustia benny