Buka konten ini
JAKARTA (BP) -Penerapan tarif PPN 12 persen untuk barang mewah membawa berbagai dampak. Meskipun, pemerintah diakui telah mengakomodir tuntutan banyak pihak, kebijakan itu membuat dunia usaha kebi-ngungan.
Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menyebutkan, ada tiga hal yang menjadi catatan kritis. Pertama, PPN adalah jenis pajak tidak langsung. Otomatis yang melakukan pembayaran pajak adalah seluruh masyarakat.
”Tetapi yang membantu memungut, menghitung dan menyetor adalah pengusaha. Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 tahun 2024 ini, meninggalkan masalah yang sangat complicated buat para pengusaha. Karena teknis administrasi sangat kompleks,” ujarnya, Jumat (3/1).
Yang harus diketahui oleh masyarakat luas adalah tarif PPN adalah 12 persen tetapi, cara menghitung adalah barang dikalikan dengan 11/12 kemudian dikalikan 12 persen. Kalau proses administrasi salah, pengusaha bisa kena denda, atau bahkan faktur pajak tidak diakui.
”Dalam konteks PPN ini, pengusaha membantu pemerintah, tetapi pemerintah abai terhadap aspek kompleksitas yang dihadapi oleh pengu-saha,” imbuhnya.
Kedua, beberapa barang dengan nilai lain, maka tetap pembayaran PPN-nya adalah 12 persen, walaupun bukan barang mewah. Contoh: agen travel, usaha di komoditas emas, dan lain-lain.
Jadi, harga akhir yang ditanggung konsumen tetap lebih tinggi. Narasi bahwa PPN 12 persen untuk barang mewah, tidak tepat,” tegas Ajib.
Ketiga, pemerintah harusnya fokus dengan pemberlakuan coretax yang mulai berlaku 1 Januari 2025. Tetapi, Ajib menyebut dalam dua hari belakangan sistem tersebut justru masih down. Hal itu membuat para wajib pajak yang akan membuat faktur jadi tertunda. ”Pemerintah saja tidak siap dengan sistemnya, sekarang malah membuat regulasi yang complicated. Harapannya, secepatnya sistem dan regulasi ini dievaluasi,” katanya.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa, kebijakan tersebut menunjukkan perubahan arah yang signifikan. Juga untuk perekonomian.
“Jika kita melihat kebijakan fiskalnya, sepertinya agak berubah. Sebelumnya memang terkesan fokus pada peningkatan pendapatan negara (melalui) kenaikan pajak. Namun setelah disampaikan oleh Menteri Keuangan, arahnya kini lebih kepada menambah stimulus untuk ekonomi,” ujarnya di Jakarta, Jumat (3/1).
Dia juga melihat potensi besar dalam kebijakan ini untuk meningkatkan jumlah tabungan masyarakat. Tidak hanya masyarakat bawah, tapi juga masyarakat kelas atas. Dengan meningkatnya daya beli masyarakat, permintaan barang dan jasa juga akan tumbuh, yang pada gilirannya mempercepat pemulihan ekonomi.
Bursa Efek Indonesia (BEI) menyampaikan tambahan informasi atas penyesuaian tarif PPN di 2025. Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131/2024, tarif PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif 12 persen dengan dasar pengenaan pajak berupa nilai lain. Nilai lain yang dimaksud adalah sebesar 11/12 dari nilai invoice.
“Tarif tetap sesuai UU (undang-undang) yaitu 12 persen. Nilai obyek pajak yang dikalikan 11/12. Jadi, finalnya sama dengan PPN 11 persen. Karena, menurut saya ini terkait konstruksi perundang-undangan,” terang Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, Irvan Susandy.
Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik memastikan, ketentuan terkait jasa layanan transaksi saham mengacu pada PMK 131/2024. Hal itu mengacu pasal 3 PMK 131/2024 tertuang bahwa nilai lain dihitung sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian. “Kami mengacu sesuai pada PMK,” tegasnya.
Direktur PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Tomi Taufan memberikan tanggapan positif terhadap kebijakan pajak baru yang diberlakukan untuk fee transaksi saham. Menurut dia, hal tersebut menjadi angin segar tidak hanya untuk perusahaan. Tapi juga bagi seluruh industri pasar modal Indonesia. Terutama dalam membuka 2025 dengan semangat yang lebih tinggi. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : RYAN AGUNG