Buka konten ini
KAMIS (2/1) pukul 22.52 WIB, sebuah kabar melayang di ruang maya. BP Batam, melalui grup WhatsApp yang mereka kelola, menyampaikan rilis pers dengan tajuk: ”Muhammad Rudi: Flyover Sungai Ladi Tetap Jadi Identitas Batam.”
Sekilas, judul itu tampak seperti pernyataan biasa, tetapi di balik kalimatnya tersimpan cerita yang menggugah rasa. Kata demi kata, frasa demi frasa, membawa kabar yang tak terelakkan: nama jalan layang “Laksamana Ladi” resmi diganti dengan nama yang lebih sederhana, “Flyover Sungai Ladi.”
Laksamana Ladi, nama yang muncul seperti bayangan senja, kini sirna sebelum mentari sempat menyapa. Tak lebih dari tiga hari ia bertahan pasca diresmikan, dan tak sampai satu hari setelah Batam Pos menerbitkan koran pagi yang mengulik sosok ini. Akhirnya, nama itu terkubur dalam siaran pers berisi permohonan maaf.
”Pertama-tama, saya memohon maaf atas apa yang telah terjadi,” ujar Kepala BP Batam, Muhammad Rudi.
Dalam rilis itu, Rudi juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada masyarakat atas dukungan mereka. Permohonan maaf itu diharapkan mampu meredakan gelombang tanya di tengah publik.
”Saya juga mengucapkan ribuan terima kasih kepada seluruh elemen masyarakat Batam yang telah mendukung pembangunan flyover Su-ngai Ladi. Saya berharap keputusan ini dapat diterima oleh semua pihak guna menjaga situasi kondusif Batam yang kita cintai,” katanya.
Perubahan ini memicu perbincangan hangat di kalangan tokoh budaya, salah satunya Samson Rambah Pasir. Budayawan yang dikenal peduli pada akar sejarah Batam ini memandang langkah otoritas sebagai momen penting dalam menata ulang cara pandang terhadap identitas lokal.
“Saya mengapresiasi sikap legawa Muhammad Rudi yang mengganti nama flyover ini. Penamaan Laksamana Ladi sebelumnya tidak memiliki dasar kuat, sedangkan Su-ngai Ladi lebih merepresentasikan sejarah dan toponomi Batam,” ujarnya.
Samson menilai, polemik ini menunjukkan lemahnya argumentasi tim BP Batam dalam memilih nama awal jalan layang tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa dari peristiwa ini dapat dipetik pelajaran berharga.
“Ke depan, kita perlu lebih hati-hati dalam menamai sesuatu yang menjadi ikon daerah. Nama bukan sekadar label, tetapi jiwa dari sebuah tempat,” kata Samson.
Dia pun menyerukan agar para pemangku kepentingan melibatkan berbagai pihak yang relevan, termasuk budayawan dan masyarakat, dalam proses penamaan ikon-ikon daerah.
”Nama adalah warisan. Jika tidak berpijak pada akar sejarah, akan kehilangan ruhnya,” tegasnya.
Guru Besar Bahasa dan Sastra Indonesia dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Tanjungpinang, Profesor Abdul Malik, turut memberikan apresiasi atas keputusan ini. Dengan nada penuh rasa syukur, ia menyampaikan penghormatan kepada Muhammad Rudi, yang menurutnya telah mengarahkan kebijakan ini dengan hati.
”Alhamdulillah, bagus sekali. Respons yang sangat baik dari Pak Rudi,” katanya.
Lebih dari sekadar perubahan nama, Profesor Malik memandang keindahan dan manfaat jembatan layang tersebut sebagai warisan nyata bagi masyarakat Batam.
”Yang paling penting, jembatan layangnya sangat bagus, indah, dan sangat bermanfaat bagi masyarakat,” tambahnya.
Perubahan nama ini tidak hanya simbolis tetapi juga menggugah kebanggaan akan identitas lokal. Nama Sungai Ladi membawa nuansa sejarah dan geografi yang lebih dekat dengan akar Batam. Profesor Malik berharap langkah ini menjadi bagian dari momentum kemajuan kota.
”Tahniah. Semoga Batam semakin maju ke depan dan menjadi destinasi wisata terbaik di Indonesia,” tutupnya seolah menitipkan doa untuk masa depan.
Dua Ladi, Dua Warisan
Sejarah, kata orang bijak, adalah akar yang menancap dalam tanah. Tapi Laksamana Ladi gubahan BP Batam hadir tanpa akar, tanpa cerita yang tertabal di buku, tanpa do-ngeng sebelum tidur yang diceritakan dari generasi ke generasi puak-puak Melayu. Ia muncul bak kapal tanpa jangkar, lalu hanyut oleh ombak di antara fakta dan fiksi.
Beberapa masyarakat tergerak untuk mencari tahu. Siapakah sebenarnya Laksamana Ladi? Di media sosial, satu dari sekian banyak pengguna Facebook dengan penuh keyakinan menulis, kira-kira begini:
”Laksamana Ladi adalah komandan angkatan laut yang memimpin pertempuran melawan Belanda di Batam pada 1946, mendirikan pangkalan ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia), dan berjuang demi kemerdekaan Indonesia.”
Pengguna Facebook itu juga menulis, bahwa Laksamana Ladi yang ia sebut lahir di Makassar pada 1772, dan meninggal di tahun 1822. Pertanyaannya sederhana, bagaimana bisa orang yang sudah wafat di abad ke-19 memimpin perang pada tahun 1946?
Ah, kisah itu terdengar megah, seolah dinukil dari halaman buku sejarah. Tetapi, bagi mereka yang memahami seluk-beluk perjuangan, cerita itu tak lebih dari hikayat yang dikarang demi menutupi sebuah dosa.
Literatur resmi juga tak pernah mencatat nama ini sebagai prajurit Kesultanan Riau-Lingga sebagaimana yang disebut BP Batam sebelumnya. Bahkan, di antara para sejarawan dan pemerhati budaya Melayu, nama Laksamana Ladi hanyalah kabut yang tak pernah nyata, tak pernah membekas dan bermastautin di relung jiwa.
Profesor Abdul Malik, memegang lentera untuk melurus-kan jalan cerita yang kerap berkelok. Ladi, menurutnya, hidup di antara akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Ia adalah seorang pejuang gigih dari Sulawesi Selatan yang memanggul senjata melawan hegemoni Belanda. Tetapi, tak ada jejak heroiknya di masa Kesultanan Riau-Lingga.
Di Kepulauan Riau, ”Ladi” bukan sekadar nama. Ia merupakan identitas, warisan yang melekat pada suku asli yang sering disebut Melayu Tua. Bersama Suku Laut dan komunitas pesisir lainnya, mereka adalah anak-anak gelombang.
Pada masa lalu, suku-suku ini hanya mengarungi lautan dengan perahu kecil. Suku Laut, misalnya, dikenal sebagai pasukan pertikaman, penjaga setia saat Perang Riau berkobar.
”Tetapi, tak ada tokoh Suku Ladi yang diangkat menjadi laksamana pada masa Kesultanan Riau-Lingga. Kalau Penghulu Batin, mungkin ada, karena setiap suku dipimpin oleh seorang Penghulu Batin,” kata Malik.
Pernyataan ini membawa kita pada renungan yang lebih dalam. Seperti laut yang tak pernah sepenuhnya terjelajahi, sejarah juga menyimpan kedalaman misteri yang tak selalu mudah diselami. Nama Laksamana Ladi, baik sebagai seorang pejuang Sulawesi Selatan maupun sebagai bagian dari identitas budaya Melayu Tua di Kepulauan Riau, adalah warisan yang patut dihormati.
Satu dari sekian banyak jurnalis di Batam, dengan entengnya berkata, “Apalah arti sebuah nama. Fokus saja pada fungsi flyover ini sebagai pengurai kemacetan.” Pernyataan seperti itu, meski praktis, justru menelanjangi cara pandang yang sempit. Apakah jalan layang ini hanya soal fungsi? Tidakkah nama yang disematkan padanya juga membawa makna, menjadi identitas yang mencerminkan jiwa kota?
Takkan hilang ikan di laut, selagi jala masih ditebar. Tetapi dalam kasus ini, seolah-olah jala itu dilemparkan ke lautan kosong, mencoba menangkap sesuatu yang tak pernah ada. Identitas samar ini adalah gambaran dari sebuah upaya yang gagal; sebuah kota modern yang mencoba menciptakan warisan tanpa memahami apa itu sejarah.
Menariknya, beberapa media lokal seperti mencoba menenggelamkan isu ini. Alih-alih menggali kebenaran, mereka memproduksi berita-berita baru, merayakan keindahan jalan layang tanpa menyentuh polemik nama yang mengiringinya.
“Ibarat menegak benang basah,” begitu kata orang tua kita dulu. Tetapi, upaya membenarkan yang keliru terus dilakukan, seolah-olah kabut bisa diusir hanya dengan angin opini.
Di media sosial, kisah-kisah fiktif tentang Laksamana Ladi terus bermunculan, seperti air pasang yang tak tahu kapan surut. Namun, bagi mereka yang jeli, semua itu tak lebih dari karangan ala sinetron.
Kini, jalan layang itu resmi menyandang nama “Flyover Sungai Ladi.” Sebuah nama yang mungkin tak heroik, tetapi setidaknya jujur.
Batam, dengan segala kilauan modernitasnya, harus belajar dari kejadian ini. Karena kota tanpa sejarah adalah kota tanpa arah. Dan, seperti perahu yang kehilangan kompas, ia akan berputar-putar di tempat, terombang-ambing di lautan luas tanpa tahu ke mana harus berlabuh.
Kita pun hanya bisa berharap, bahwa di masa depan, nama yang disematkan pada jalan, gedung, atau jembatan, bukan sekadar hiasan. Tetapi menjadi penanda yang merawat jiwa bangsa, menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam keutuhan. (***)
Reporter : Arjuna
Editor : RYAN AGUNG