Buka konten ini
KETIKA mendengar istilah ’’kesehatan reproduksi’’, banyak orang yang mungkin akan merasa canggung atau enggan untuk membahasnya secara terbuka. Sayangnya, masih banyak masyarakat Indonesia yang memandang topik ini sebagai hal tabu. Stigma itu sering kali menjadi hambatan bagi banyak perempuan dalam mendapatkan pemeriksaan atau pengobatan yang mereka butuhkan, termasuk untuk penyakit serius seperti kanker serviks dan kanker ovarium.
Melansir UNFPA (United Nations Population Fund), kanker serviks merupakan kanker terbanyak kedua pada wanita setelah kanker payudara, yaitu dengan sekitar 36 ribu kasus baru dan 21 ribu kematian setiap tahunnya di Indonesia. Angka yang cukup besar bagi penduduk Indonesia. Hal itu ini sering kali disebabkan keterlambatan deteksi dini.
Namun, apakah stigma tersebut tidak dapat diatasi? Melalui pendekatan yang tepat, yakni komunikasi terapeutik, tenaga medis dapat membantu mengurangi stigma itu sekaligus meningkatkan kesa-daran masyarakat akan pentingnya kese-hatan reproduksi.
Munculnya Stigma
Stigma tersebut tidak terbentuk begitu saja. Banyak faktor yang memengaruhi kemunculannya. Misalnya, kurangnya pemahaman, norma budaya, atau kepercayaan yang salah. Indonesia yang masih kental akan tradisi membuat masyarakatnya masih memegang erat kepercayaan terhadap mitos.
Beberapa mitos yang masih sering ditemui, antara lain, pemeriksaan kesehatan reproduksi hanya dilakukan pada wanita yang sudah menikah. Lalu, munculnya mitos bahwa penyakit reproduksi ditimbulkan oleh perilaku yang ’’tidak pantas’’ sehingga pasien merasa malu dalam mencari bantuan medis, bahkan ingin menutupi penyakit yang dideritanya. Selain itu, kesehatan seksual sering kali dianggap hal yang tabu, bahkan dalam konteks medis.
Karena alasan-alasan itulah, banyak orangtua yang enggan mengajarkan kese-hatan reproduksi sejak dini kepada anak-anak mereka lantaran adanya anggapan-anggapan bahwa topik tersebut hanya pantas dibahas orang dewasa. Akibatnya, masyarakat cenderung acuh tak acuh atau belum sadar akan pentingnya kesehatan reproduksi. Banyak di antara mereka yang menunda, bahkan menolak, untuk melakukan pemeriksaan atau pengobatan karena takut dihakimi lingkungan sekitarnya atau bahkan tenaga medis.
Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dirancang untuk menciptakan rasa aman, saling percaya, serta mendukung pasien secara emosional yang akhirnya mempercepat proses penyembuhan pasien. Dalam konteks kesehatan reproduksi, komunikasi terapeutik dapat memberikan ruang aman bagi pasien. Terapi tersebut juga memberikan edukasi akan pentingnya deteksi dini serta pengobatan dalam upaya menjaga alat reproduksi dari penyakit.
Komunikasi terapeutik merupakan komponen penting dalam menciptakan hubu-ngan empatik antara dokter dan pasien. Salah satunya, membantu pasien merasa nyaman dalam mendiskusikan topik-topik yang masih dianggap sensitif dan tabu. Komunikasi terapeutik harus dimulai de-ngan pendekatan yang penuh perhatian dan lembut. Pasien tidak boleh merasa bahwa mereka dihakimi.
Selain itu, seorang dokter harus memberikan edukasi dengan jelas dan mena-rik. Hal itu diperlukan untuk membantu masyarakat memahami pentingnya kesehatan reproduksi dan mendorong mereka untuk mengambil langkah preventif. Dalam hal ini, komunikasi terapeutik juga menjadi upaya efektif dalam menghapus stigma yang masih melekat pada kesehatan reproduksi, yang sering kali membuat pasien enggan untuk mencari bantuan medis.
Hal itu sejalan dengan pandangan dr Primandono Perbowo SpOG (K) Onk, dokter spesialis obstetri, ginekologi, dan onkologi, dalam wawancara eksklusif. Menurut dia, ’’Komunikasi terapeutik ada seninya. Itu bisa didapatkan dari penga-laman dan hati nurani. Kuncinya, pertama adalah trust. Pasien percaya dengan dokter, maka 80 persen penyakitnya bisa sembuh. Kedua, sopan santun. Posisi dokter adalah menolong, bukan menyalahkan bahkan mengatur pasien.’’
Ketika mau mendengar dan mendukung pasien, secara tidak langsung dokter telah memberikan pengalaman positif yang berharga. Pengalaman itu dapat menginspirasi orang lain untuk lebih terbuka dalam membahas topik kesehatan reproduksi.
Makin banyak orang yang terbuka pikirannya untuk menjaga kesehatan reproduksinya, makin maju pula kualitas kesehatan masyarakat Indonesia. Karena itu, komunikasi terapeutik menjadi salah satu alat penting dalam mengatasi stigma, mening-katkan kesadaran, dan memperbaiki kualitas kesehatan masyarakat secara keseluruhan. (*)