Buka konten ini

AKTIVITAS tambang ilegal di kawasan hutan lindung Nongsa, Kota Batam, kembali mencuat ke permukaan. Lembaga lingkungan Akar Bhumi Indonesia melaporkan sejumlah kerusakan lingkungan yang terjadi secara sistematis di wilayah tersebut.
Founder Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, menyoroti lemahnya pengawasan serta minimnya penegakan hukum terhadap para pelaku perusakan.
Menurut Hendrik, Wali Kota dan Wakil Wali Kota Batam, Amsakar Achmad dan Li Claudia Chandra, menghadapi tantangan berat. Selain harus menuntaskan warisan persoalan lingkungan dari pemerintahan sebelumnya, mereka juga dihadapkan pada ancaman baru terhadap kelestarian ruang hijau kota.
“Kami sedang menempuh jalur legislasi. Saat ini, kami menunggu jadwal pertemuan dengan kementerian dan komisi terkait di DPR RI, khususnya Komisi IV dan Komisi VII,” ujar Hendrik, Selasa (10/6).
Akar Bhumi menilai, lambannya penanganan berbagai kasus lingkungan turut dipengaruhi transisi kelembagaan di tingkat pusat, setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kembali dipisah.
Perubahan ini, kata Hendrik, memicu perlambatan koordinasi dalam menangani kasus-kasus krusial.
“Transisi ini bisa memakan waktu hingga enam bulan. Dalam masa itu, banyak kasus terbengkalai karena belum jelasnya pembagian kewenangan,” tuturnya.
Ia juga menyinggung kevakuman Gakkum Pos Kepri, unit penegakan hukum lingkungan di wilayah Kepulauan Riau, yang dianggap menjadi celah bebas bagi pelaku perusakan lingkungan.
“Jika penegakan hukum lingkungan ikut ‘diefisiensikan’, kita khawatir dampaknya jauh lebih besar dari sekadar kerugian ekonomi,” ucapnya.
Hendrik mendesak Pemerintah Provinsi Kepri, khususnya Gubernur Ansar Ahmad dan Wakil Gubernur Nyanyang Haris, untuk meningkatkan alokasi anggaran pengawasan lingkungan. Ia menyebut selama ini pengawasan tidak sebanding dengan kompleksitas masalah di lapangan.
“Kami mendorong peningkatan anggaran dan pengawasan yang lebih serius. Jangan lagi ada pembiaran terhadap praktik ilegal yang merusak ekosistem,” tegasnya.
Akar Bhumi juga telah mengadukan sejumlah kasus di Nongsa, mulai dari tambang pasir ilegal di hutan lindung Nongsa 1, kerusakan hutan dekat Kampung Bakau Serip, hingga aktivitas penimbunan oleh perusahaan yang menyerobot kawasan Panglong.
Semua laporan itu kini sedang dikawal untuk dibawa ke forum yang lebih tinggi, termasuk ke Kementerian Lingkungan Hidup dan DPR RI. Hendrik menekankan pentingnya kolaborasi antara NGO, pemerintah, dan legislator untuk menghentikan perusakan yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Di sisi lain, anggota Komisi III DPRD Batam, Suryanto, mengimbau agar persoalan ini tidak ditanggapi secara emosional. Ia menekankan pentingnya verifikasi dokumen sebelum mengambil kesimpulan terkait legalitas lahan.
“Tentu harus kita pastikan dulu kelengkapan surat atau izinnya,” kata Suryanto, Senin (9/6). Namun ia mengkritik masih maraknya pengerjaan lahan yang dilakukan tanpa prosedur lengkap alias by pass.
Kebiasaan ini, menurutnya, berbahaya karena merusak sistem tata kelola lahan dan pembangunan yang berbasis aturan.
“Pembangunan hanya akan berjalan baik jika prosesnya sesuai ketentuan. Jangan sampai demi mengejar investasi, aturan malah dikesampingkan,” ujarnya. Suryanto mendorong adanya langkah mitigasi untuk mengantisipasi dampak lingkungan yang sudah dirasakan masyarakat, seperti banjir yang semakin sering terjadi. Ia menilai hal itu sebagai bukti dari lemahnya pengawasan dan buruknya perencanaan alokasi lahan.
Ia juga meminta pemerintah lebih selektif dalam memberikan izin dan alokasi lahan kepada investor. “Jangan sampai semangat percepatan pembangunan justru berujung bencana di masa depan,” ucapnya.
Komisi III DPRD Batam, kata dia, akan segera membahas persoalan ini secara khusus bersama pemerintah kota. Ia memastikan lembaganya akan mendorong dialog dan mencari solusi jangka panjang yang berpihak pada masyarakat.
“Insyaallah akan segera kami komunikasikan dengan pemda yang punya kewenangan pengawasan dan perizinan,” tegasnya. (***)
Reporter : ARJUNA
Editor : RYAN AGUNG