Buka konten ini
KAWASAN Baloi Kolam sempat digadang-gadang menjadi pusat pertumbuhan baru di Batam, yang akan menampung kawasan perkantoran, pusat perbelanjaan, dan hotel-hotel bertaraf nasional. Namun, hampir satu dekade berlalu, realisasi investasi di kawasan ini justru banyak tersendat di tengah jalan.
Pada 2014, setidaknya terdapat 12 konsorsium yang memiliki Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari BP Batam di wilayah Baloi Kolam. Namun, dua tahun kemudian, jumlah itu menyusut menjadi delapan konsorsium saja.
Beberapa nama besar tercatat sebagai pemegang hak pengelolaan lahan tersebut, seperti Trans Corp, perusahaan milik pengusaha Rudi Tan, hingga PT Alvinky Multi Berkat dan taipan lokal seperti Cahya. Mereka telah menandatangani perjanjian alokasi lahan dan membayar kewajiban Uang Wajib Tahunan (UWT) kepada BP Batam.
Nilai UWT yang dibayarkan pun bervariasi, tergantung luas lahan dan lokasi. Beberapa pengusaha mengaku membayar hingga Rp10 miliar untuk mengelola lahan seluas beberapa hektare di kawasan strategis tersebut.
Alih-alih seger mengembangkan lahan, para investor justru dihadapkan pada persoalan pelik di lapangan, yakni keberadaan rumah-rumah liar yang telah lama berdiri di atas tanah yang dialokasikan BP Batam kepada mereka.
Ratusan bangunan liar itu belum ditertibkan hingga hari ini. Akibatnya, para pe-ngusaha tidak dapat memulai pembangunan karena lahan mereka belum berstatus clean and clear.
Sejumlah investor bahkan mengaku harus mengeluarkan dana tambahan hingga miliaran rupiah hanya untuk membebaskan lahan dari permukiman liar. Ironisnya, dana tersebut tidak disetorkan ke pemerintah, melainkan langsung kepada warga yang mengklaim sebagai penghuni lama.
Situasi ini mendapat sorotan dari Ombudsman RI Perwakilan Kepri. Kepala Perwakilan, Lagat Parroha Patar Siadari, mengatakan pihaknya telah mengirimkan surat kepada Kepala BP Batam dan Wakil Kepala BP Batam (Amsakar-Li Claudia) untuk memberikan evaluasi terkait persoalan ini.
Ia menilai, momentum perubahan yang dibawa pimpinan BP Batam yang baru (Amsakar-Li) seharusnya diwujudkan dengan langkah konkret, salah satunya dengan memperbaiki tata kelola pertanahan, termasuk sengkarut lahan di Baloi Kolam.
“Ketika pengembang sudah menandatangani perjanjian alokasi lahan dan membayar sewa atau UWT, maka seharusnya mereka dapat segera mengembangkan lahan tersebut,” katanya, Kamis (22/5).
Kenyataannya, lahan yang disewakan BP Batam masih banyak dikuasai masyarakat atau bangunan liar tak berizin. Situasi ini membuat pengusaha memikul beban ganda.
Sebelum menyewakan lahan kepada investor, BP Batam seharusnya memastikan lahan tersebut benar-benar dalam status bersih dan tidak dikuasai pihak lain. Jika tidak, pengembang akan terbebani biaya tambahan yang tinggi.
Persoalan ini juga kerap menimbulkan konflik sosial, bahkan berlarut-larut tanpa penyelesaian yang jelas. Sayangnya, BP Batam maupun Pemerintah Kota (Pemko) Batam kerap kali tidak memberikan dukungan terhadap proses pembebasan lahan yang dilakukan pengembang.
“Waktu sewa 30 tahun yang sudah berjalan malah terkuras hanya untuk mengurus pembebasan. Tentu ini merugikan pengusaha,” ujar Lagat.
Ia juga membandingkan dengan praktik pengelolaan lahan di Vietnam, di mana pemerintah setempat aktif menjamin kemudahan sewa dan penyediaan lahan yang sudah siap dibangun.
Hingga saat ini, Ombudsman memang belum menerima laporan resmi terkait sengkarut masalah di Baloi Kolam. Namun, keluhan pengusaha sudah mencuat ke publik sehingga Lagat berharap persoalan tersebut dapat segera dituntaskan agar tidak mencoreng citra Batam sebagai kota tujuan investasi.
Dalam tiga tahun terakhir, Ombudsman Kepri telah menerima sekitar 50 laporan yang berkaitan dengan tata kelola pertanahan, khususnya di wilayah BP Batam. Sebagian besar menyangkut konflik antara pengembang dan masyarakat, serta persoalan tumpang tindih lahan.
Beberapa laporan telah diselesaikan melalui musyawarah, sementara sebagian lainnya masih dalam proses penyelesaian. Ombudsman mendorong BP Batam untuk menindaklanjuti keluhan secara transparan dan akuntabel. (***)
Reporter : ARJUNA
Editor : RYAN AGUNG