Rabu, 18 Juni 2025

Silakan berlangganan untuk bisa membaca keseluruhan berita di Harian Batam Pos.

Baca Juga

Tak Pernah Serius

Oleh:
SHOLIHIN BONE
Pengajar dan Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda

Salah satu amanat reformasi 1998 yang dipekikkan oleh seluruh elemen gerakan adalah ikhtiar menciptakan negara yang bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Namun sungguh nahas, 27 tahun setelah reformasi, bangsa ini belum bisa keluar dari sengkarut korupsi. Dan parahnya adalah korupsi kian menggila dan terjadi di semua level kekuasaan dengan angka yang sangat fantastis.

Usaha yang dilakukan pemerintah, DPR, dan elemen masyarakat sipil pernah mengemuka dan menguat di awal-awal reformasi. Di masa itu, gelora pemberantasan korupsi menemukan momentumnya. Ditandai dengan pembentukan KPK sebagai lembaga yang diserahi tugas dan kewenangan untuk mencegah dan memberantas perilaku korupsi yang telah lama mengakar.

Pembentukan KPK sempat mengalirkan embusan angin segar dalam penyelenggaraan negara. KPK memperlihatkan tajinya untuk menangkap dan menuntut para pejabat yang berani mempermainkan uang negara. Singkatnya, KPK dengan kewenangan yang cukup kuat, menjadi penawar dahaga di tengah gersangnya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, pemberantasan korupsi menemui aral yang melintang. Pemberantasan korupsi perlahan menuju ke arah yang gelap. Hal tersebut bisa dilacak dengan berbagai fakta yang telah tersaji. Kriminalisasi anggota KPK, konflik kelembagaan antara KPK dan kepolisian, teror dan ancaman kepada penyidik KPK dan setumpuk persoalan yang terus menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia.

Tidak hanya kriminalisasi, ancaman, dan teror yang dialami pegawai KPK. Upaya pelemahan KPK juga dibungkus dengan revisi UU KPK pada 2019, yang pada waktu itu mendapat perlawanan gigih dari lapisan gerakan rakyat. Selain persoalan yang menyelimuti revisi UU KPK. Secara kelembagaan, KPK juga mengalami masalah di internalnya.

Komisioner KPK kerap melakukan tindakan pelanggaran etik yang menuai banyak sorotan dari masyarakat sipil. Pada posisi ini, KPK menjadi lembaga yang “lemah” di mata publik.

Tingkah Koruptor
Di tengah “kegeraman” rakyat, tentang kondisi negara yang kian amburadul oleh praktik korupsi, di tengah rusaknya sendi-sendi kehidupan bernegara. Suasana kebatinan dan alam pikiran rakyat kembali “terluka” oleh perilaku koruptor. Tanpa malu-malu, mereka memperlihatkan gelagat dan sikap seolah tidak bersalah. Terlihat dalam berbagai pemberitaan, bagaimana mereka berperilaku. Seolah tanpa ada beban, mereka tersenyum dan berjalan seperti artis, mengangkat dan melambaikan tangan seolah tidak terjadi apa-apa. Lantas, apa yang bisa diharapkan jika kondisi seperti ini terus terjadi. Alih-alih menghasilkan efek jera, perilaku tersebut semakin memperkuat prasangka, bahwa penegakan hukum di wilayah pemberantasan korupsi menjadi kian mengkhawatirkan.

Membaca fenomena ini, semakin mempertajam anggapan, bahwa bangsa ini tak pernah serius dalam urusan pemberantasan korupsi. Hasilnya adalah bangsa ini semakin terkungkung dalam kubangan lumpur korupsi, jika rasa bersalah dan tanggung jawab tak lagi melekat dalam alam pikiran dan tindakan para pengambil kebijakan. Bukankah kekuasaan harus dijangkarkan pada ikhtiar mensejahterakan rakyat? Bukankah kekuasaan harus dikelola dengan integritas dan kejujuran? Fenomena ini kemudian membuktikan tentang rapuhnya keberpihakan pada rakyat, yang menghendaki terciptanya pemerintahan yang bersih dan transparan.

Di tengah kekecewaan dan kegeraman publik melihat fenomena dan tingkah para koruptor, publik dikejutkan kembali dengan revisi UU BUMN yang dinilai memiliki persoalan pada semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. Ketika membaca UU No 1 Tahun 2025 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Pada Pasal 9 G termaktub bahwa, “Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.”

Pasal ini kemudian menuai hujan kritik dari berbagai kalangan. Bagi publik, pasal ini dianggap akan memperburuk agenda pemberantasan korupsi. Alasan rasional yang dilontarkan publik mengacu pada pasal 11 Ayat (1) huruf a UU No 19 Tahun 2019. Di dalamnya termaktub bahwa KPK memilki tugas dan kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.

Pasca berlakunya UU BUMN tersebut, akan menjadi sulit bagi KPK untuk masuk memproses pimpinan BUMN jika terjadi dugaan tindak pidana korupsi di tubuh BUMN. Pasal 9 G UU BUMN ini kemudian mempersempit tugas dan kewenangan KPK yang selama ini telah dijalankan. Tentu, hal ini akan membuat KPK semakin “rapuh” pada aspek tugas dan kewenangannya yang selama ini dianggap ideal. Oleh karena itu, demi kebaikan bangsa dan masa depan pemberantasan korupsi, kiranya pasal 9 G ini haruslah ditinjau ulang.
Selain itu, jika melihat praktik kinerja BUMN selama ini, menyimpan setumpuk persoalan.

BUMN kerap tersandung dalam pusaran korupsi. Tentu, hal ini sangat mengkhawatirkan pada aspek pengelolaan kekayaan negara yang dijalankan oleh BUMN. Persoalan ini harus disikapi secara serius agar pengelolaan BUMN tidak menuai soal di masa yang akan datang.

Jika dilacak berbagai skandal megakorupsi yang terjadi di tubuh BUMN, sungguh sangat memperihatinkan. Dalam berbagai fakta pemberitaan menunjukan bukti, di mana BUMN menjadi lahan basah dan bancakan untuk menggarong kekayaan negara. Sebutlah Pertamina, PT Timah, Garuda, dan BUMN lainnya. Angka korupsinya pun sangat fantastis, mencapai triliunan rupiah. Pada wilayah ini, publikpun layak mempertanyakan maksud dari UU BUMN tersebut. Apakah kehadiran Pasal 9 G tersebut tidak berpotensi menghambat pemberantasan korupsi dan mereduksi tugas dan kewenangan KPK? Waktulah yang akan menjawab.

Semua rentetan peristiwa dan fakta yang terjadi terkait mengakarnya perilaku korupsi di semua level kekuasaan, ditambah dengan tingkah para koruptor yang menyayat suasana kebatinan rakyat dan potensi memudarnya kewenangan KPK akibat perubahan UU BUMN.

Maka, dalam alam pikiran penulis memunculkan tanda tanya besar. Betulkah bangsa ini serius ingin memberantas korupsi? Betulkah bangsa ini ingin menciptakan pemerintahan yang bersih? Betulkah bangsa ini ingin mencapai kesejahteraan?

Ataukah, ikhtiar pemberantasan korupsi hanyalah retoris semata yang dibicarakan dalam ruang-ruang seminar, dalam pidato-pidato kenegaraan. Namun sayang, minim dalam wilayah implementasi. Pertanyaan-pertanyaan yang penulis lontarkan menjadi refleksi bagi semua anak bangsa, terkhusus pemangku kekuasaan untuk memikirkan masa depan pemberantasan korupsi. Akhirnya, saya ingin menutup dengan satu pertanyaan mendasar, seriuskah kita selama ini memberantas korupsi? (*)

Oleh:
SHOLIHIN BONE
Pengajar dan Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda