Buka konten ini

Premier banking division head OCBC
Pasar saham AS sepanjang Maret mayoritas kembali melemah. Indeks Dow Jones terkoreksi 4,20 persen; indeks S&P 500 (-5,75 persen); dan indeks Nasdaq (-8.21 persen). Kondisi itu dipengaruhi meningkatnya eskalasi perang tarif dagang, ketidakpastian kebijakan peme-rintah, serta kekhawatiran perlambatan ekonomi AS yang berpotensi menimbulkan resesi.
Retorika perang tarif antara AS dan beberapa mitra dagang tetap menjadi faktor yang mendominasi sentimen pasar saat ini. Donald Trump berencana segera memberlakukan kebijakan tarif terhadap mitra dagangnya pada awal April dan hal itu kembali dapat meningkatkan volatilitas di pasar modal.
Sementara dari sisi data ekonomi AS, indeks sektor manufaktur PMI meningkat ke level ekspansi 50,2 pada Maret lalu, meninggalkan level kontraksi sebelumnya di 49,8. Sementara itu, jumlah lapangan pekerjaan pada Maret kembali bertambah dari level 151 ribu ke level 228 ribu. Namun, tingkat pengangguran di AS meningkat dari level 4,1 persen ke level 4,2 persen. Data ekonomi yang dirilis cukup variatif menjadi pertimbangan utama Fed untuk menentukan arah suku bunga. Fed kembali mempertahankan suku bunga acuan di 4,50 persen pada pertemuan FOMC Maret lalu.
Sentimen Negatif
Sama halnya dengan pasar saham di kawasan Eropa. Mayoritas indeks saham Eropa mencatatkan pelemahan dengan beberapa indeks utama seperti indeks Eurostoxx 50 yang melemah -3.94 persen; DAX (-1.72 persen), dan FTSE 100 Inggris (-2.58 persen) sepanjang Maret. Pelemahan itu disebabkan adanya sentimen negatif dari kebijakan tarif Donald Trump yang mungkin juga diberikan terhadap negara di kawasan Eropa.
Di kawasan Asia, mayoritas pergerakan saham membukukan pelemahan terbatas. Hal itu terlihat dari kinerja MSCI Asia Pacific ex-Japan yang menurun -0.71 persen pada Maret. Dampak negatif ketegangan perang dagang antara AS dan Tiongkok mendorong investor untuk menjauhi aset berisiko. Sementara itu, tingkat konsumsi masyarakat Tiongkok sendiri belum menunjukkan pemulihan signifikan.
Dari dalam negeri, kekhawatiran perang tarif Trump dan ketidakpastian politik dalam negeri akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi domestik sehingga mendorong pelemahan pasar saham Indonesia. Namun, pembentukan Danantara dan Bank Emas atau Bullion Bank diharapkan dapat menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia di level target awal pemerintah. Sementara itu, Bank Indonesia pun memutuskan menahan suku bunga acuan BI Rate di level 5,75 persen pada pertemuan Rapat Dewan Gubernur BI pada pertengahan Maret lalu untuk menjaga nilai tukar rupiah dan pertumbuhan ekonomi.
Saham
IHSG ditutup di level 6.510.62 pada akhir Maret lalu, mencatat kenaikan bulanan 3,83 persen. Angka itu mengurangi pelemahan yang terjadi pada IHSG sejak awal tahun sampai Maret lalu yang masih di level -8.04 persen. Tetapi, sentimen negatif yang timbul dari perang tarif mendorong IHSG kembali melemah tajam saat pasar dibuka kembali pascalebaran, sempat menyentuh di bawah level 6.000.
Mengantisipasi volatilitas yang makin tinggi ke depan, Bursa Efek Indonesia merevisi ketentuan perdagangan trading halt dan trading suspend. Yaitu, (1) trading halt selama 30 menit jika IHSG melemah lebih dari 8 persen; (2) trading halt selama 30 menit jika IHSG mengalami penurunan lanjutan hingga lebih dari 15 persen; (3) trading suspend jika IHSG mengalami penurunan lanjutan hingga lebih dari 20 persen sampai akhir sesi perdagangan atau lebih dari satu sesi setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, batas auto rejection bawah (ARB) disesuaikan menjadi 15 persen.
Obligasi
Pergerakan pasar obligasi pada Maret lalu melemah. Hal itu terlihat dari pergerakan imbal hasil pemerintah RI tenor 10 tahun yang naik 1,36 persen menjadi 7,004 persen. Kenaikan imbal hasil didorong pelemahan nilai tukar rupiah yang kembali terjadi pada Maret lalu. Selain itu, pelemahan pasar obligasi domestik disebabkan ketidakpastian kebijakan perdagangan global dan besarnya arus keluar modal dari pasar modal Indonesia.
Rumor tentang kemungkinan pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menimbulkan kekhawatiran di pasar. Namun, beliau secara terbuka menegaskan kembali komitmennya terhadap disiplin fiskal dan reformasi ekonomi yang sedang berjalan sehingga membantu menenangkan sentimen investor. Keberadaannya dalam pemerintahan tetap menjadi faktor kunci dalam menjaga kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi Indonesia, khususnya di pasar obligasi.
Mata Uang
Mata uang rupiah bergerak melemah sepanjang Maret lalu. Hal itu terlihat dari pergerakannya yang naik 0,77 persen ke kisaran Rp16.580 per dolar AS (USD). Pelemahan mata uang rupiah dipengaruhi ketidakpastian ekonomi global, terutama akibat perang tarif dagang Trump serta kekhawatiran perlambatan ekonomi dalam negeri ke depan.
Sementara itu, surplus neraca perdagangan yang terus berlanjut pada Februari 2025 naik USD 3,12 miliar. Termasuk terjaganya cadangan devisa Indonesia di level USD 154,5 miliar pada Februari atau setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Cadangan devisa Maret lalu juga dirilis naik ke USD 157,4 miliar dari USD 154,5 mi-liar. (*)