Buka konten ini

Guru SMA Negeri 1 Sragen
KEMENTERIAN Sosial berencana mendirikan sekolah rakyat di 53 lokasi eks sentra dan Balai Pendidikan. Sekolah rakyat akan dijadikan peranti untuk memfasilitasi pendidikan gratis berkualitas bagi anak-anak dari keluarga miskin kategori desil 1 dan 2 dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).
Tahapan pembentukan sekolah rakyat masih menanti keputusan presiden. Selanjutnya dilaksanakan kegiatan pendaftaran anak didik, rekrutmen guru, serta finalisasi sarana dan prasarana dalam konsep boarding school (sekolah berasrama).
Deja Vu Era Kolonial
Pembentukan sekolah rakyat telah mencuatkan pro-kontra di kalangan pegiat pendidikan. Sekolah rakyat dianggap deja vu sekolah rakyat yang didirikan kaum bumiputra era kolonial, yakni Volkschool, serta menjiplak ide sekolah Sarekat Islam (SI) yang didirikan Tan Malaka pada 1921, yakni SI School. Volkschool alias sekolah Rakyat Desa didirikan para guru pribumi yang menginginkan rakyat jelata mendapat kesempatan mengenyam pendidikan dasar. Minimal terampil membaca dan menulis.
SI School yang digagas Tan Malaka dikhususkan bagi anak-anak buruh pelabuhan yang tergabung dalam SS Bond yang kondisinya miskin tanpa bekal pendidikan. SI School tidak sekadar membuat rakyat pintar membaca dan menulis, tetapi juga ingin mengajarkan nilai emansipatorik. Tan Malaka dalam pengantar brosur Sarekat Islam Semarang dan Onderwijs mengatakan, ’’Murid-murid SI School kelak harus berjuang bagi kaum kromo dan aktif dalam mendorong terciptanya manusia-manusia merdeka.’’
Latar belakang objektif pendirian Volkschool dan SI School adalah diskriminasi pendidikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Belanda membuat sekolah unggulan untuk komunitas mereka, yakni masyarakat Eropa dan juga kelas bangsawan lokal. Sementara kaum pribumi dari kelas rakyat jelata (petani, buruh, dan kaum miskin kota) tidak boleh menempuh pendidikan di sekolah milik pemerintah. Hal tersebut disebabkan politik penjajahan yang tidak menginginkan masyarakat pribumi menjadi pintar secara akademik dan ideologis.
Pemerintah kolonial membuka keran kebijakan yang dikenal sebagai politik etis. Kaum bumiputra boleh mengenyam pendidikan dasar. Namun, niat utama kebijakan yang seolah humanis tersebut malah menjadikan pribumi sebagai tenaga kasar administrasi (klerk) di berbagai perusahaan perkebunan milik kolonial Belanda. Terbentuknya sekolah pribumi Volkschool masih dalam bingkai diskriminasi pendidikan antarwarga Hindia Belanda.
Diskriminatif
Sekolah rakyat yang dipaksakan dibentuk oleh pemerintah dengan alokasi anggaran per unit hingga Rp100 miliar diracik untuk melayani anak-anak dari keluarga miskin. Namun, sebenarnya sekolah tersebut memiliki karakter diskriminatif. Mengapa diskriminatif? Sekolah rakyat hanya akan memfasilitasi pendidikan gratis bagi ribuan anak dari KK miskin desil 1 dan 2. Padahal, jumlah anak dari keluarga miskin mencapai ratusan ribu hingga jutaan orang.
Sekolah rakyat pada era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tidak akan menjadi solusi program pengentasan kemiskinan di bidang pendidikan. Sebab, sekolah rakyat hanya dirancang untuk mendidik anak-anak soal materi dasar-dasar pendidikan formal. Bukan membekali siswa (anak didik) dengan pengetahuan terapan guna mengarungi realitas kehidupan.
Mengutamakan pembentukan sekolah baru sekolah rakyat menjadi penanda kegagalan pemerintah dalam membina dan mengembangkan sekolah-sekolah yang sudah ada, baik negeri maupun swasta, untuk menjadi sekolah berkualitas dan memiliki aksesibilitas pada layanan pendidikan untuk anak-anak dari keluarga miskin.
Konsep pendidikan untuk semua (education for all) sesuai dengan konstitusi mengamanatkan layanan pendidikan untuk semua anak, baik dari keluarga miskin maupun keluarga mampu. Tidak perlu membentuk sekolah baru berlabel sekolah rakyat yang membebani anggaran negara.
Dalam kenyataannya, anak-anak dari keluarga miskin sebenarnya telah mendapatkan fasilitas subsidi biaya pendidikan lewat skema bantuan operasional sekolah (BOS) dan tunjangan beasiswa pendidikan dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Jadi, tidak perlu membentuk sekolah baru untuk melayani kebutuhan edukatif anak-anak dari keluarga miskin.
Jikapun sekolah rakyat diharuskan dibentuk, diperlukan reimajinasi untuk membangun pendidikan yang berfilosofi kesetaraan dan berorientasi membentuk karakter humaniora bagi anak didik. Sekolah rakyat menjadi instrumen pendidikan yang mengutamakan nilai kebersamaan, kemanusiaan, keadaban publik, serta kecerdasan organik.
Untuk itulah perlu diresapi nasihat progresif RA Kartni, pejuang pendidikan kesetaraan: ’’Pemberian pendidikan yang baik kepada anak negeri sama halnya dengan memberi lentera di tangannya agar dia menemukan jalan yang benar menuju hidup mulia dan bermartabat.’’ Sebuah reimajinasi pendidikan yang membebaskan. (*)