Buka konten ini
MENURUT pakar hukum kesehatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Prilian Cahyani, celah regulasi membuat komplotan penjual ginjal memilih melakukan transplantasi di India. Sebab, di sini regulasinya lebih ketat.
Di Indonesia, tutur dia, terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi calon pendonor. Baik administrasi maupun medis.
Dalam persyaratan administrasi di antaranya diperlukan persetujuan dari keluarga calon pendonor. ”Keterangan kekeluargaan ini harus dibuktikan dengan dokumen administrasi yang menyatakan hubungan tersebut. Kalau suami istri, ya berarti buku nikah,” paparnya.
Selain itu, diperlukan surat pernyataan sukarela dari calon pendonor. Surat tersebut untuk mencegah adanya komersialisasi. Dari sisi pendonor dilarang meminta imbalan, sementara dari sisi penerima atau resipien tidak diperkenankan memberikan imbalan. Hal tersebut diatur dalam PP Nomor 53 Tahun 2021 tentang Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh.
Namun, dalam regulasi tersebut diperbolehkan memberikan penghargaan kepada pihak pendonor. Pemberian penghargaan disalurkan selama pendonor tidak dapat melakukan kegiatan secara optimal selama proses transplantasi dan pemulihan.
Selain regulasi administratif, juga diatur persyaratan medis dengan tujuan mencari kecocokan antara pihak pendonor dan pihak penerima. ”Tidak selalu pihak keluarga cocok dengan si penerima. Sehingga memungkinkan adanya transplantasi yang dilakukan oleh orang lain, bukan keluarga,” katanya. (*)