Buka konten ini
Masalah kesehatan mental sedang naik daun di kalangan generasi Z. Muncul berbagai istilah kekinian yang sebenarnya terhubung dengan gangguan mental seperti healing, insecure, dan self-reward. Cita Sehat Foundation membuat program yang berfokus tentang mental health.
MENDENGAR nama Jembatan Cimindi bagi warga Bandung sudah memunculkan perasaan yang tidak nyaman. Bahkan, bisa jadi bayangan menakutkan. Alasannya, lokasi itu berkali-kali menjadi tempat bunuh diri.
”Di Jembatan Cimindi sudah beberapa kali terjadi kasus bunuh diri. Kebanyakan remaja,” tutur Program Development Cita Sehat Foundation Muhammad Rakha Almughni, Senin (30/12).
Menurut dia, kondisi itu adalah indikasi persoalan kesehatan mental yang naik. Lainnya bisa dilihat dari berbagai bahasa kekinian alias ngetren yang digunakan generasi Z dan yang lebih muda. Misalnya, anxiety, work life balance, bipolar, me time, healing, insecure, dan self-reward.
Rakha menuturkan, berbagai istilah yang naik daun itu sebenarnya terhubung dengan kondisi kesehatan mental. Meningkatnya penggunaan istilah semacam itu menunjukkan bahwa masalah mental health menghantui. Apalagi, terdapat survei dari Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pada Oktober 2022. Satu dari tiga remaja berusia 10 tahun hingga 17 tahun memiliki masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir.
Jumlah itu setara dengan 15,5 juta remaja di dalam negeri. Karenanya, Cita Sehat Foundation membuat program Gandeng Kawan, sebuah program yang berfokus pada masalah kesehatan mental. Dengan Gandeng Kawan, para remaja tidak sekadar diedukasi terkait kesehatan mental, tapi juga diberikan treatment dari skrining masalah, edukasi dan pemberdayaan, cerita keresahan, serta yang terakhir terapi stress release.
Skrining yang digunakan adalah self-reporting question 29 (SRQ 29) yang merujuk pada ketentuan World Health Organization (WHO). Terdapat 29 pertanyaan yang akan menunjukkan empat indikator, yakni mental emotional disorder, addictive disorder, psychotic disorder, dan post-traumatic disorder.
”Empat indikator itu menunjukkan gejala gangguan mental,” tuturnya.
Untuk memudahkan masya-rakat mengetahui kondisi mentalnya, dibuat juga kalkulator mental health. Kalkulator itu bukan merujuk sebagai alat menghitung, melainkan SRQ 29 atau 29 pertanyaan yang harus dijawab. Setelah menjawab, hasilnya akan muncul melalui e-mail.
”Kalkulator mental health ini ditujukan agar remaja tidak mendiagnosis sendiri. Setidaknya ada yang bisa membantu mendiagnosis, tapi butuh treatment lanjutan. Kalau telah dilakukan, baru bisa muncul statement menga-lami gejala kesehatan mental atau tidak,” paparnya.
Kemudian, edukasi dan pemberdayaan merupakan penjelasan apa itu kesehatan mental dan sebagainya. Sementara itu, cerita resah itu sarana penyampaian isi hati atau emosi yang terpendam.
”Terakhir, stress release dengan metode spiritual emotional freedom technique (SEFT),” tuturnya.
Dari program itu, Cita Sehat Foundation benar-benar menemukan fenomena gunung es dalam kesehatan mental. Salah satunya saat memberikan konseling ke sebuah SMK kesehatan di Bandung Barat. Rakha menceritakan, siswa di SMK itu tampak begitu aktif dan ceria.
Kondisinya seakan menunjukkan bahwa mereka bahagia. ”Namun, begitu dilakukan skrining, hasilnya tidak selaras dengan apa yang terlihat di awal,” ucapnya.
Bahkan, saat dilakukan tes stress release dengan metode SEFT yang awalnya mereka tenang, dalam prosesnya mengalami perubahan kondisi mental. Banyak siswa teriak histeris dan ngomel-ngomel sendiri.
”Teriakan histeris itu mengindikasikan bahwa apa yang dianggapnya selesai pada masa lalu ternyata belum tuntas. Masih ada yang bias, masih ada trauma,” bebernya.
Dari semua proses itu diketahui bahwa di antara 92 siswa SMK kesehatan tersebut, 90 persen mengalami gejala gangguan mental. Dia menganalisis bahwa bisa jadi keceriaan dan senyuman digunakan untuk menutupi kondisi sebenarnya.
”Senyum palsu ya,” katanya, lantas tertawa.
Namun, setelah dilakukan dua kali terapi terhadap 92 siswa tersebut, hasilnya tingkat kecemasan siswa menurun 49 persen. ”Jadi, setiap murid yang mengikuti terapi menurun tingkat kecemasannya,” terangnya.
Dalam kasus yang lain, Cita Sehat Foundation menemukan remaja yang berpartisipasi mengakui menggunakan narkoba. Hal itu menunjukkan indikasi bahwa gangguan kesehatan mental mendorong remaja memakai obat-obat terlarang.
”Itu temuan kami setelah melihat hasil remaja yang ikut. Tapi, kami perlu melakukan pengecekan ulang untuk memastikan kembali,” ujarnya.
Selama dua tahun dengan program Gandeng Kawan, terdapat 1.553 remaja yang telah diintervensi. Lalu, terdapat 311 orang yang mengikuti melalui kalkulator mental health. Lagi-lagi, hasilnya 90 persen peserta mengalami gejala gangguan mental. ”Memang hasilnya sangat tinggi masalah gejala gangguan mental,” katanya.
Apa penyebab gangguan mental itu terjadi? Dia menga-takan bahwa penyebabnya bervariasi. Ada faktor orangtua. Misalnya, dorongan kuat orangtua untuk menjalani pendidikan tertentu.
Akhirnya, anak hanya mengikuti orangtua. ”Padahal, passion anak tidak di sana. Kondisi ini salah satu yang mengemuka,” tuturnya.
Jadi, bukan hanya remaja yang perlu diedukasi, melainkan juga orangtua. Mereka perlu memahami bahwa kehendak yang kuat bisa jadi memengaruhi kesehatan mental anak. ”Ini bisa memengaruhi masa depan si anak,” ucapnya.
Penyebab lainnya juga bisa berawal dari media sosial. Terlalu sering melihat efek bias dari kebahagiaan orang lain yang muncul terkadang membuat seseorang membandingkan dengan dirinya.
”Menjadi rentan frustrasi karena perbandingan tersebut,” ungkapnya. (***)
Reporter: ILHAM WANCOKO
Editor : RYAN AGUNG