Buka konten ini
Lewat buku ini, Sasti Gotama mengingatkan kita kepada orang-orang yang rentan di masa lalu untuk memberi mereka makna pada masa kini dan membantu mereka
memperjuangkan masa depan.
Membaca novel Ingatan Ikan-Ikan, saya jadi paham, korban yang hari ini berupaya mewujudkan gerakan ”menolak lupa” tragedi kerusuhan 1998 justru adalah orang yang kali pertama bergerak untuk menolak ingat. Bagaimana caranya membangun gerakan ”menolak lupa” (dengan merawat ingatan) kalau tiap mengingat masa lalu tubuh mereka terasa hancur.
Novel ini menarasikan perasaan traumatis korban setelah kerusuhan berlalu. Puing-puing ingatan masa lalu justru jadi momok menakutkan yang ingin segera mereka hapus. Rasa trauma merupakan sesuatu yang kali pertama harus dilawan para korban.
Roman Sejarah yang Misterius
Novel Ingatan Ikan-Ikan berangkat dari kisah asmara Lian dan Ombak yang kandas setelah kerusuhan di tahun 1998. Lian (gadis Tionghoa) menjadi korban pelecehan seksual, sedangkan Ombak harus kehilangan sang adik karena lenyap ditelan api kebakaran. Dua tokoh utama itu berpisah dan saling melupakan.
Sekilas, novel berisi 24 bab ini terdengar seperti genre karya fiksi sejarah, ditandai dengan penggunaan tahun 1998 sebagai latar. Namun, novel ini lebih enak dikategorikan sebagai gado-gado antara: roman + sejarah + psikologi + misteri.
Hanya ada enam bab –seperempat dari keseluruhan– yang berlatar waktu 1998, dua bab di antaranya adalah masa PDKT Lian dan Ombak. Sisanya merupakan perjalanan hidup tokoh semasa mengalami trauma hingga masa-masa berobat sampai sembuh. Tidak lupa, setiap pergantian sudut pandang narator menjadi tokoh B, diselipkan misteri-misteri yang membingkai seluruh cerita.
Sasti Gotama, sang penulis, memang tidak memesan agar pembaca menaruh novelnya di rak buku fiksi sejarah. Sebab, tak mungkin di rak tersebut terdapat buku bertabur teka-teki yang petunjuk dan jawabannya ada di babak extra time menuju adu penalti –khas cerita misteri.
Selain itu, porsi yang cukup banyak untuk menunjukkan efek trauma psikologis korban pasca kerusuhan 1998 juga menjadi satu alasan buku ini perlu dilihat sebagai cerita tentang memori korban yang saling kelindan berbagai hal. Jadi, bukan fiksi sejarah.
Menggambar Luka Masa Lalu
”Bayangan ikan mas koki memudar, berganti cahaya putih yang begitu menyilaukan. Dia kembali ke tempat itu, masa itu. Kabut tepung. Nyeri tajam. Suara tawa. Tawa. Tawa.” (hal 21)
Begitulah perasaan Lian tujuh tahun setelah mengalami pelecehan seksual. Trauma yang dialami dua tokoh utama dalam novel ini diceritakan dengan cara yang lugas. Rasa sakit yang dialami Lian dan Ombak dapat mudah dilihat melalui kondisi fisik, perubahan emosi, sampai gelagat mereka untuk meredam trauma.
Efek lain ketika memori seseorang dipenuhi kenangan buruk juga ditunjukkan dengan rasa keputusasaan. Lian dan Ombak sama-sama benci pada ingatannya sendiri, bahkan ingin menghapusnya. Hal ini dapat ditemui pada bagian pertemuan mereka dengan salah satu penjual jasa laundry yang, selain bisa mencuci pakaian, juga bisa mencuci ingatan.
Sebagai mantan dokter, barangkali, Sasti mudah saja mendekatkan kesan traumatis kepada pembaca. Ini bisa dilihat dari sifat Lian yang mudah berubah (lihat hal 14-15), cara dia menenangkan kegelisahan dengan mengetukkan jari (lihat hal 10-11), sampai perangai tambengnya menolak realitas (lihat hal 101-103). Sedangkan Ombak mendapati problem fisik, ia tak bisa tidur tenang (lihat hal 24-25).
Bila berbicara tentang karya fiksi berlatar sama, sebenarnya penggambaran seputar trauma korban sempat tampak dalam salah satu novel yang kini telah cetak 82 kali, Laut Bercerita. Jelas, kondisi keluarga Biru Laut bahkan tak mampu menerima kenyataan bahwa ia telah tiada. Kini, dalam buku setebal 184 halaman milik Sasti, tema tersebut diperkaya menggunakan perspektif korban perempuan Tionghoa.
Lantas, apa gunanya menggambar luka masa lalu dalam bentuk bahasa dan sastra? Beberapa peneliti percaya, upaya mengonstruksi narasi trauma dalam fiksi dapat menghasilkan kesaksian yang, pada gilirannya, menjadi saksi penderitaan manusia.
Lewat buku ini, Sasti Gotama mengingatkan kita kepada orang-orang yang rentan di masa lalu untuk memberi mereka makna pada masa kini dan membantu mereka memperjuangkan masa depan.
Metafora Ikan Mas
Metafora ikan mas dipakai menganalogikan orang seperti Lian (penyintas), yang (konon) dikutuk gampang lupa. Beberapa dialog di dalam novel memperlihatkan adanya kepercayaan orang bahwa ingatan ikan mas sangat buruk, hanya mengingat tiga detik.
Ketika ada seseorang gampang lupa, ia akan dijuluki seperti ikan mas.
Padahal, bila dilatih, ikan mas punya ingatan yang baik. ”Telah banyak jurnal yang menjelaskan bahwa ikan mas koki sebenarnya pengingat yang andal. Ia bisa mengingat dalam hitungan minggu, bulan, hingga tahun.” (hal 12)
Sasti menaruh pendirian Lian sebagai orang yang tidak mudah terpapar hoaks. Karena itu, Lian tidak percaya dengan mitos ikan mas. (*)
Karya : Naufal Zabidi
Editor : MUHAMMAD NUR