Buka konten ini
Kendati mulutku sudah pegal meniup lubang tungku, kayu setengah basah itu belum juga mau menyala. Embusan napasku hanya sanggup menimbulkan percikan bara kecil yang berkedip-kedip seperti mata anak burung, selebihnya adalah asap yang memekakkan mata.
Aku menggosok-gosok kelopak mata yang perih dengan punggung tangan agar bisa melihat. Lalu membuka tutup periuk dan melongok ke dalam, pada beberapa butir ubi yang masih mentah.
Meski sudah berkutat sekian lama dengan kayu bakar yang masih hijau itu, tidak ada yang berubah. Periuk tanah yang menghitam oleh jelaga itu tampak bergeming di atas tungku. Tak ada gelembung uap air mendidih yang naik ke permukaan. Airnya belum suam kuku, masih dingin seperti sebelumnya.
Kulit ubi yang merah seperti daging domba masih tampak segar, sama seperti saat saya mencucinya, untuk membersihkan sisa tanahnya di sumur tadi. Menyadari keadaan yang kurang baik itu, seketika aku membatin: Kalau begini, kapan matangnya? Serta-merta rasa lapar yang memilin ususku berubah jadi rasa putus asa. Penglihatanku pun berkabut.
Sejak pagi ususku hanya diisi bercentong-centong air sumur, setelah tadi malam hanya mengunyah biji jagung berjamur yang kurogoh dari bekas kandang burung yang mati setahun lalu dan membuat perutku mencret-mencret sampai sekarang.
Karena hanya berisi air, perutku terasa melar seperti balon. Untung, tadi siang aku ikut membantu tetangga panen ubi dan diberi upah beberapa butir, yang cukup untuk makan sampai malam.
Tapi, persoalan tidak selesai sampai di situ. Karena setelah ubi tersedia, muncul masalah baru, yaitu soal kayu bakar yang tidak menyala, kendati telah menghabiskan berbatang-batang korek api, kayu belum mau menyala. Akibatnya, ubi di periuk tidak matang-matang.
Kedongkolan akibat kayu bakar yang tidak menyala itu tiba-tiba mengingatkanku pada tumpukan tulang-belulang di sarkofagus di halaman kuil. Pikiran yang muncul mendadak itu serta-merta memercikkan bara harapan hidup di benakku yang hampir putus asa.
Aku membayangkan beberapa potong tulang lapuk dan berjamur itu menyala dan berdesis di rongga tungku tanah liat. Air rebusan di dalam periuk pun bakal mendidih, meruapkan aroma umbi. Aku bisa merasakan pori-pori di sekujur tubuhku menggeliat dan merekah oleh harapan hidup.
Tanpa menunda lagi, aku pun meraih karung di keranjang, lantas keluar meninggalkan dapur yang lembap dan bau tikus, menuju ke halaman Kuil Tengkorak yang menyimpan ribuan rangka tulang-belulang di dalam sarkofagus.
Saat melewati undakan berlumut yang sempit ke arah gerbang kuil, aku belum tahu, tepatnya belum memikirkan, tentang tulang siapa yang akan kuambil. Yang ada di kepalaku saat itu hanya harapan menggebu-gebu.
Padahal, sikap kehati-hatian sangat dibutuhkan agar aku tidak salah pilih. Apa jadinya jika yang kuambil itu ternyata potongan tulang-belulang milik keluargaku; tulang kakek atau tulang nenek, bahkan tulang ayahku. Bisa cilaka 13. Jangan sampai itu terjadi.
Selain semangat menggebu, yang terus membayangi pikiranku adalah kecemasan, kalau sampai ada tetangga yang melihatku waktu aku memilah-milah potongan tulang dan memasukkannya ke dalam karung, atau saat memanggul karung berisi tulang, keluar dari halaman kuil, macam pencuri. Aku bisa dicincang oleh orang-orang sekampung karena dianggap telah menghina keluarga mereka, bahkan menghina agama, karena menyakiti para arwah.
Aku bergidik membayangkan kemungkinan buruk itu. Sehingga, waktu melangkahkan kaki menuju makam, aku sangat berhati-hati, untuk tidak menyenggol semak belukar yang tumbuh di kiri-kanan undakan, supaya tidak menimbulkan bunyi berkeresek yang akan membuat warga yang berdomisili di luar area kuil jadi curiga.
Saat berjalan mendaki undakan itulah tiba-tiba aku teringat pada Samun, yang seketika mengubah tabiatku jadi serigala!
’’Tulang Samun! Ya, tulang Samun! Bajingan busuk itu!” gumamku sambil menggertakkan geraham.
***
Semenjak puluhan tahun silam, aku memang sudah menaruh dendam pada Samun, pria yang membawa kabur ibuku hingga ayahku tewas gantung diri itu. Aku masih ingat pada tato naga di dadanya, juga matanya yang melotot ke wajahku, saat aku memergokinya meniduri ibuku di dangau di tengah ladang jagung.
Hari itu ayahku tengah pergi menjual ikan asin ke pasar, yang cukup jauh dari desa kami, yang terletak di sebuah teluk. Untuk sampai ke sana, ayah harus menyeberangi lima bukit dengan naik kuda. Sehingga, dini hari sebelum ayam berkokok ayah sudah bangun lebih dulu untuk mempersiapkan barang dagangannya.
Pada saat itu, aku berdiri di samping ibu yang menanting lentera untuk menerangi ayah yang sedang menaikkan karung-karung berisi ikan asin ke punggung kuda. Setelah ayah berangkat, kami pun akan tidur lagi sampai pagi. Ayah baru akan tiba kembali di rumah pada sore hari saat menjelang magrib.
Di musim angin barat, para nelayan di desa kami, termasuk ayah, memang jarang melaut. Selain sulit dapat ikan, juga terlalu berisiko. Sejak berabad-abad silam hingga sekarang sudah tak terhitung jumlah nelayan di desa kami yang hilang terseret ombak sampai ke Samudra Pasifik, beberapa di antaranya terdampar di Kepulauan Galapagos.
Atas alasan tersebut, mereka baru akan melaut lagi setelah musim angin barat berhenti di pengujung bulan April. Selama berbulan-bulan tidak melaut, mereka akan bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk berjualan di pasar, seperti yang dilakukan ayah.
Pagi itu, karena terbangun oleh suara tangis Wonara di ayunan, aku langsung pergi mencari ibu ke dangau, melewati petak-petak ladang jagung. Setiba di ladang, beberapa meter dari belakang dangau aku mendengar suara desahan ibu serta derit lincak bambu.
Karena tidak tahu apa yang sedang terjadi, setiba di depan pintu dangau aku langsung mendorong daun pintu kelansah yang setengah terbuka. Betapa terkejutnya aku melihat tubuh ibu yang bugil sedang ditindis oleh Samun. Bibirnya yang tertutup kumis berdecap-decap di dada ibuku.
’’Anak jadah! Kenapa kamu ke sini?” hardik Samun sambil melotot. ’’Pergi sana!” ancamnya dengan gesper, tanpa bergeser dari atas tubuh ibuku.
Sementara ibu cuma terdiam sambil tetap merangkul leher Samun. Dalam keadaan panik dan sedih aku langsung balik badan, berlari pulang. Dari ujung pundukan ladang aku masih mendengar suara Samun yang mengancam, ’’Awas, kalau kamu beri tahu ayahmu. Saya potong lehermu!”
Sebenarnya aku ingin sekali menceritakan peristiwa itu pada ayah, tapi aku khawatir ayah akan membunuh ibuku sehingga aku menutup mulut. Selain itu, dalam setiap kesempatan ibu juga akan selalu mewanti-wanti agar aku tidak memberi tahu ayah.
Hingga tibalah hari yang tak terhindarkan itu! Aku terbangun oleh suara kentongan bertalu-talu dan para tetangga yang berisik di depan rumah. Aku turun dari lincak, lalu mencari ibu di kamarnya. Kosong! Hanya si kecil Wonara yang bergerak-gerak di ayunan bambu. Aku pun beranjak keluar, membaur ke tengah kerumunan orang-orang, yang tengah berbicara dengan raut wajah tegang.
Dari pembicaraan mereka aku mengetahui jika ibuku dan Samun tertangkap basah sedang bermesraan di dermaga. Karena ketahuan, mereka pun kabur menggunakan perahu motor.
Ayahku telah berusaha mencari mereka ke mana-mana, tapi tak ketemu. Karena tak dapat melampiaskan dendamnya, ayah pun mengalami guncangan jiwa yang sangat kuat hingga akhirnya menghabisi hidupnya sendiri dengan cara gantung diri di Gudang Ikan milik koperasi.
Mendapat kabar dari sosmed bahwa ayahku telah meninggal, Samun pun kembali ke kampung dengan penuh rasa percaya diri. Tapi tanpa ibuku. Saat ditanya tentang keberadaan ibuku, Samun memberikan keterangan yang berbelit-belit serta berubah-ubah, tergantung orang yang bertanya, hingga beredarlah informasi yang simpang siur. Kadang, ia mengatakan, ibuku jadi TKW di Korea.
Tapi, pada saat yang lain, Samun akan mengatakan ibuku bekerja di pabrik atau jadi tukang masak di restoran. Tetapi, dari setumpuk informasi simpang siur yang ditebar Samun itu, yang membuat keluarga kami sangat sakit hati adalah cerita yang beredar di kedai tuak dan kabar tersebut cukup masuk akal. Konon, Samun telah menjual ibuku pada seorang muncikari dan sekarang jadi pelacur di pinggir rel kereta api.
Tindakan Samun yang semena-mena itu telah mengipas api kemarahan di dada keluarga kami, baik dari pihak ibu maupun ayah. Oleh sebab itu, dua atau tiga tahun kemudian, warga menemukan mayat Samun membusuk di bawah gumuk pasir di pesisir.
’’Tulang Samun, ya…, tulang Samun! Bajingan keparat itu!” gumamku seraya mengepalkan tinju. Kendati tidak sempat membalas dendam ketika dia masih hidup, setelah mati pun tidak mengapa, yang penting balas dendam, dengan menjadikan tulangnya sebagai kayu bakar untuk memasak ubi.
Senja belum magrib, tapi halaman kuil sudah tampak remang. Pohon-pohonnya yang tinggi dan rimbun menutupi langit menyebabkan halaman kuil lebih cepat terlihat gelap. Deretan sarkofagus tampak samar-samar di antara pohon jati dan kayu putih.
Di hari-hari biasa jarang orang yang datang ke kuil, kecuali saat mengantar tulang-belulang dari lereng bukit untuk disemayamkan di sarkofagus. Setiap orang yang meninggal dunia di tempat kami terlebih dahulu akan diletakkan pada sebuah ceruk di tebing bukit agar dimangsa oleh burung gagak dan rajawali. Setelah tinggal tulang-belulang baru dibawa turun ke Kuil Tengkorak untuk disemayamkan di sarkofagus keluarga.
Saat memasuki gerbang kuil berlumut yang meruapkan aroma getah pohon dan jamur busuk itu, aku memergoki seekor ular melilit pohon kopi. Dari bawah pohon cempedak, aku berjalan lurus sekitar seratus meter ke barat sampai ke ujung tembok bata. Di situlah kerangka tulang-belulang Samun disemayamkan.
Aku berhenti persis di atas kepalanya di ujung sarkofagus yang berhias kepala burung hantu. Tanpa berpikir panjang, aku langsung membuka tutupnya yang terbuat dari lempengan batu paras.
Setelah mengamati kerangka tulang itu dari tengkorak kepala sampai kaki, aku berjongkok, lalu memilah-milah beberapa potong tulang yang bentuknya memanjang dan cocok untuk dijadikan kayu bakar, kemudian memasukkannya ke dalam karung.
Sebelum menutup kembali sarkofagus itu, tak lupa aku meludahi dan mengencingi rongga matanya yang bolong, lalu menutupnya dengan cara setengah membanting, hingga menimbulkan bunyi berdebam yang cukup keras.
Usai melampiaskan kemarahanku pada tengkorak terkutuk itu, dadaku terasa plong hingga aku melangkah ringan meninggalkan halaman kuil. Saat hendak keluar dari gapura berlumut itu, seekor burung bercericit di atas kepala. Orang-orang menyebutnya burung maling. Aku terus melangkah menuruni undakan yang licin.
Di dapur, sewaktu memasukkan beberapa potong tulang ke rongga tungku, saat hendak menyulutnya, sebuah tangan mencegahku, ’’Jangan…!” sergahnya.
’’Aku mencintainya.”
Aku menengok ke belakang: Ibuku.
Wonara yang duduk di sebelahku sibuk mengunyah ubi mentah, tidak peduli dengan kehadiran ibu. Hati bocah perempuan itu sudah telanjur terluka! (***)
* Adam Gottar Parra
berdomisili di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Cerpen-cerpennya terbit di sejumlah media massa.
Karya : Adam Gottar Parra
Editor : MUHAMMAD NUR