Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Pemerintah resmi menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen khusus untuk barang mewah. Aturan itu berlaku mulai kemarin atau 1 Januari 2025. Dengan demikian, PPN untuk barang-barang atau jasa yang tidak masuk kategori mewah batal dinaikkan. Presiden Prabowo Subianto memastikan hanya barang-barang kategori mewah saja yang terdampak kenaikan PPN.
”Saya ulangi, kenaikan PPN 11 persen ke 12 persen dikenakan terhadap barang dan jasa mewah. Yaitu barang dan jasa tertentu yang selama ini sudah kena PPN barang mewah yang dikonsumsi golongan masyarakat mampu,” ujarnya dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Selasa (31/12).
Lantas, apa saja barang mewah yang dikenakan tarif PPN 12 persen itu? Barang mewah yang dimaksud adalah barang yang masuk obyek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM, selengkapnya lihat grafis).
”Contoh, pesawat, jet pribadi itu tergolong barang mewah. Kapal pesiar, yacht, rumah mewah yang nilainya di atas golongan menengah,” sambung Prabowo. Artinya, daftar barang mewah tersebut akan terkena tarif PPN 12 persen sekaligus tarif PPnBM
Saat ini pengelompokan barang mewah yang dikenai PPnBM diatur lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2020. Terdapat dua kelompok barang mewah yang dikenakan PPnBM, yaitu kendaraan bermotor dan barang selain kendaraan bermotor. Ketentuan pengenaan PPnBM atas kendaraan bermotor diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.010/2021 yang terakhir diubah dengan PMK Nomor 42/PMK.010/2022.
Sementara itu, barang mewah selain kendaraan bermotor diatur dalam PMK Nomor 96/PMK.03/2021 yang terakhir diubah dengan PMK Nomor 15/PMK.03/2023. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambahkan, barang yang sebelumnya kena PPN 11 persen, akan tetap dikenai PPN 11 persen. Sedangkan yang sebelumya bebas PPN akan tetap dibebaskan.
”Barang dan jasa yang selama ini mendapatkan penge-cualian, yaitu PPN-nya 0 persen, sama sekali tidak membayar PPN,” jelas Ani, sapaan akrab Sri Mulyani.
Ani juga memastikan kabar yang beredar di media sosial yang menyebut sampo hingga sabun terkena PPN 12 persen adalah tidak benar. Barang kebutuhan bahan pokok tidak terkena kenaikan PPN 12 persen.
”Jadi mulai sampo, sabun, dan segala macam yang sudah sering di media sosial itu tetap tidak ada kenaikan PPN. Kalau, ada yang bilang dikenakan PPN 12 persen itu tidak benar,” tuturnya.
Dia menegaskan, barang yang terdampak kenaikan PPN jadi 12 persen hanya barang yang sudah terkena PPnBM. Barang tersebut sebelumnya diatur dalam PMK Nomor 15 Tahun 2023 yang jumlahnya disebut cukup sedikit.
”Ini hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah yang selama ini sudah kena PPnBM. Nah, itu kategorinya sangat sedikit, limited. Yaitu barang seperti private jet, kapal pesiar, yacht, dan rumah yang sangat mewah,” tuturnya.
Terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yu-dhistira merespons positif kenaikan PPN hanya untuk barang mewah. ”Kenaikan PPN 12 persen hanya untuk barang mewah ini lebih positif ke ekonomi. Meski saat ini harga barang terlanjur naik karena aturan teknis PMK terlambat terbit. Pemerintah ke depannya diminta lebih tegas untuk membuat aturan agar masyarakat dan pelaku usaha tidak merasa dipingpong,” ujarnya, Rabu (1/1).
Hal itu merujuk pada berbagai pihak yang telah lebih dulu menaikkan harga dan membebankannya pada konsumen meski pada akhirnya pemerintah hanya mengenakan kenaikan PPN 12 persen untuk barang mewah. Keputusan pembatalan kenaikan PPN 12 persen secara menye-luruh juga disebut Bhima akibat tekanan publik yang menunjukkan penolakan.
”Pemerintah akhirnya kan menimbang juga efek daya beli masyarakat menengah ke bawah dan UMKM. Tapi yang diharapkan setelah pembatalan ini, seharusnya pemerintah mulai siapkan penurunan tarif PPN ke 8 persen,” jelasnya.
Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk meraih pundi-pundi penerimaan lain saat kenaikan PPN 12 persen dibatalkan? Bhima menyebut, ada banyak opsi yang bisa dilakukan untuk menggenjot penerimaan akibat PPN yang tidak jadi naik.
Pertama, pemerintah bisa merancang pajak kekayaan, dimana total harta orang superkaya dipajaki 2 persen. ”Jadi bukan pajak penghasilan ya, tapi pajak harta yang selama ini Indonesia belum punya. Estimasinya akan diperoleh Rp81,6 triliun sekali penerapan pajak kekayaan. OECD dan G20 kan mendorong pemberlakuan pajak kekayaan juga,” imbuh Bhima.
Kedua, pajak karbon yang diamanatkan UU HPP bisa dijalankan tahun ini. Kebijakan ini sejatinya disebut Bhima tak terlalu ruwet. Hanya menunggu pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang me-ngaturnya saja.
”Begitu diberlakukan ke PLTU batubara, hasil pajak karbon akan digunakan untuk dorongan belanja energi terbarukan yang serap tenaga kerja. Bagus juga pajak karbon bagi lingkungan hidup,” katanya.
Ketiga, pajak produksi batubara di luar royalti yang lebih tinggi. Keempat, pemerintah didorong untuk berupaya sungguh-sungguh dalam menutup kebocoran pajak di sektor sawit dan tambang.
”Kelima, pemerintah harus mengevaluasi seluruh insentif pajak yang tidak tepat sasaran. Misalnya perusahaan smelter nikel yang labanya besar sekali tidak perlu diberikan tax holiday,” jelasnya.
Keputusan pemerintah hanya menerapkan PPN 12 persen untuk barang mewah disambut positif kalangan pengusaha. Ketua Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Timur Eddy Widjanarko me-ngatakan bahwa keputusan tersebut sudah seharusnya dilakukan jika tidak ingin ada kericuhan di tanah air.
Namun, tanpa adanya anulir pun tekanan ekonomi global dan domestik masih banyak. Karena itu, dia merasa daya beli masyarakat masih stagnan dan pengusaha masih belum termotivasi untuk bergerak.
”Sudah sepatutnya kebijakan kontradiktif ini dibatalkan. Namun, harus ada insentif yang lebih supaya pengusaha mau bergerak dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang ada,” paparnya.
Dia menyebut ada lima hal yang diperhatikan pemerintah untuk bisa mendorong pebisnis. Pertama, pajak yang tidak memberatkan pengusaha. Kemudian, ketegasan dalam arus ekspor impor.
“Masalah arus impor ilegal harus menjadi perhatian agar pengusaha domestik mau melakukan ekspansi,” tuturnya, Rabu (1/1). Ketiga, lanjut Eddy, pemerintah harus bisa memaksimalkan kawasan berikat dapat menarik investasi. Kawasan ekonomi khusus (KEK) dan kawasan industri khusus (KIK) menjadi kunci untuk membuat laju ekonomi menjadi lebih kencang. ”Isu keempat dan kelima sendiri adalah soal kepastian hukum dan perubahan kebijakan pemerintah. Kalau terus diubah dan bertambah investor pasti ragu,” tuturnya.
Bagaimana soal penyesuai-an harga karena kenaikan PPN? Eddy menegaskan sudah seharusnya pengusaha menganulir sesuai dengan peraturan menteri keuangan terbaru.
Ketua APPBI (Asosiasi Pe-ngusaha Pusat Belanja Indonesia) Jawa Timur Sutandi Purnomosidi pun menegaskan bahwa belum ada pengusaha yang menerapkan PPN 12 persen dalam produk dan layanan. Dia mengatakan, penerapan PPN 12 persen untuk barang mewah saja merupakan kabar baik peretail maupun industri yang mendukungnya seperti pusat perbelanjaan.
Dia sempat mengatakan bahwa banyak pelaku industri yang sedang tiarap bahkan, beberapa ritel menutup gerai. ”Konsumen bakal berpikir dua kali sebelum beli kalau beban pajaknya tambah besar,” ujarnya.
Sementara itu, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah menyarankan pemerintah mereformasi sistem perpajakan. Dibanding menaikkan PPN yang hanya memenuhi target fiskal jangka pendek.
Hal itu belajar dari pengalaman Jepang saat menaikkan PPN di 2014 dan Eropa pada 2007. Kebijakan tersebut mengakibatkan konsumsi rumah tangga mengalami penurunan tajam dan memicu keterlambatan pertumbuhan ekonomi.
Wakil Ketua LHKP Muhammadiyah Akbar S mengatakan, yang perlu dilakukan adalah reformasi perpajakan. (*)
Reporter : Yashinta, YOFI YUHENDRI
Editor : RYAN AGUNG