Buka konten ini
Adanya tiga kelenteng di Vihara Bodhisatva Karaniya Metta, Pontianak, serta sejarah panjangnya membuat tempat peribadatan tersebut ramai jadi jujukan. Tepat menghadap Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia, menjadi daya tarik lain.
AROMA wangi dupa yang dibakar para pendoa menyusup menyesaki ruangan persembahyangan. Silih berganti, warga keturunan Tionghoa memanjatkan doa di Vihara Bodhisatva Karaniya Metta, Pontianak, Kalimantan Barat, yang memiliki tiga altar dewa-dewi. Berharap doa yang dipanjatkan membawa keberkahan di Tahun Kayu Imlek 2025.
Banyaknya yang beribadah otomatis membuat A Kian, salah seorang pengurus wihara, tak henti-hentinya membersihkan meja persembahan berwarna merah, Rabu (29/1). Dia dan pengurus lain otomatis harus memastikan dupa sisa dari para pendoa tidak menumpuk di hiokong (tempat menancapkan dupa yang sudah dibakar) di wihara di tepian Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia, tersebut.
Menurut A Kiang, mereka yang sudah bersembahyang pada malam hari (28/1) biasanya adalah kelompok orang-orang paro baya yang sepertinya memang masih memegang teguh tradisi Tionghoa. ”Anak-anak muda datang biasanya pagi harinya. Atau bersamaan dengan orang tuanya saat pagi juga,” katanya.
Sejak awal Januari, A Kiang dan pengurus lain sudah sibuk dengan berbagai aktivitas untuk mempersiapkan beberapa kebutuhan persembahyangan di wihara. Mulai membersihkan ruangan, memasang ornamen Imlek, menyiapkan perlengkapan untuk sembahyang, hingga menata lilin.
”Ada sekitar 12 orang yang bertugas mengurus wihara.
Biasanya saat Imlek ada yang membantu menjadi relawan juga,” jelasnya.
Seperti yang dikerjakan A Sui sebelum memasuki perayaan Imlek. Dia sibuk dengan kanvas kayunya. Tugasnya membuat tulisan nama-nama donatur yang menyumbang lilin untuk dihidupkan di wihara. A Sui berteman tinta hitam yang dibubuhkan ke kertas merah bertulisan aksara Mandarin.
”Tulisan ini nama-nama sejumlah donatur yang menyumbangkan lilin untuk wihara. Nanti kertas tersebut ditempelkan di tiap lilin agar pemiliknya mengetahui bila akan dinyalakan,” ungkapnya.
A Sui melanjutkan, pekerjaan tersebut sekarang mulai berat dilakukan. Harus perlahan-lahan karena tangan tuanya mulai sedikit gemetar saat mencelupkan kuas ke dalam botol tinta hitam.
”Sudah tak banyak yang mau menekuni menulis Mandarin di wihara, mungkin bisa dihitung dengan jari yang tersisa,” katanya.
Vihara Bodhisatva Karaniya Metta sarat nuansa religius dan riwayat sejarah. Wihara tersebut konon berdiri sejak 1829. Sembilan pilar pintu masuk yang melekat dengan makna ornamen para dewa berdiri gagah perkasa. Seperti menyiratkan sambutan penghormatan kepada para tamu.
Gunawan, pengurus wihara yang dituakan, menuturkan bahwa rumah ibadah itu memang selalu ramai dikunjungi umat untuk beribadah. Jumlahnya bisa mencapai ribuan saat Imlek datang.
Tak hanya warga lokal, masyarakat dari luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan Taiwan turut beribadah di sana. Sebagian memang berkampung halaman di Pontianak dan sekitarnya, sebagian lainnya sengaja datang untuk beribadah karena tertarik dengan riwayat serta kekhidmatan di dalam wihara tersebut.
”Saat Imlek, pengurus dan tenaga sukarelawan harus ekstra untuk melayani umat yang silih berganti beribadah. Kadang harus lembur hingga tak tidur,” ujar Gunawan yang menjadi pengurus dan dituakan di wihara tersebut.
Vihara Bodhisatva Karaniya Metta merupakan wihara tertua yang bisa ditemukan di ibu kota Kalimantan Barat tersebut. Statusnya tercatat sebagai cagar budaya yang sudah berkali-kali mengalami pemugaran. Dulu wihara bernaung di bawah Yayasan Bhakti Suci, tetapi sekarang sudah mandiri.
Ia menjelaskan, wihara yang tepat menghadap Sungai Kapuas itu unik karena memiliki tiga kelenteng untuk sembahyang. Altar utama yang berada di tengah adalah Dewi Samudra (Macau). Lalu diapit Kelenteng Putra Dewa Na Ca dan Kelenteng Kam Thian Tai Ti (Tua Pek Kong). (***)
Reporter: HARYADI
Editor : RYAN AGUNG