Buka konten ini
Anambas (BP) – Yayasan Anambas Foundation turut ambil bagian dalam Simposium Marine Protected Area (MPA) dan Other Effective Area-based Conservation Measures (OECM) yang digelar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di IPB International Convention Center, Bogor, Jawa Barat.
Forum ini membahas sejumlah isu strategis dalam penguatan konservasi kawasan perairan nasional. Beberapa topik yang diangkat meliputi tata kelola kawasan konservasi, peran MPA dalam menjaga biodiversitas dan mitigasi perubahan iklim, pemanfaatan teknologi untuk pemantauan kawasan, serta peran OECM dalam melindungi wilayah laut di luar kawasan formal.
Ketua Yayasan Anambas Foundation, Devina Mariskova, menyambut baik forum tersebut sebagai momentum penting untuk mengenalkan konsep OECM kepada publik, yang selama ini lebih familiar dengan istilah MPA.
“Padahal, penerapan OECM bisa memperluas cakupan perlindungan wilayah sekaligus mendorong keterlibatan masyarakat lokal. Dampaknya, perlindungan lingkungan bisa berjalan selaras dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat,” ujar Devina kepada Batam Pos, Minggu (18/5).
Menurutnya, konsep OECM sangat relevan diterapkan di Anambas, mengingat banyak kegiatan yayasan yang dilakukan di luar kawasan MPA namun memiliki nilai konservasi tinggi, seperti pertanian hutan. Selain itu, Anambas Foundation juga aktif menguatkan peran masyarakat melalui pendekatan berbasis ekonomi dan sosial.
Selama ini, yayasan tersebut menjalankan berbagai program konservasi seperti pelestarian penyu, pemantauan dan rehabilitasi terumbu karang, pemberdayaan masyarakat pesisir, hingga edukasi lingkungan.
Pada simposium ini, seluruh organisasi yang hadir juga menyepakati pentingnya pelibatan masyarakat dalam upaya konservasi agar hasilnya berkelanjutan. Devina menyebut hal itu sejalan dengan program yang dijalankan Anambas Foundation, seperti pengembangan ekowisata, pengelolaan sampah berbasis komunitas, peningkatan keterampilan lokal, dan pendidikan lingkungan.
Meski begitu, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah terbatasnya infrastruktur dan aksesibilitas menuju kawasan konservasi di Anambas, yang menyulitkan promosi wisata berbasis konservasi.
“Tantangan utama memang pada aspek transportasi. Untuk itu, kami mendorong kolaborasi dengan pelaku wisata lokal, mengembangkan model tur berbasis desa, dan memaksimalkan promosi digital untuk menjangkau wisatawan minat khusus yang peduli pada keberlanjutan,” jelas Devina.
Ia berharap pengembangan ekowisata di Anambas dapat diarahkan pada skala kecil dan bersifat edukatif, bukan wisata massal. Menurutnya, pendekatan tersebut penting untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan ekosistem dengan aktivitas pariwisata.
“Dengan begitu, keberlanjutan ekosistem laut dan pesisir tetap terjaga, sekaligus meminimalkan dampak negatif seperti peningkatan sampah dan kerusakan lingkungan,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, juga ditampilkan poster berjudul Beyond Ecosystem, karya Dominikus Yoeli Wilson Laia, David Alfred Nemazie, dan Rahmat Irfansyah dari LKKPN Pekanbaru, mitra Anambas Foundation. Poster ini menyoroti peran masyarakat dalam menjaga kawasan bernilai konservasi tinggi di luar kawasan formal.
“Poster tersebut sangat menggugah, karena menampilkan esensi kolaborasi masyarakat dalam konservasi, yang sejalan dengan pendekatan kami,” ucap Devina.
Devina pun berharap forum simposium ini bisa diselenggarakan rutin setiap tahun, dengan melibatkan langsung komunitas lokal.
“Komunitas lokal perlu dilibatkan agar suara mereka juga terdengar dalam forum nasional. Selamat juga kepada Konsorsium MPA-OECM atas penandatanganan MoU bersama KKP. Kami berharap bisa bekerja sama lebih jauh untuk pengembangan MPA-OECM di wilayah barat Indonesia,” pungkasnya. (*)
Reporter : Ihsan Imaduddin
Editor : GALIH ADI SAPUTRO