Buka konten ini
BATAM (BP) – Isu pemecatan anggota DPRD Batam dari Fraksi PDIP, Mangihut Rajagukguk (MR), tengah ramai diperbincangkan menyusul dugaan keterlibatannya dalam kasus penggelapan dan penipuan jual beli pasir hasil pengerukan (dredging). Kabar pemecatan ini mencuat setelah rapat jajaran Pengurus Anak Cabang (PAC) PDIP se-Kota Batam yang digelar pada 11 Mei lalu.
Menanggapi hal tersebut, Ketua DPC PDIP Kota Batam, Nuryanto, menegaskan bahwa keputusan pemecatan seorang kader bukanlah kewenangan mereka. Kewenangan penuh terkait pemberhentian berada di tangan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP.
“Kalau masalah pemecatan itu kan belum ada laporan. Itu pendapat, aspirasi. Jadi boleh-boleh saja. Kita hormati, kita hargai,” ujarnya, Selasa (13/5).
Menurutnya, pendapat yang berkembang di internal partai, termasuk dari jajaran PAC, adalah bagian dari dinamika organisasi yang tetap dihormati. Namun secara struktur, DPC tidak memiliki ruang untuk mengambil keputusan pemecatan kader.
“Kita dengan persoalan yang terjadi saat ini paling hanya bisa melaporkan. Nanti keputusannya tetap di DPP,” ujar Cak Nur, sapaan akrabnya.
DPC PDIP Batam sendiri belum membawa persoalan ini ke forum rapat pleno. Ia menyebut, pleno internal DPC akan segera digelar dalam beberapa hari ke depan untuk membahas langkah-langkah lanjutan terkait kasus yang menyeret nama Mangihut.
Di sisi lain, DPC PDIP Batam juga mencatat sikap Mangihut yang urung melaporkan balik pelapor atas dugaan penipuan tersebut, meski sebelumnya sempat diultimatum. Menurut Cak Nur, hal ini menjadi salah satu bahan evaluasi partai dalam menyusun laporan ke DPP.
“Kalau beliau belum melaporkan, itu tetap kita hormati. Tapi ini jadi catatan buat kita. Yang jelas, nama baik partai belum pulih. Padahal, setiap kader wajib menjaga martabat partai,” ujarnya.
Saat ditanya kapan DPC akan mengambil sikap resmi terhadap MR, ia menyebut kemungkinan dalam satu hingga dua hari ke depan. Namun, ia kembali menegaskan bahwa keputusan akhir tetap berada di tangan DPP, termasuk soal proses pergantian antarwaktu (PAW).
Sementara itu, dikonfirmasi terpisah, Mangihut mengaku belum mengetahui kabar pemecatannya dari PDIP. Ia mengatakan tidak menerima informasi resmi terkait isu tersebut.
“Enggak tahu saya, enggak ada diinformasikan ke saya. Enggak ada,” ujarnya.
Ia meminta agar pertanyaan soal status keanggotaannya di PDIP ditujukan langsung ke DPC partai. Hingga saat ini, Mangihut belum memberikan pernyataan tambahan soal kelanjutan proses hukum yang menjerat namanya.
Diberitakan sebelumnya, kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang menyeret MR masih bergulir di Mapolresta Barelang. Kapolresta Barelang, Kombes Zaenal Arifin, mengatakan bahwa kasus ini tetap diproses sesuai laporan korban, yakni seorang pengusaha berinisial D.
“Belum ada pencabutan laporan,” ujarnya, Jumat (2/5).
Zaenal menegaskan, pihaknya tetap melakukan penyelidikan dengan meminta keterangan korban dan rekan bisnisnya. Selain itu, penyidik Satreskrim Polresta Barelang juga tengah mengumpulkan seluruh bukti.
“Masih penyelidikan,” katanya.
Terkait kabar yang beredar bahwa korban dan terlapor telah berdamai, hal itu dibantah oleh kuasa hukum korban, Natalis N. Zega. Menurutnya, korban saat itu tengah menjalani perawatan di RS Elisabeth Batam Kota dan didatangi oleh sekelompok orang yang diduga tidak memiliki kepentingan dalam perkara.
“Perdamaian itu dilakukan secara janggal. Klien saya menyepakati perdamaian karena diduga berada di bawah tekanan dari sejumlah pihak yang mendatangi pelapor di rumah sakit,” ujarnya.
Natalis menyebut penandatanganan surat perdamaian dilakukan saat korban masih terbaring di rumah sakit, dan ia selaku kuasa hukum tidak dilibatkan sama sekali. Ia memastikan, surat perdamaian tersebut cacat hukum karena pihak-pihak yang mendatangi korban tidak memiliki kepentingan hukum dan justru melakukan intervensi.
Saat itu, lanjut Natalis, sempat terjadi ketegangan. Dua helai surat yang dibawa pihak luar ke RS Elisabeth, salah satunya bahkan ia robek karena isinya dianggap tidak sesuai fakta.
“Salah satu surat saya robek. Saya sempat membaca isinya. Intinya, klien kami diminta memaafkan MR dan kami sebagai pelapor diminta mengklarifikasi pernyataan di media dan menyatakan bahwa pernyataan itu tidak benar,” tegasnya.
Ia menilai hal ini janggal karena pihak yang membuat laporan berbeda dengan pihak yang melakukan perdamaian. Natalis menegaskan, pihaknya telah menyerahkan seluruh proses hukum kepada Polresta Barelang.
“Semua bukti dugaan penipuan dan penggelapan, termasuk salah satu bukti yang mencoreng institusi Polri dan TNI, telah kami serahkan ke Polresta Barelang. Kesepakatan damai boleh saja terjadi, tetapi proses hukum harus tetap berlanjut,” ujarnya.
Terkait dugaan intervensi yang terjadi di RS Elisabeth, Natalis meminta pihak rumah sakit meningkatkan pengamanan terhadap korban. Ia juga meminta bantuan Kapolda Kepri untuk menjamin keselamatan kliennya.
“Kami juga telah melaporkan aksi intervensi di RS ke Polresta Barelang dan meminta perlindungan dari lembaga terkait,” ujarnya.
MR dipolisikan oleh seorang pengusaha Batam berinisial D ke Polresta Barelang atas dugaan penipuan dan penggelapan. Dalam laporan tersebut, MR disebut menyebabkan kerugian hingga Rp1,4 miliar dan melakukan intimidasi serta pengancaman.
Informasi yang diperoleh menyebutkan, sebelum dilaporkan, MR meminta uang dalam jumlah besar dan saham kepada korban saat menjalankan bisnis jual beli pasir seatrium hasil pendalaman alur laut PT SMOE di Nongsa. Aktivitas ini sempat dihentikan pihak kepolisian, namun MR disebut kembali meminta uang dan saham kepada korban dengan dalih akan mengurus koordinasi dengan kepolisian.
Kasat Reskrim Polresta Barelang, AKP Debby Tri Andrestian, menyatakan bahwa penyelidikan terus berlangsung. “Masih penyelidikan,” ujarnya singkat. (*)
Reporter : ARJUNA
Editor : RYAN AGUNG