Buka konten ini

ANGKA deportasi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dari luar negeri dalam beberapa tahun terakhir sangat tinggi, terutama dari Malaysia. Keberangkatan nonprosedural atau secara ilegal diduga menjadi penyebab utama persoalan PMI di luar negeri.
Modus operandi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atau PMI ilegal adalah dengan memiliki dokumen identitas resmi dan bergaya layaknya wisatawan yang hendak ke luar negeri. Hal ini membuat aparat kesulitan mendeteksi mana penumpang yang benar-benar berwisata dan mana yang akan bekerja secara ilegal.
Menteri Pemberdayaan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, menyampaikan apresiasi atas langkah Polda Kepulauan Riau (Kepri) yang menggagas deklarasi bersama untuk mencegah pengiriman pekerja migran ilegal dan TPPO. Hal itu disampaikannya dalam kunjungan kerja ke Mapolda Kepri, Jumat (25/4).
“Hari ini saya secara khusus datang ke Polda Kepri karena ada hal yang sangat penting. Kapolda dan seluruh jajarannya telah memprakarsai deklarasi pencegahan PMI ilegal bersama kementerian. Ini yang pertama di Indonesia,” ujar Abdul Kadir.
Menurut dia, Batam memiliki posisi strategis sebagai salah satu jalur transit utama keberangkatan pekerja migran ilegal. Karena itu, berbagai pendekatan diperlukan, baik dari sisi penegakan hukum maupun pembinaan.
“Kita harus kepung Batam dengan berbagai pendekatan. Kami akan mendorong agar calon PMI ilegal dicegah dan diarahkan untuk berangkat secara prosedural. Mereka akan diklasifikasi, dilatih, dan diberangkatkan secara legal,” jelasnya.
Ia menyebutkan, 95 persen persoalan yang menimpa PMI di luar negeri berakar dari proses keberangkatan yang tidak sesuai prosedur. Untuk itu, selain menindak tegas sindikat dan calo, Kementerian P2MI juga tengah menyiapkan skema pelatihan dan pemberangkatan formal bagi PMI yang dicegah keberangkatannya.
“Jadi, rata-rata permasalahan di luar negeri yang menimpa PMI disebabkan karena mereka berangkat secara ilegal,” tegasnya.
Saat disinggung mengenai keterbatasan anggaran dalam penanganan TPPO, Menteri Abdul Kadir menyatakan bahwa masing-masing lembaga memiliki peran berbeda. Kementerian, katanya, bertugas menyiapkan kebijakan dan program.
“Tugas saya adalah menyiapkan kebijakan. Soal anggaran sudah ada untuk program antisipasi dan pencegahan,” ujarnya.
Abdul Kadir juga mengajak kolaborasi lintas sektor dalam upaya perlindungan terhadap pekerja migran, terutama perempuan dan anak. Ia menekankan bahwa kementeriannya tidak dapat bekerja sendiri menghadapi kompleksitas persoalan ini.
Menurutnya, pelibatan berbagai pihak, termasuk kementerian lain, organisasi kemasyarakatan (ormas), dan kelompok berpengaruh di masyarakat, menjadi langkah strategis untuk memperluas jangkauan perlindungan dan pemberdayaan.
“Kita harus kolaboratif agar persoalan ini bisa kita selesaikan bersama,” katanya dalam kunjungan di Batam, Kamis (24/4).
Salah satu bentuk kontribusi yang diharapkan dari berbagai pihak adalah menyosialisasikan secara masif pemberantasan praktik pengiriman pekerja migran nonprosedural. Edukasi yang tepat diyakini akan meminimalkan risiko yang dihadapi PMI di negara tujuan.
Selain itu, Abdul Kadir juga menyoroti pentingnya pendampingan dari sisi ekonomi, hukum, pengasuhan anak, hingga penguatan keluarga para pekerja migran. Pendekatan holistik seperti ini dinilainya dapat memperkuat ketahanan keluarga dan mencegah kerentanan sosial di tingkat akar rumput.
Kementerian P2MI sendiri telah menjalin kerja sama dengan sekitar 12 kementerian/lembaga lain yang memiliki keterkaitan langsung dalam isu migrasi tenaga kerja. Sinergi itu hingga kini masih berjalan dengan baik.
Selain itu, beberapa ormas besar seperti Muhammadiyah, PBNU, dan sejumlah organisasi lainnya juga telah diajak terlibat dalam upaya perlindungan PMI. Ia menilai, peran ormas tersebut memiliki dampak strategis dalam menjangkau komunitas dan memberikan edukasi yang membumi.
Ia menyebut, pola kolaborasi ini tidak hanya diterapkan di Batam, tetapi juga di berbagai daerah lain yang memiliki potensi kerja sama. Wilayah kantong PMI menjadi prioritas penguatan jejaring pelindungan.
“Karena kemampuan dan sumber daya kami (Kementerian P2MI) terbatas, maka semua pihak harus diajak terlibat. Dimulai dari mengenal apa itu pekerja migran, bagaimana cara berangkat yang prosedural, dan bagaimana mendampingi mereka dalam berbagai hal,” ujarnya.
Sementara itu, Kapolda Kepri, Irjen Asep Safrudin, menyambut baik dukungan dari Kementerian P2MI. Ia menyebut deklarasi ini sebagai bentuk sinergi antara Forkopimda, masyarakat, dan pemangku kepentingan untuk memutus rantai pengiriman pekerja migran nonprosedural.
“Ini suntikan semangat dari Pak Menteri. Kami akan memperkuat kerja sama lintas sektor untuk pencegahan dan penindakan terhadap pengiriman ilegal,” kata Asep.
Ia menambahkan, kepolisian akan terlibat dalam penyusunan formula bersama kementerian dan pemerintah daerah untuk memberikan solusi yang lebih manusiawi bagi calon PMI yang telah dicegah keberangkatannya.
“Seperti arahan Kapolri, carilah solusi terbaik agar masyarakat bisa bekerja di luar negeri dengan mudah namun tetap legal,” tambahnya.
Menjawab pertanyaan terkait tingkat kerawanan TPPO di Kepri, Kapolda menyebut wilayah ini termasuk zona rawan berdasarkan data internal, bersama dengan Bandara Soekarno-Hatta, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
“Modus operandi kini lebih canggih. Mereka dilengkapi dokumen resmi dan didandani seolah-olah hendak berwisata. Ini yang perlu diwaspadai,” ungkapnya.
Untuk mendukung pencegahan, Polda Kepri telah mengajukan penambahan armada kapal sejak 2024. Namun hingga kini, penguatan sarana masih menunggu tindak lanjut dari Mabes Polri.
“Kalau sekarang, saya akan laporkan langsung ke Kapolri. Kami terus mengupayakan penguatan fasilitas untuk memperkuat pengawasan laut,” ujar Kapolda.
Terkait pelabuhan-pelabuhan tidak resmi atau “pelabuhan tikus”, ia menambahkan bahwa koordinasi telah dilakukan dengan TNI AL, Bakamla, Polairud, serta Kementerian Perhubungan untuk memastikan semua kapal terdaftar dan diawasi ketat.
“Soal pelabuhan tikus, kami bekerja sama dengan Polri, Lanal, Bakamla, Polair, meminta agar kapal-kapal besar dan kecil terdaftar di Kementerian Perhubungan. Kalau tidak terdaftar, repot. Ini menjadi atensi utama kami,” pungkas Asep.
Sementara itu, tren meningkatnya jumlah PMI yang diberangkatkan secara ilegal ke Kamboja dan Myanmar untuk bekerja sebagai operator judi online dan pelaku penipuan daring (scammer), kini menjadi sorotan serius. Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP), Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus, mengungkapkan keprihatinannya terhadap fenomena ini.
Ia menyebut, para PMI yang dikirim ke luar negeri itu mayoritas berasal dari kalangan berpendidikan, yakni lulusan SMA ke atas.
“Ya, memang saat ini tren PMI ke Kamboja dan Myanmar menjadi perhatian serius. Mereka bukan lagi bekerja di sektor informal seperti sebelumnya, tetapi justru masuk ke ranah kejahatan digital,” ujar Romo Paschal, Jumat (25/4).
Ia menegaskan, upaya pencegahan dan penanganan tidak bisa dibebankan pada satu pihak saja. Aparat penegak hukum, kementerian terkait, hingga pemerintah daerah harus bersinergi dan menanggapi hal ini secara serius.
Romo mencontohkan peristiwa di Kepulauan Riau, dimana sebanyak 39 PMI yang dipulangkan dari Myanmar tidak mendapatkan pendampingan dan fasilitasi penjemputan dari pemerintah daerah.
“Seharusnya ini bisa ditindak-lanjuti. Dari situ bisa ditelusuri siapa yang memberangkatkan mereka, dan siapa mafia di balik pengiriman PMI ke Kamboja dan Myanmar,” katanya.
Romo Paschal juga menyoroti kecenderungan normalisasi di tengah masyarakat, yang menganggap pekerjaan di luar negeri—meski dalam praktiknya bagian dari TPPO—sebagai hal yang lumrah. Ia menyayangkan bahwa meskipun isu ini telah viral sejak 2022 pascapandemi, belum ada keseriusan nyata dalam penanganannya.
Lebih lanjut, ia mengungkap adanya modus baru dalam kejahatan TPPO, yakni menggunakan jalur keberangkatan resmi. Para sindikat disebut memanipulasi dokumen sehingga PMI terlihat diberangkatkan secara legal. Hal ini, kata Romo, menunjukkan adanya kelalaian dan ketidakmampuan dalam melakukan profiling terhadap calon pekerja.
“Bayangkan, pada 2024 saja sudah lebih dari 2.000 PMI yang dideportasi. Dan 1.500 di antaranya berangkat melalui jalur resmi,” katanya.
Menurut Romo Paschal, ini menjadi tanggung jawab besar pemerintah. Ia menegaskan, selama persoalan TPPO belum menjadi skala prioritas nasional, maka upaya-upaya yang dilakukan akan sia-sia.
“Kami dari KKPPMP hanya bisa mendukung, karena ini bukan persoalan mudah. Tapi jika tidak dijadikan prioritas utama, maka hasilnya akan tetap seperti sebelumnya,” jelasnya.
WNI Bermasalah di Kamboja Meningkat 174 Persen
Di lain pihak, Kantor Keduataan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Phnom Penh, Kamboja mencatat ada 1.301 kasus Warga Negara Indonesia (WNI) yang bermasalah dalam tiga bulan pertama atau triwulan pertama di 2025. Mayoritas ribuan WNI tersebut bermasalah karena terlibat dengan penipuan online atau scamming.
“Sesuai dengan data dan kasus yang ditangani selama Januari sampai Maret 2025, kita (KBRI Phnom Penh, red) telah menangani 1.301 kasus WNI yang bermasalah di Kamboja. Angka ini mengalami kenaikan yang cukup besar berdasarkan persentase. Yak-ni, sebanyak 174 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu,” ujar Dubes RI untuk Kerajaan Kamboja, Santo Darmosumarto, melalui rilis yang dikirimkan ke Batam Pos, Jumat (25/4).
Dengan jumlah tersebut, katanya, rata-rata KBRI menangani 20 sampai 25 kasus baru setiap hari kerja. Dari total kasus sebanyak 1.301 yang ditangani, maka 1.112 kasus atau 85 persen yang melibatkan WNI terkait dengan penipuan daring. Untuk diketahui, kegiatan penipuan daring dilakukan oleh WNI dengan target masyarakat Indonesia.
“Apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, jumlah kasus WNI yang terlibat penipuan mengalami peningkatan dari 306 kasus menjadi 1.112 kasus. Sementara sisanya terkait dengan permasalahan perdata, ketenagakerjaan dan keimigrasian. Dan berasal dari berbagai sektor bisnis dan industri. Sesuai dengan informasi Imigrasi Kamboja, pada 2024 terdapat lebih dari 131 ribu WNI yang menetap dan bekerja secara legal di Kamboja,” papar Santo.
Lebih lanjut dijelaskan Santo bahwa banyak di antara WNI yang terlibat dalam kegiatan penipuan daring tersebut sudah berada di Kamboja lebih dari 6 bulan. Sebelumnya pemerintah melalui KBRI Phnom Penh sudah mengeluarkan imbauan secara masif melalui media sosal dan juga pemberitaan, namun masih banyak WNI yang terbuai dengan tawaran pekerjaan yang menyesatkan. Contohnya, pekerjaan yang mudah dan mendapatkan gaji yang tinggi.
“Ditambah lagi dengan janji pemberian fasilitas yang enak dan persyaratan kerja yang minim. Terkait dengan meningkatkan WNI yang bermasalah di Kamboja, kami menekankan kembali pentingnya bagi masyarakat Indonesia untuk lebih hati-hati dan lebih bijak dalam mencari dan menerima tawaran pekerjaan di luar negeri. KBRI Phnom Penh akan perkuat koordinasi dengan instansi-instansi terkait guna mendorong upaya pencegahan, penanggulangan dan penindakan. Terutama atas kasus WNI bermasalah di Kamboja,” ungkapnya.
Ditambahkan Santo, diperlukan peningkatan edukasi dan literasi digital agar WNI terhindar dari jebakan perekrutan loker ilegal dan kejahatan daring yang merugikan banyak pihak. Di antara kasus-kasus yang ditangani KBRI Phnom Penh, juga termasuk 28 kasus kematian WNI. Angka ini naik 75 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Berdasarkan laporan kepolisian dan rumah sakit di Kamboja, penyebab utama kematian para WNI adalah termasuk penyakit jantung dan stroke sebanyak 11 kasus atau 39 persen. Disusul dengan akibat penyakit diabetes dan gagal ginjal atau liver liver masing-masing 5 kasus atau 18 persen. Penyakit kanker, epilepsi, DBD dan gangguan internis lainnya sebanyak 4 kasus atau 14 persen, HIV, AIDS, dan sexually transmitted diseases ada 3 kasus atau 11 persen, kecelakaan, termasuk kecelakaan lalu lintas 3 kasus atau 11 persen, serta TBC dan penyakit paru-paru 2 kasus atau 7 persen,” jelas Duber Santo. (***)
Reporter : YASHINTA – ARJUNA – AZIS MAULANA – SANDI PRAMOSINTO
Editor : RYAN AGUNG