Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Industri tekstil dalam negeri belum keluar dari tekanan. Sektor ini tengah disorot karena isu pemutusan hubungan kerja (PHK) kembali mencuat. Ditambah lagi kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS), pelaku usaha tidak ingin ada relaksasi impor yang dapat membahayakan industri dalam negeri.
Terbaru adalah perusahaan garmen PT Yihong Novatex Indonesia yang akan melakukan PHK terhadap 1.126 tenaga kerja. Merespons tersebut, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) meminta perusahaan untuk menyelesaikan persoalan dengan para pekerja sesuai koridor hukum yang berlaku.
”Jangan sampai konflik industrial itu merugikan industri dan merugikan pekerja,” ujar Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif di Jakarta, Kamis (10/4).
Lebih lanjut, pihaknya mengajak supaya pengusaha dan pekerja sektor perindus-trian bekerja sama untuk menjaga kontribusi industri manufaktur di tengah gejolak perekonomian global. ”Jangan sampai kita tertekan dari luar dan dalam negeri,” urainya.
Di lain pihak, asosiasi menilai bahwa kondisi industri tekstil yang tengah tertekan ini harus disikapi dengan tepat oleh pemerintah. Apalagi, situasi global juga makin tidak stabil dengan adanya kebijakan agresif dari AS. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menyebutkan salah satunya yang perlu dicermati adalah kebijakan-kebijakan impor.
”Arah kebijakan relaksasi impor akan sangat merugikan Indonesia dalam menyikapi kebijakan perang tarif saat ini. Kalau kita sikapi dengan kurangi atau relaksasi impor akan jadi kesalahan besar, karena kita ekspor enggak dapat, impor banjir, industri terpukul, PHK di mana-mana,” bebernya.
Redma mengakui bahwa dinamika kondisi industri tekstil saat ini sangat cepat. ”Yang terjadi saat ini adalah percepatan PHK, tren yang kemarin kita sama-sama ketahui ada PHK bisa lebih kencang lagi. Jangan sampai ada salah kebijakan,” tegas Redma.
Sementara itu, ekonom dari Center of Reform on Economics (Core), Yusuf Rendy Manilet, menilai maraknya PHK di industri padat karya menunjukkan kebijakan yang kurang berpihak pada industri dalam negeri. Salah satunya adalah kebijakan impor yang semakin meningkatkan persaingan dengan produk luar, terutama dari Tiongkok.
”Jadi ada permasalahan yang sifatnya fundamental yang akhirnya berujung pada berkurangnya daya saing industri dalam negeri. Misalnya, kebijakan yang tidak berpihak kepada industri. Kalau kita bicara konteks tekstil, ada kebijakan yang akhirnya mendorong lebih banyak barang impor. Terutama dari Tiongkok yang akhirnya ikut menekan daya saing dari industri tekstil,” pungkasnya. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : RYAN AGUNG