Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDIP Hasto Kristiyanto akhirnya menjalani sidang perdana di PN Jakarta Pusat, Jumat (14/3). Dalam sidang pembacaan dakwaan itu, Hasto didakwa melakukan pidana merintangi penyidikan kasus pergantian antarwaktu (PAW) caleg PDIP Harun Masiku dan suap.
Dakwaan itu disampaikan oleh jaksa KPK Wawan Yunarwanto. Dia menyebut, upaya penghalangan dilakukan Hasto berupa memerintahkan Harun Masiku merendam telepon genggamnya ke dalam air. Instruksi itu disampaikan Hasto melalui penjaga rumah aspirasi Nur Hasan. Saat itu, Harun berada di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 8 Januari 2020.
Perintah itu dilakukan seusai KPK melancarkan operasi tangkap tangan (OTT) kepada Komisioner KPU RI 2017-2022 Wahyu Setiawan. ”Lalu petugas KPK mendatangi PTIK, namun tidak berhasil menemukan Harun Masiku,” ujarnya.
Hasto juga memerintahkan staf pribadinya Kusnadi guna menenggelamkan telepon genggam miliknya. Diduga sebagai antisipasi pemeriksaan oleh penyidik KPK. Setelah Hasto diperiksa sebagai saksi oleh KPK pada 10 Juni 2024.
Selain mendakwa dengan pasal penghalangan penyidikan, jaksa juga mendakwa Hasto dengan pasal penyuapan. Itu terkait pemberian uang kepada Wahyu Setiawan senilai 57.350 dolar Singapura (SGD) atau setara Rp600 juta.
Uang itu diduga sebagai pelicin agar Harun Masiku terpilih menggantikan Riezky Aprilia sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024 PAW di Dapil Sumatra Selatan (Sumsel) 1. Pemberian uang dibantu mantan anggota Bawaslu RI yang juga kader PDIP Agustiani Tio Fridelina.
Atas tindakan itu, Hasto dijerat pasal berlapis. Yakni terkait perintangan serta penyuapan. Dengan demikian, Hasto diancam pidana minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara.
Setelah mendengar dakwaan yang dibacakan, Hasto mengaku kian yakin bahwa kasusnya adalah kriminalisasi. ”Ini adalah pengungkapan suatu pokok perkara yang sudah inkracht, yang didaur ulang karena kepentingan politik di luarnya,” ujarnya.
Hasto mengklaim, saat ini dirinya adalah tahanan politik yang sedang mengalami kriminalisasi hukum karena kepentingan kekuasaan. Sebab, dari dakwaan, dia melihat ada manipulasi fakta hukum.
”Setidaknya ada minimal 20 keterangan yang sengaja dibuat berbeda antara dakwaan, keterangan saksi, dan putusan pengadilan yang sudah inkracht,” imbuhnya.
Dia juga menilai proses P-21 (berkas sempurna) juga terlalu dipaksakan. Sebagai tersangka, pihaknya telah mengajukan saksi yang meringankan. Tapi tak pernah diperiksa KPK.
Saat P-21, Hasto juga mengaku dalam kondisi sakit radang tenggorokan dan kram perut. Namun, proses ini tetap dipaksakan sehingga haknya sebagai terdakwa dilanggar. ”Ini adalah pelanggaran HAM yang sangat serius,” terangnya.
Proses P-21 di KPK, lanjutnya, rata-rata berlangsung 120 hari. Tetapi, terhadap dirinya prosesnya hanya dua minggu lebih. Dia menduga itu menggugurkan proses praperadilan yang kedua.
”Saya akan menghadapi semuanya dengan kepala tegak dan senyuman di wajah. Karena proses daur ulang ini sangat kental dengan muatan politik,” ungkapnya. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : RYAN AGUNG