Buka konten ini

Alumnus Teknik Geodesi UGM, penulis puisi, cerpen, resensi, dan esai.
Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan media sosial yang menyajikan standar pencapaian hidup seseorang. Dalam beberapa kesempatan, bahkan sebagian orang justru memamerkan jumlah digit penghasilannya secara terbuka. Kita menyebut kebiasaan ini dengan “flexing” atau dalam bahasa agama disebut dengan “riya”. Dan sering kali kita terjebak dalam ragam standar hidup dari sebagian kecil orang di media sosial tersebut.
Hidup berada dalam bayangan ketakutan dan kalah “sukses” dari orang lain. Kecemasan akan masa depan dan keadaan psikologis yang rapuh adalah perpaduan sempurna bagi siapa saja yang berada dalam kebimbangan hidup. Ketakutan berlebihan akan masa depan lahir karena keraguan akan ketentuan rezeki yang sudah diatur Tuhan. Hal ini yang membuat kondisi psikologis terjerembab dalam krisis. Respons dari keadaan itu adalah kere-sahan tiada henti meski kita sudah mera-sa melakukan berbagai usaha yang maksimal.
Belakangan ini juga sedang viral tren gaya hidup yang bertolak belakang dengan “flexing”, yaitu gaya hidup yang tidak memamerkan kekayaan, tetapi lebih pada investasi pada kesederhanaan – kemewahan yang tak terjangkau. Gaya hidup frugal. Daripada merayakan kemewahan, gaya hidup ini lebih cenderung menunjukkan kedermawanan. Gaya hidup ini menular ke sebagian kelas menengah berada, sebagian adalah pelarian untuk penghematan dan sebagian yang lain adalah penjelajahan kepuasan yang bersifat personal. Slogan “aku frugal maka aku ada!” telah menjadi bagian tujuan kualitas hidup: ketenangan, kedamaian, dan kebersama-an yang kuat.
Hidup frugal bukan berarti kita hidup dalam penderitaan, melainkan hidup dengan konsep kecukupan yang bijak dan mandiri. Ini adalah bagian dari kepuasan atas pilihan yang penuh kesadaran sehingga penilaian orang lain tidak lagi menimbulkan kekhawatiran. Bahkan para materialis pun sekarang mempunyai kecenderungan mendukung sikap kesederhanaan secara sukarela. Ini merupakan respons degradasi lingkungan yang memengaruhi kesejahteraan mereka. Ketika kesuksesan disimbolkan dalam kepemilikan barang dan kemewahan, maka pilihan hidup frugal tentu menjadi pilihan yang lebih menantang. Ide “Anda hanya butuh sedikit” bukanlah hal yang baru, setidaknya nabi atau orang suci terdahulu telah memberikan contoh kepada umatnya.
Konsep hidup frugal ini mungkin menjadi salah satu cara untuk menghindari ketakutan berlebihan akan masa depan dan rezeki yang akan kita dapatkan. Tentunya dengan memahai konsep “ketentuan rezeki”. Kita pasti sering mendengar “rezeki sudah ada yang mengatur”, tapi apakah kita telah mengerti apa maksudnya? Jika rezeki sudah dijamin oleh Tuhan, mengapa kita masih harus bergaya hidup frugal?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang dijawab oleh Imam al-Muhasibi (781-857 M) di dalam kitab al-Makasib atau bisa dimaknai sebagai “Etika Mencari Rezeki”, ya tentu tidak spesifik menyebutkan frugal di dalam pembahasannya. Kitab ini setidaknya memberikan rambu-rambu tentang bagaimana kita bisa memahami ketentuan rezeki yang sudah ditetapkan Tuhan. Lebih khusus lagi mengapa meski Tuhan sudah menetapkan kadar rezeki masing-masing manusia, bahkan sebelum kelahirannya di dunia, mereka tetap harus melakukan ikhtiar ragawi untuk menjemput dan mengelola rezeki tersebut.
Kitab al-Makasib memberikan pemahaman mengenai cara beretika dalam mencari rezeki. Dalam mencari harta bukan semata-mata tentang bagaimana mendapatkannya secara berlebihan, tapi juga bagaimana cara bijak mendapatkan dan mengelolanya. Tidak hanya bagaimana mendapatkan harta itu saja, tapi memperhatikan juga bagaimana harta itu diperoleh. Kitab ini sangat relevan sekali di tengah kehidupan kapitalistik dan hedonistik, serta di tengah kompleksitas masalah ekonomi sekarang ini, seperti: sempitnya peluang kerja yang tersedia, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), kenaikan harga bahan pokok dan energi, dan merosotnya pendapatan yang layak bagi pekerja menengah ke bawah.
Gagasan-gagasan Imam al-Muhasibi tentang rezeki dan pekerjaan yang ada dalam kitab tersebut merupakan hal baru pada masanya. Dia menyampaikan banyak hal, seperti: cara mengonversi ikh-tiar duniawi agar bernilai ukhrawi, kiat-kiat untuk mendapatkan rezeki halal dan hidup berkah, motivasi untuk menjadikan kerja menjadi ibadah, mengurai konsep “Tuhan telah mengatur rezeki manusia”, dan menjelaskan secara rinci alasan logis mengapa kita tetap berusaha mencari rezeki. Kitab al-Makasib bisa disebut sebagai rujukan “etika ekonomi”. Padahal ilmu ekonomi bisa dikatakan belum berkembang sama sekali pada masa itu.
Dalam etika ekonomi, dia tidak bicara ekonomi secara khusus, tetapi bicara dari perspektif etikanya. Pada aspek ekonomi itu, termasuk aspek-aspek yang lain seperti psikologi moral yang diusung dalam tasawufnya, Imam al-Muhasibi bisa disebut sebagai pelopor. Meski masa hidupnya hanya berbeda satu abad setengah dengan Rasullulah saw, gagasan yang ditulis Imam al-Muhasibi terasa sangat modern. Tema yang dibahas dalam kitab tersebut tidak pernah lekang oleh waktu karena berkaitan dengan etika – universal dan tak pernah basi. Dan masih relevan untuk menjawab berbagai persoalan hidup masa kini, salah satunya adalah penerapan gaya hidup frugal, yang lebih fokus pada kesederhanaan. Dengan pendekatan ini maka tidak akan ada kecemasan berlebihan akan masa depan karena tidak ada keraguan atas ketentuan rezeki yang sudah diatur Tuhan. (*)