Buka konten ini

KAFE dan panti pijat di Batuaji semakin mengkhawatirkan masyarakat. Layanan prostitusi terselubung serta keributan menjadi keresahan utama, terutama karena mulai memengaruhi anak-anak usia sekolah.
Warga berharap pihak berwenang segera mengambil tindakan tegas untuk mengatasi masalah ini sebelum makin meluas.
Dampak sosial dari keberadaan kafe dan panti pijat ini sangat terasa di lingkungan sekitar. Keributan sering terjadi, seperti kasus pengeroyokan yang menimpa seorang pemuda di kafe Dragon, Ruko Waheng Center, pada Senin (24/2) dini hari. Selain itu, pemutaran musik yang berlebihan hingga larut malam juga mengganggu ketenangan warga yang ingin beristirahat.
Tak hanya itu, kenakalan remaja dan pergaulan bebas menjadi ancaman baru bagi generasi muda. Anak-anak yang masih dalam usia sekolah terpapar oleh lingkungan yang tidak sehat, yang berpotensi menjerumuskan mereka ke dunia hiburan malam.
Kondisi ini membuat para orangtua makin cemas dan mendesak ada tindakan nyata dari pihak berwenang. Kaum ibu yang tinggal di sekitar lokasi panti pijat dan kafe makin sering mengeluhkan keberadaan tempat-tempat tersebut.
Mereka khawatir suami atau bahkan anak-anak mereka tergoda oleh tawaran layanan pijat plus-plus, karena operasional panti pijat ini tidak memiliki batasan yang jelas. Setiap orang bisa keluar masuk dengan bebas tanpa ada pengawasan ketat.
”Sudah terang-terangan mereka (pekerja) duduk di depan ruko, merayu siapa saja yang lewat. Seperti tempat prostitusi resmi, bukan panti pijat lagi. Semua pekerjanya berpakaian seksi dan menawarkan layanan plus-plus secara terbuka,” ujar Sintia, warga Bukit Tempayan yang resah dengan keberadaan panti pijat di sekitar Ruko Pasar Melayu, Batuaji.
Andika, warga Bukit Tempayan lainnya, mencoba membuktikan keresahan warga dengan berpura-pura menjadi pelanggan. Ia menemukan bahwa praktik prostitusi memang benar terjadi di dalam panti pijat tersebut.
Layanan pijat hanyalah kedok, sementara transaksi utama adalah prostitusi. Bahkan, para pekerja di sana umumnya tidak memiliki keterampilan memijat.
”Di dalam ruangan massage, ada kamar-kamar kecil yang disekat seperti bilik. Pelanggan dilayani oleh wanita-wanita seksi di dalam bilik itu. Bukan pijat yang sebenarnya terjadi, melainkan transaksi prostitusi jika harga sudah cocok,” ungkap Andika.
Penelusuran lebih lanjut mengungkap bahwa praktik prostitusi terselubung ini juga marak di media sosial seperti MiChat dan platform serupa. Para pekerja panti pijat secara terang-terangan menawarkan jasa layanan plus-plus kepada pelanggan tanpa takut diketahui pihak berwenang. Bahkan, praktik serupa juga ditemukan di hotel-hotel melati di daerah tersebut.
Keluhan masyarakat terkait menjamurnya kafe remang-remang dan panti pijat plus-plus ini sebenarnya sudah ditanggapi oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPM PTSP) Kota Batam. Pihak BPM PTSP memastikan bahwa tempat-tempat seperti ini tidak memiliki izin resmi untuk beroperasi.
Kepala Dinas BPM PTSP, Reza Khadafi, beberapa waktu lalu menegaskan bahwa instansi terkait harus lebih aktif dalam melakukan penertiban. ”Kalau soal izin, sudah pasti tempat-tempat seperti itu tidak berizin. Biasanya mereka menyalahgunakan surat rekomendasi dari dinas teknis terkait. Oleh karena itu, pengawasan harus diperketat dan koordinasi dengan Satpol PP harus segera dilakukan untuk menegakkan peraturan daerah,” kata Reza.
Sementara itu, Satpol PP Kota Batam saat ini masih fokus dengan penertiban bangunan dan permukiman liar, sehingga permasalahan ini belum menjadi prioritas utama.
Masyarakat berharap di awal kepemimpinan Amsakar Achmad dan Li Claudia Chandra sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Batam yang baru bisa mengatasi semua keresahan ini. (***)
Reporter : Eusebius Sara
Editor : YUSUF HIDAYAT