Buka konten ini

Peneliti di SHEEP Indonesia Institute & Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM
BAYANGKAN perguruan tinggi sebagai mercusuar yang tegak berdiri di tengah samudra kegelapan, memancarkan cahaya pengetahuan untuk menuntun generasi melewati badai ketidaktahuan menuju pantai harapan dan kemajuan. Mercusuar itu tak hanya menjadi simbol harapan, tetapi juga penjaga moral, memastikan perjalanan menuju keadaban tetap berada pada jalurnya.
Kini, bayangkan mercusuar tersebut ditawari untuk mengganti cahaya pengetahuannya dengan gemerlap lampu sorot dari dunia tambang, sebuah tawaran yang menggoda sekaligus sarat risiko.
Pemberian hak pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi ibarat mengajak institusi akademik masuk ke medan yang menggiurkan, namun penuh jebakan etis. Di satu sisi, sumber pendapatan baru dari bisnis tambang dapat menopang sektor pendidikan, memperkuat riset, dan meningkatkan fasilitas pembelajaran.
Tetapi di sisi lain, ada ancaman serius terhadap independensi akademik, integritas ilmiah, dan komitmen moral terhadap keberlanjutan lingkungan.
Pertanyaannya, jika perguruan tinggi terjun ke industri tambang, mampukah ia tetap menjalankan perannya sebagai garda depan kritik sosial dan penjaga etika? Ataukah justru akan terperosok dalam konflik kepentingan yang membungkam suara kritisnya? Akankah ia tetap menjadi simbol kebijaksanaan dan penggerak perubahan, atau justru kehilangan arah dalam kilau keuntungan bisnis yang melenakan?
Penjinakan Fungsi Perguruan Tinggi
Pemberian hak pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi yang kini sedang dibahas dalam Rapat Pleno Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat dan akademisi. Meski tujuannya untuk meningkatkan kontribusi perguruan tinggi terhadap perekonomian dan memastikan keberlanjutan sektor pendidikan melalui sumber daya finansial yang baru, pengelolaan tambang oleh lembaga pendidikan tinggi ini menyimpan berbagai tantangan serius.
Salah satu kekhawatiran mendasar adalah tergerusnya fungsi kritis perguruan tinggi sebagai pilar independen dalam tata kelola kebijakan negara. Selama ini, perguruan tinggi memegang mandat mulia, di antaranya menghasilkan ilmu pengetahuan, merangsang pemikiran kritis, dan menjadi mitra strategis masyarakat dalam mengevaluasi kebijakan publik. Namun, keterlibatan dalam bisnis tambang dapat membawa institusi pendidikan tinggi ini ke dalam pusaran konflik kepentingan yang berbahaya.
Pendapatan besar dari sektor tambang berpotensi menempatkan perguruan tinggi pada posisi rentan terhadap ketergantungan finansial pada industri tertentu. Hal ini sejalan dengan argumen yang dikemukakan oleh Slaughter dan Leslie dalam Academic Capitalism: Politics, Policies, and the Entrepreneurial University (1997), yang menjelaskan bahwa semakin besar perguruan tinggi terlibat dalam aktivitas ekonomi dan komersialisasi, semakin rentan mereka terhadap tekanan dari kepentingan eksternal, termasuk industri.
Ketergantungan finansial semacam ini dapat menumpulkan daya kritis perguruan tinggi terhadap kebijakan pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan lingkungan dan sumber daya alam, karena tekanan ekonomi sering kali menjadi prioritas dibandingkan dengan independensi akademik.
Perguruan tinggi berisiko terperangkap dalam dominasi keuntungan ekonomi dan logika profit-instrumentalis. Fokus yang berlebihan pada pencapaian keuntungan dapat membuat lembaga pendidikan ini kehilangan peran vital mereka dalam mengangkat isu-isu sosial, etika, dan keadilan, yang seharusnya menjadi inti dari visi pendidikan tinggi di Indonesia. Dalam jangka panjang, ini dapat melemahkan kapasitas perguruan tinggi untuk menjadi agen perubahan yang mendorong pembaruan sosial dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Jika fungsi kritis ini tereduksi, perguruan tinggi tak lagi menjadi ruang bebas yang berdiri di atas prinsip keadilan dan kebenaran ilmiah. Sebaliknya, ia berisiko menjelma menjadi entitas yang jinak, tunduk pada kepentingan ekonomi yang semestinya ia kritik. Dalam skenario semacam ini, yang terancam bukan hanya independensi akademik, tetapi juga kepercayaan publik terhadap perguruan tinggi sebagai penjaga moral dan intelektual bangsa.
Tak kalah pentingnya adalah risiko lingkungan yang mungkin muncul sebagai akibat dari pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi. Praktik pertambangan yang sering kali merusak ekosistem, menyebabkan pencemaran, dan merusak sumber daya alam, bisa sangat bertentangan dengan komitmen perguruan tinggi terhadap keberlanjutan dan pemeliharaan lingkungan hidup.
Meskipun terdapat potensi penerapan teknologi ramah lingkungan dalam sektor pertambangan, sering kali praktik bisnis pertambangan lebih mengutamakan keuntungan finansial ketimbang menjaga kepedulian terhadap lingkungan.
Perguruan tinggi yang memiliki reputasi dalam penelitian dan kebijakan lingkungan mungkin akan kehilangan kredibilitasnya jika mereka terlibat dalam praktik pertambangan yang merusak ekosistem.
Mempertahankan Kebebasan Akademik di Tengah Tarikan Dunia Bisnis
Mengelola bisnis tambang memang menawarkan potensi keuntungan finansial yang menggiurkan bagi perguruan tinggi. Namun, keuntungan tersebut bukan tanpa konsekuensi. Di balik angka-angka pendapatan yang memikat, terdapat tanggung jawab besar yang tidak boleh diabaikan. Perguruan tinggi harus merenungkan secara mendalam dampaknya terhadap independensi akademik, potensi konflik kepentingan yang menggerogoti integritas, serta ancaman kerusakan lingkungan yang bisa mencoreng misi luhur pendidikan.
Perguruan tinggi bukanlah sekadar institusi ekonomi, melainkan benteng terakhir yang menjaga nilai-nilai intelektual, etika, dan keberlanjutan. Menyerahkan diri pada godaan tambang tanpa mempertimbangkan implikasi jangka panjangnya sama saja dengan menggadaikan prinsip-prinsip mendasar yang menjadi dasar berdirinya.
Sebagai lembaga yang seharusnya menjaga kebebasan akademik dan memperjuangkan keadilan sosial, perguruan tinggi harus menjaga jarak dari godaan kepentingan ekonomi yang dapat menggoyahkan misi luhur mereka. Perguruan tinggi tidak semata-mata berperan sebagai pendukung perekonomian negara, tetapi juga harus tetap mempertahankan peran sentralnya sebagai wadah kebebasan berpikir serta motor penggerak dalam melahirkan inovasi-inovasi ilmiah.
Di tengah krisis iklim yang semakin mengkhawatirkan dan kompleksitas persoalan sosial yang terus berkembang, perguruan tinggi harus berdiri teguh sebagai penjaga nilai-nilai ilmiah, penggerak perubahan sosial, serta pilar utama dalam membangun masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Sebagai institusi yang memegang tanggung jawab untuk menuntun arah perkembangan peradaban, perguruan tinggi dituntut untuk menjadi teladan dalam menjunjung tinggi integritas.
Layaknya cahaya di puncak menara, perguruan tinggi harus tetap memancarkan sinar terang yang menuntun bangsa menuju kemajuan. Jangan sampai kilau emas tambang meredupkan cahayanya, membiarkan bangsa terjebak dalam gelapnya pragmatisme. Pendidikan tinggi harus berfungsi sebagai pendorong kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya sebagai instrumen ekonomi. (*)