Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Arah kebijakan Bank Indonesia (BI) mengarah pada pro-stability and growth. Hal itu didukung transformasi, meningkatkan produktivitas, modal, dan penciptaan lapangan kerja. Sehingga, mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan.
”Di bidang ekonomi dan keuangan, stabilitas the key untuk pertumbuhan,” ucap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Laporan Perekonomian Indonesia, Rabu (22/1).
BI optimistis Indonesia akan mencatatkan kinerja yang lebih baik pada 2025. Dalam proyeksi yang disampaikan, Perry memperkirakan ekonomi tumbuh sekitar 4,7 hingga 5,5 persen. Yang kemudian meningkat di 2026 dengan kisaran 4,8 hingga 5,6 persen. Hal itu didorong oleh kebijakan yang pro-stabilitas dan pro-pertumbuhan.
”Inflasi kami perkirakan akan terkendali di angka 2,5 persen plus minus 1 persen, dan kami akan menjaga stabilitas rupiah agar perekonomian tetap tumbuh,” tuturnya.
Kredit perbankan diproyeksikan tumbuh 11-13 persen. Kondisi itu seiring dengan digitalisasi ekonomi dan sektor keuangan untuk mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan. Selain itu, BI juga berkomitmen untuk terus menjaga stabilitas nilai tukar dan menciptakan iklim ekonomi yang kondusif meski, gejolak geopolitik global masih berlangsung.
Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menyatakan, kondisi ekonomi nasional dihadapkan dengan tantangan berupa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (USD). Pergerakan nilai tukar hampir menyentuh Rp16.400 per USD.
”Ini cenderung kurang ideal dibandingkan dengan target sesuai kerangka ekonomi makro 2025 sebesar Rp16.000 per USD,” ungkapnya.
Pelemahan mata uang Garuda, lanjut dia, dipengaruhi oleh faktor eksternal. Khusus-nya, pergantian kepemimpinan Amerika Serikat (AS) ke Presiden Donald Trump yang akan fokus dengan penguatan ekonomi domestik.
Termasuk kemungkinan pengurangan pajak perusaha-an AS, peningkatan investasi domestik, dan juga potensi kenaikan tarif barang impor. Hal itu bisa memengaruhi neraca dagang Indonesia-AS yang di 2024 Indonesia menga-lami surplus lebih dari USD11 miliar.
Kondisi ekonomi dalam negeri juga memberikan dampak. Program jangka panjang transformasi ekonomi yang mendorong hilirisasi dan jangka pendek akan memberikan kontraksi ekspor bahan baku mentah.
Ditambah, keuangan negara tahun ini terjadi jatuh tempo utang mencapai lebih dari Rp800 triliun. ”Hal ini akan memberikan tekanan terhadap kebijakan fiskal yang akan kembali defisit,” ujar Ajib.
Menurut dia, pelemahan nilai tukar rupiah akan memberikan imbas terhadap sektor private maupun terhadap keuangan negara. Di sektor private, hal ini akan berpengaruh terhadap barang-barang dan bahan baku impor. Potensi kenaikan harga tersebut akan mengeskalasi inflasi dan menekan daya beli masyarakat.
Sedangkan, keuangan negara juga akan mengalami tekanan karena, sebagian hutang dalam bentuk mata uang asing. Sehingga, diperlukan penyesuaian atau koreksi atas hutang dan bunga yang jatuh tempo.
Pemerintah perlu melakukan bauran kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan kebijakan ekonomi untuk mendorong penguatan nilai tukar. Idealnya, pemerintah perlu menekan defisit.
”Terutama efisiensi belanja dan prioritas program yang memberikan daya ungkit ekonomi,” tuturnya. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : GALIH ADI SAPUTRO