Buka konten ini
SEJAK mulai diterapkannya layanan Kesehatan berbasis INA-CBGs (Indonesian Case Base Groups) BPJS Kesehatan di tahun 2014, Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan maupun BPJS Kesehatan cukup sering menelorkan regulasi tata laksana layanan Kesehatan.
Sesuai amanah konstitusi, kesehatan adalah hak dasar bagi rakyat sama halnya dengan Pendidikan. Maka dari itu sudah sepatutnya pemangku kebijakan bisa selaras output kebijakan yang dihasilkan dengan kesinambungan operasional fasilitas Kesehatan yang ada baik yang ditangani oleh Pemerintah (Rumah Sakit Umum Daerah, Puskesmas) maupun pihak Swasta (Klinik, Rumah Sakit Umum dan Khusus).
Beberapa waktu terakhir Rumah Sakit Umum diwajibkan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian seperti penerapan KRIS (Kamar Rawat Inap Standar) yang akan menghapus Kelas -kelas kamar di Rumah Sakit. Pemerintahan era Jokowi telah meneken Perpres No 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Dasar penerapannya karena masih banyak rumah sakit untuk layanan Kelas 3 memiliki 8 sampai 12 tempat tidur dalam satu ruang perawatan dan memiliki kamar mandi terpisah di luar ruangan rawat inap. Dengan diterapkannya KRIS maka maksimal hanya ada 4 tempat tidur dalam satu ruangan perawatan dan ada kamar mandi di setiap ruangan. Efektifitas program KRIS ini ditargetkan bisa serentak diterapkan mulai 1 Juli 2025.
Dalam konteks regulasi tersebut Pemerintah memang terkesan ingin tampak hadir di tengah masyarakat dengan menuntut standarisasi sarana dan prasarana layanan kepada Rumah Sakit. Bagi rumah sakit milik Pemerintah yang didanai oleh APBN/APBD mungkin tidak terlalu berat.
Namun, bagi Rumah Sakit swasta kecil terutama yang berada di daerah redesign kamar rawat inap tentu akan membawa beberapa implikasi finansial yaitu potensi penambahan biaya investasi renovasi kamar dan yang pasti potensi turunnya omzet rumah sakit.
Regulasi lain yang sebenarnya lama yaitu Permenkes No 8 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional tapi baru-baru ini mencuat viral di sosial media yaitu 144 jenis penyakit yang diinfokan tidak bisa dirujuk ke Rumah Sakit atau Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL). 144 penyakit tersebut harus dituntaskan penanganannya di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yaitu Klinik dan Puskesmas.
Meski sudah ada klarifikasi dari BPJS Kesehatan bahwa sebenarnya 144 penyakit tersebut masih bisa dirujuk asal sesuai dengan standar indikasi medis namun fakta dilapangan menunjukkan tidak semua FKTP memahami dan memiliki kemampuan melayani pasien dengan 144 penyakit tersebut.
Bagi rumah sakit juga menjadi serba salah karena jika menerima pasien dengan kategori tersebut ada kekhawatiran nanti tidak lolos verifikasi BPJS dari tagihan yang sudah disampaikan (gagal klaim).
Terbaru regulasi yang nampak membuat rumah sakit mengernyitkan dahi khususnya rumah sakit swasta tipe C dan B adalah pengenaan PPn 12% untuk layanan VIP. Bagi rumah sakit yang 85% lebih layanannya kepada pasien BPJS Kesehatan tentu menjadi kabar yang kurang menarik.
Umumnya Rumah Sakit yang dominan pelayanan BPJS Kesehatan identik dengan kebijakan Low Cost Leadership yang akan melakukan kiat-kiat seribu jurus bagaimana tetap meraih margin yang keuntungan yang lumayan dengan optimalisasi layanan non BPJS yaitu layanan pasien umum serta asuransi di kelas VIP/VVIP.
Dengan pembebanan PPn terbaru maka akan berpotensi mengurangi minat pasien untuk naik kelas VIP. Apalagi di tengah fenomena turunnya penduduk kelas menengah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk kelas menengah mengalami penurunan signifikan dari 53,73 juta orang pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta orang pada tahu 2024. Hal ini mencerminkan bahwa sekitar 17,13 persen dari total populasi kelas menengah telah menga-lami penurunan kemampuan ekonomi.
Tidak saja masyarakat kelas menengah yang menyusut, tercatat di 2024 jumlah masyarakat kelas atas mencapai 1,07 juta jiwa atau setara 0,38 persen populasi. Jumlah tersebut turun jika disbanding tahun 2023 yang mencapai 1,26 Juta Jiwa atau setara 0,46 persen dari total populasi penduduk 283 Juta jiwa.
Memang beberapa himpitan regulasi membuat banyak rumah sakit kecil dan menengah khususnya harus memutar otak lebih keras agar tidak terjebak juga pada himpitan ruang finansial. Di era sosial media yang begitu masif komplain atas layanan yang dianggap mengecewakan tidak bisa lagi hanya menjadi konsumsi ruang private antara pasien dan manajemen rumah sakit tapi sudah makin melebar.
Jika dulu cukup tersalurkan semacam lewat rubrik Pembaca Menulis/Surat Pembaca di Surat Kabar Nasional sekarang penghakimannya bisa langsung lewat pemberian rating di google review bahkan diviralkan di jagad maya seperti di Instagram, X, Facebook, dan Tiktok yang dapat memicu atensi publik lebih luas.
Untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 di 100 tahun Indonesia Merdeka 20 tahun mendatang Pemerintah harusnya dapat memberikan insentif kebijakan bagi sektor Kesehatan. Tidak saja kebijakan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat tapi kebijakan bagi para penyedia layanan Kesehatan terutama dari sektor swasta.
Beberapa hal yang mungkin bisa diterapkan akan dirasakan manfaatnya antara lain; Pertama, Relaksasi Perpajakan bagi rumah sakit yang pelayanannya minimal 80% adalah layanan pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sebagai contoh pengenaan PPn pada obat untuk pasien rawat jalan. Sebagaimana diketahui pola pembiayaan JKN adalah sistem paket berdasarkan grouping sesuai skema tarif INA-CBGs bukan lagi fee for service.
Salah satu komponen yang menyerap biaya terbesar adalah pada biaya obat. Sehingga banyak terjadi di rumah sakit antara biaya riil layanan pada suatu penyakit melebihi pagu tarif grouping INA-CBGs. Akhirnya terjadi selisih negatif.
Belum lagi resiko klaim dispute hingga tertolak karena beberapa faktor padahal biaya layanan sudah keluar terlebih dahulu dari pihak rumah sakit. Dengan skema tarif khusus PPn atau sampai dengan pembebasan PPn untuk semua jenis biaya obat khusus untuk layanan BPJS Kesehatan akan sangat membantu rumah sakit.
Rumah sakit termasuk entitas usaha yang membutuhkan biaya pemeliharaan yang tinggi sarana dan prasarananya. Karenanya jika insentif perpajakan bisa diberikan maksimal akan sangat membantu keuangan rumah sakit yang melayani BPJS sehingga bisa makin fokus pada layanan prima kepada masyarakat.
Kedua, bagi rumah sakit non pemerintah di daerah yang layanan BPJSnya 90-100% sebagai bentuk apresiasi telah mendukung program JKN maka mendapatkan insentif khusus atas Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Margin keuntungan yang dibukukan meski tipis akan sangat berharga untuk digunakan lagi bagi pengembangan layannan rumah sakit.
Namun demikian, pengelolaan layanan JKN di Rumah Sakit juga diwajibkan memegang prinsip tata kelola yang baik dan profesional. Tidak korup dan tidak FRAUD. (*)