Buka konten ini
PERUBAHAN iklim global terus membawa dampak nyata. Meningkatnya frekuensi cuaca ekstrem yang disertai bencana adalah contoh dampak yang tidak mudah dielakkan. Di Jawa Tengah, hujan deras pada Februari 2024 menyebabkan banjir besar di Kabupaten Demak. Lebih dari 8.000 warga terpaksa mengungsi dan 950 hektare lahan tergenang banjir.
Kecamatan Karanganyar menjadi wilayah terdampak paling parah. Jebolnya tanggul Sungai Jratun dan Sungai Wulan menjadi penyebab utama. Akibatnya, Desa Wonorejo dan Wonoketingal menga-lami banjir besar, sementara wilayah Jalur Pantura terendam air. Infrastruktur tanggul, yang seharusnya melindungi masyarakat dari luapan air sungai, tidak mampu menahan debit air yang luar biasa. Ketika pertahanan penting roboh, fenomena alam pun menjelma menjadi bencana.
Bencana yang melanda Kabupaten Demak ini tentu bukan fenomena baru di Indonesia. Bencana terjadi secara berulang dan korban selalu saja berjatuhan. Kerusakan tanggul seperti yang terjadi di Demak sesungguhnya bukanlah penyebab. Itu adalah tanda dan gejala yang mengingatkan bahwa banyak hal yang harus diperbaiki.
Jebolnya tanggul, apalagi berkali-kali, bukan hanya soal lemahnya struktur fisik. Yang perlu dilakukan bukan sekadar memperkuat tanggul tetapi melakukan pendekatan mitigasi yang komprehensif dan berbasis data. Hal ini memerlukan pemahaman mendalam dengan penelitian serius dan berkelanjutan. Dalam situasi seperti ini, selalu ada pertanyaan: apa peran akademisi, peneliti, dan dunia kampus?
Tim dari Departemen Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, mengambil langkah inisiatif. Bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Demak, Tim Teknik Geodesi UGM menginisiasi pemetaan kondisi tanggul di Kecamatan Karanganyar. Kegiatan ini bertujuan untuk menyediakan informasi yang akurat sebagai dasar mitigasi bencana banjir.
Mencatat Kerusakan, Mencipta Solusi
Lokasi dan posisi adalah salah satu kunci dalam mitigasi bencana. Oleh karena itu, Tim Teknik Geodesi UGM memulai dengan melakukan pemetaan. Survei lapangan dilakukan pada September 2024 dengan menggunakan teknologi pemetaan mutakhir. Teknologi pemetaan pertama adalah fotogrametri udara menggunakan drone atau unmanned aerial vehicle (UAV). Teknologi pemetaan kedua adalah survei Global Navigation Satellite System (GNSS) menggunakan Global Positioning System (GPS). Perlu dipahami, GPS adalah merek dagang GNSS dari Amerika Serikat. Ada banyak merek dagang lain seperti Galileo dari Uni Eropa, Glonas dari Rusia, BeiDou dari Tiongkok dan lain-lain.
Tanggul di Kecamatan Karanganyar dipotret dengan drone dan foto hasil pemotretan itu digunakan untuk membuat peta kondisi tanggul. Tentu saja ini bukan sekadar foto udara yang bisa menunjukkan kondisi tanggul tetapi dapat menyajikan ukuran dan posisi secara akurat. Intinya, hasil foto udara ini harus bisa digunakan untuk menghitung pergeseran atau perubahan posisi bagian-bagian tanggul. Oleh karena itu, sebelum pemotretan, dilakukan pengukuran posisi titik-titik kontrol dengan akurasi koordinat yang tinggi. Dalam hal ini, survei dengan GPS memainkan peran penting. GPS yang dimaksud di sini bukanlah GPS yang ada pada piranti seluler seperti HP tetapi yang jauh lebih teliti yaitu GPS tipe geodetik.
Pengukuran dengan GPS tipe geodetik ini bisa sangat teliti karena adanya koreksi posisi dari stasiun GPS terdekat yang beroperasi secara terus menerus. Koreksi ini dikirimkan secara real time ke lokasi survei dengan teknologi Real Time Kinematic (RTK). Komunikasi datanya menggunakan sebuah protokol yang disebut Networked Transport of RTCM via Internet Protocol (NTRIP). Oleh karena itu, proses pengukuran dengan GPS ini juga dikenal dengan Survei GNSS RTK NTRIP.
Dengan luas area 225 hektarE, tim menghasilkan 3.293 foto udara. Selain foto udara, analisis pergeseran atau deformasi tanggul juga dilakukan dengan teknologi pengindraan jauh (remote sensing) dengan membandingkan citra satelit yang direkam setelah banjir dan sebelum banjir. Citra yang dipakai adalah Synthetic Aperture Radar (SAR) dengan metode Di@erential Interferometry Synthetic Aperture Radar (DInSAR). Prosedur ini dapat memberikan gambaran penurunan muka tanah di Demak akibat banjir.
Dari hasil survei, tim mengidentifikasi 19 titik tanggul jebol selama banjir dan 26 titik tanggul yang sudah diperbaiki. Temuan ini divisualisasikan dalam bentuk peta digital interaktif berbasis web yang memudahkan pemerintah setempat untuk memahami distribusi kerusakan dan merancang langkah mitigasi lebih lanjut. Peta ini diserahkan kepada Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DISPUTARU) Kabupaten Demak sebagai referensi dalam perencanaan perbaikan tanggul.
Teknologi Geospasial sebagai Penggerak
Teknologi penentuan posisi di permukaan bumi dengan akurasi tinggi menggunakan drone, GPS, atau Citra SAR dikenal dengan teknologi geospasial. Pemetaan tanggul di Demak membuktikan peran besar teknologi geospasial dalam mitigasi bencana. Dengan data yang terperinci, pemerintah dapat mengambil keputusan yang lebih tepat, seperti mengidentifikasi dan memperkuat titik rawan atau membangun infrastruktur tambahan pada lokasi yang tepat. Penggunaan teknologi geospasial tidak hanya memberikan data akurat, tetapi juga memungkinkan visualisasi yang mudah dipahami oleh berbagai pemangku kepentingan.
Meski membantu, teknologi hanyalah alat. Esensi dari semua ini adalah kolaborasi antar pihak, mulai dari akademisi, pemerintah, hingga masyarakat. Mitigasi bencana bukanlah tanggung jawab satu pihak, melainkan kerja bersama untuk membangun sistem yang tangguh.
Refleksi dari Pinggir Sungai
Pengalaman di Karanganyar memberikan pelajaran penting. Infrastruktur seperti tanggul adalah pertahanan pertama yang perlu mendapat perhatian serius, tetapi mitigasi tidak boleh berhenti di sana. Banjir adalah pengingat bahwa alam dan manusia harus hidup berdampingan. Dengan teknologi geospasial sebagai penunjang, kita tidak hanya memetakan kerusakan, tetapi juga merancang masa depan yang lebih aman.
Semangat untuk terus belajar dari bencana harus menjadi fondasi. Ketika peta-peta dibuat dan data dihimpun, harapannya adalah masyarakat tidak hanya menerima solusi, tetapi juga menjadi bagian dari solusi itu sendiri. Di setiap titik koordinat yang dipetakan, ada harapan untuk hari esok yang lebih baik. Teknologi geospasial perlu selalu dihadirkan. Tidak hanya untuk Demak tetapi juga kawasan lain di Indonesia yang menghadapi tantangan serupa. (*)