Buka konten ini
KEMENTERIAN Perindustrian (Kemenperin) memperkuat peran kawasan industri (KI) sebagai motor penggerak ekonomi nasional. Beberapa kebijakan strategis disiapkan guna meningkatkan daya saing kawasan industri. Yaitu penerapan harga gas bumi tertentu (HGBT) dan perumusan Rancangan Undang-Undang Kawasan Industri.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, kebijakan HGBT dinilai mampu menekan biaya produksi dan mendongkrak efisiensi operasional. Dua elemen itu penting bagi pelaku industri di KI.
”Kawasan industri selama ini terbukti menjadi katalis pertumbuhan investasi dan pemerataan sektor industri di daerah. Artinya, perannya sangat vital bagi ekonomi nasional,” ujarnya di Jakarta, Kamis (19/6).
Meskipun demikian, Agus mengakui implementasi HGBT belum berjalan optimal di semua kawasan industri, meskipun kebijakan tersebut sudah ditegaskan melalui Peraturan Presiden (Perpres). Dia menegaskan bahwa seluruh kementerian terkait termasuk Menko Perekonomian, Menteri ESDM, dan Menteri Keuangan, telah menyepakati semua poin dalam Perpres HGBT, tanpa perbedaan pandangan.
Menperin bahkan membuka opsi bagi kawasan industri untuk mengimpor gas dengan syarat harga kompetitif dan sesuai regulasi.
“Langkah itu penting karena pasokan gas nasional yang terbatas dan kebutuhan energi sektor industri yang terus meningkat,” tuturnya.
Kemenperin juga mengajak HKI dan para pelaku kawasan industri untuk aktif dalam menyusun Rancangan Undang-Undang Kawasan Industri yang lebih adaptif dan responsif terhadap tantangan zaman. RUU ini diharapkan menjadi landasan hukum kuat dalam tata kelola dan pengembangan kawasan industri yang modern dan berkelanjutan.
Ketua Umum HKI Akhmad Ma’ruf Maulana menambahkan, saat ini Indonesia memiliki 170 kawasan industri dengan tingkat okupansi mencapai 58,39 persen. Dalam lima tahun terakhir, tercatat penambahan 52 kawasan industri baru.
”Sinyal kuat bahwa sektor ini tetap menjadi primadona investasi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri,” urainya.
Meskipun demikian, sambung Akhmad, pengembangan kawasan industri masih dihadapkan pada sejumlah tantangan. ”Seperti lambatnya perizinan, minimnya konektivitas infrastruktur, dan ketersediaan energi ramah lingkungan dengan harga bersaing,” tambahnya.
Diberitakan sebelumnya, industri di Kota Batam tengah menghadapi tantangan serius menyusul lonjakan drastis harga gas bumi yang mulai berlaku sejak Mei 2025. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Batam, Rafky Rasid, menyampaikan kekhawatiran mendalam para pelaku industri terhadap dampak langsung kenaikan harga gas terhadap biaya produksi.
“Saat ini gas industri, khususnya gas pipa yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan di Batam, mengalami kenaikan harga yang signifikan. Dari sebelumnya 8 dolar AS (USD) per MMBTU (Million Metric British Thermal Unit) menjadi USD16,8. Artinya naik lebih dari 100 persen,” kata Rafky kepada Batam Pos, Jumat (31/5) lalu.
Menurut Rafky, lonjakan tersebut sangat memberatkan dunia usaha karena akan mengerek beban produksi secara tajam. Bila kondisi ini terus berlangsung, ia khawatir sejumlah sektor industri bisa kolaps.
“Kita sudah rapat dengan pihak PGN (Perusahaan Gas Negara) Batam, bahkan langsung dengan manajemen PGN wilayah Sumatra. Mereka menyampaikan bahwa kenaikan ini terjadi karena pasokan gas dari sumur-sumur di Sumatera mulai habis. Akibatnya, pasokan gas pipa diprioritaskan untuk industri prioritas seperti pembangkit listrik PLN dan industri strategis lainnya,” jelas Rafky.
Karena pasokan gas domestik terbatas, lanjut Rafky, PGN mensiasati kekurangan ini dengan membeli gas dalam bentuk LNG (liquefied natural gas/gas cair) dari wilayah Indonesia tengah dan timur. Gas LNG ini kemudian disalurkan kembali melalui pipa ke kawasan industri, termasuk di Batam.
“Namun harga LNG ini mengikuti harga pasar internasional. Modal belinya saja sekitar 13 hingga 14 dolar per MMBTU, sehingga ketika dijual ke industri harganya sudah di atas 16 dolar Amerika. Ini bukan hanya terjadi di Batam, tapi juga di daerah industri lain seperti Lampung, DKI Jakarta, dan Jawa Barat,” tambahnya.
Rafky menilai situasi ini sangat mendesak dan memerlukan intervensi segera dari pemerintah pusat, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Apindo Batam juga telah berkoordinasi dengan Apindo nasional untuk mengupayakan solusi.
“Salah satu opsi yang sudah kita dorong adalah agar pasokan gas dari sumur gas Natuna bisa dialirkan ke wilayah Sumatera, termasuk Batam. Selama ini kan gas Natuna justru langsung diekspor ke Singapura, hanya lewat Batam tanpa dimanfaatkan. Kita ingin agar gas ini bisa dimanfaatkan untuk industri dalam negeri,” ujarnya.
Menurut Rafky, kesepakatan awal sudah ditandatangani antara pemerintah dengan para pihak terkait agar gas dari Natuna dapat dikoneksikan ke wilayah Sumatra. Namun ia mengingatkan bahwa proses teknisnya membutuhkan waktu.
“Kami mendesak agar proses ini dipercepat. Jangan ditunda-tunda lagi, karena industri sudah dalam kondisi kritis. Tak hanya di Batam, tapi juga di pusat-pusat industri nasional lainnya,” tegasnya.
Selain gas industri, Rafky juga menyoroti adanya dampak pada tarif gas untuk pembangkit listrik PLN. Harga gas untuk PLN juga me-ngalami kenaikan, dari USD5,9 menjadi USD7 per MMBTU. Kenaikan ini berdampak pada tarif fleksibel yang diterapkan PLN kepada pelanggan industri.
“Kalau ini terus dibiarkan, maka pelaku usaha akan semakin terbebani. Kita berharap pemerintah pusat segera mengambil langkah konkret. Harapannya harga gas bisa dikembalikan lagi seperti semula, tentunya dengan menambah pasokan dari Natuna yang saat ini cadangannya cukup melimpah,” tutupnya. (***)
Reporter : JP GROUP
Editor : RYAN AGUNG