Buka konten ini

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sidoarjo; narasumber Komisi VIII dalam Konsolidasi Nasional Dikdasmen 2025
’’HUJAN keluhan dan tanggapan kritis marak mengemuka.’’ Begitulah gambaran suasana sidang pleno Konsolidasi Nasional Kemendikdasmen (Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah) setelah narasumber dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) menyampaikan paparan. Materi dengan tema Tata Kelola Guru dan Status Kepegawaian Guru itu membahas kesejahteraan, peningkatan kualifikasi dan sertifikasi, pengembangan kompetensi, serta penilaian kinerja guru dan tenaga kependidikan (GTK).
Paparan itu juga menyinggung tindak lanjut Permen PAN-RB 21/2024 tentang jabatan fungsional guru yang di dalamnya membahas penugasan guru sebagai kepala sekolah serta pendamping satuan pendidikan. Masalah kekurangan guru dan solusinya yang dialami provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia, yang ditunggu-tunggu peserta, justru luput dari pembahasan.
Konsolidasi tersebut mengusung tema Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua. Tema besar itu di-break down menjadi delapan topik yang selanjutnya dibahas secara detail dalam sidang-sidang komisi.
Topik itu meliputi (1) Rancangan Renstra Kemendikdasmen 2025–2029 dan kebijakan wajib belajar 13 tahun; (2) program pembangunan dan revitalisasi satuan pendidikan; (3) sistem penerimaan murid baru (SPMB); (4) rapor pendidikan dan tes kemampuan akademik (TKA); (5) tata kelola guru dan status kepegawaian guru; (6) layanan pendidikan di 3T dan layanan pendidikan inklusif; (7) pendidikan karakter; serta (8) kedaulatan bahasa Indonesia dan revitalisasi bahasa Daerah.
Urgensi Pemenuhan
Kekurangan guru telah menjadi persoalan nasional. Tidak hanya wilayah Jawa, luar Jawa pun mengalami persoalan serupa. Baik kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia bagian barat, bagian tengah, maupun bagian timur. Bahkan, bukan hanya guru sebenarnya. Kekurangan kepala sekolah dan pengawas juga menjadi persoalan urgen.
Bagaimana tidak? Pengadaan dan rekrutmen guru ASN (PNS/PPPK) tidak setiap tahun ada. Sementara setiap bulan ada guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah yang pensiun. Dulu, sebelum berlakunya UU 20/2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), kekurangan guru (juga tenaga kependidikan) diatasi pemerintah daerah dengan rekrutmen tenaga non-ASN (GTT/PTT). Setelah berlakunya UU ASN tersebut, pasal 65 dengan tegas menyatakan: Pejabat pembina kepegawaian (dalam hal ini gubernur, bupati, wali kota) dilarang mengangkat pegawai non-ASN untuk mengisi jabatan ASN.
Larangan tersebut berimplikasi terhadap layanan pendidikan bermutu bagi peserta didik. Di Kabupaten Sidoarjo, misalnya, dengan jumlah lembaga 464 SDN, per Maret 2025, tercatat ada kekurangan 791 guru kelas. Sementara di jenjang SMPN dengan 48 lembaga, kekurangan guru mata pelajaran mencapai 692 guru.
Adapun soal kekosongan kepala sekolah per Maret 2025 untuk SDN, sebanyak 116 Plt kepala SDN dan 2 Plt kepala SMPN telah mengisinya. Selanjutnya, ada 28 pengawas sekolah dengan 1.545 satuan pendidikan. Dengan demikian, rasio pengawas dengan lembaga menjadi 1:55 dari rasio ideal 1:10.
Di SD yang berbasis kelas, kekurangan guru mengakibatkan guru harus mengajar rangkap lebih dari satu kelas. Di jenjang SMP yang berbasis guru mapel (mata pelajaran), kekurangan guru berakibat pada pemenuhan jam mengajar guru yang melebihi beban maksimal. Dengan beban jam mengajar per minggu 24–40 jam pelajaran saja, guru sudah ekstrakeras membuat perencanaan, mengajar di kelas, serta asesmen/penilaian dan pelaporannya.
Selanjutnya, dengan status jabatan Plt, kepala sekolah tentu kurangi konsentrasi dan fokus dalam menjalankan tugas. Kekurangan pengawas sekolah juga berimplikasi terhadap tidak optimalnya supervisi akademik dan supervisi manajerial.
Selama beban guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah berlebih (overcapacity), rasanya sulit untuk mewujudkan visi besar Kemendikdasmen: Pendidikan Bermutu untuk Semua. (*)