Buka konten ini

Direktur utama Kawasan Industri SIER; wakil ketua umum Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI); mahasiswa Program Doktor PSDM Pascasarjana Unair
Gelombang baru dari Tiongkok tengah mengguncang Asia Tenggara. Bukan berupa pasukan atau armada, melainkan jutaan produk murah yang masuk tanpa henti ke pasar kawasan, termasuk Indonesia. Fenomena yang disebut China shock oleh ekonom David Autor itu merujuk pada pergeseran strategi ekspor Tiongkok yang kini menarget negara berkembang. ASEAN menjadi salah satu tujuannya.
Tiongkok kini lebih agresif membanjiri pasar Asia Tenggara dengan barang konsumsi yang harganya sangat bersaing. Mulai pakaian jadi, barang elektronik rumah tangga, hingga komponen otomotif. Semua bisa dengan mudah ditemukan di e-commerce dan pasar offline. Bagi konsumen, ini bisa jadi era diskon permanen. Namun, bagi produsen lokal, ini adalah ujian berat yang tidak semua sanggup menghadapi.
Masif
Sepanjang tahun lalu, ekspor Tiongkok ke ASEAN melonjak lebih dari 30 persen, menunjukkan betapa masifnya gelombang barang masuk itu. Dengan skala produksi raksasa dan jaringan logistik yang efisien, Tiongkok mampu menawarkan harga yang nyaris mustahil ditandingi. Di sektor tekstil, tidak sedikit UMKM Indonesia yang akhirnya menghentikan produksi atau menutup usaha. Di sektor elektronik, barang dari Tiongkok membanjiri pasar daring, lengkap dengan promosi gencar dan ongkos kirim gratis.
Namun, masalahnya bukan sekadar harga murah. Produk-produk itu menekan harga barang serupa buatan lokal, memicu risiko deflasi. Harga yang jatuh memang menguntungkan pembeli. Namun, bagi pelaku usaha, itu berarti margin mengecil, keuntungan menipis, dan risiko pemutusan hubungan kerja makin nyata.
Sementara itu, Amerika Serikat meluncurkan kebijakan tarif baru yang cukup mengejutkan. Pemerintahan Presiden Trump memutuskan untuk memangkas tarif impor dari Tiongkok, dari sebelumnya 145 persen menjadi 30 persen. Langkah itu menambah gelombang ketidakpastian di pasar global. Hampir semua negara, termasuk Indonesia, kini melakukan penyesuaian terhadap mitra dagangnya dalam upaya memperbaiki neraca perdagangan dan mengendalikan inflasi domestik.
Bagi Indonesia, ini bisa menjadi peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, celah pasar di AS mungkin terbuka untuk produk Indonesia. Di sisi lain, Tiongkok akan berupaya mengganti kerugiannya dengan menambah ekspor ke kawasan seperti ASEAN. Dengan kata lain, kita menghadapi gelombang kedua China shock.
Strategi
Situasi itu tidak bisa dihadapi dengan solusi jangka pendek. Indonesia memerlukan strategi yang kukuh dan terukur untuk menjaga ketahanan industrinya. Setidaknya, ada empat hal penting yang patut segera dilakukan.
Pertama, perbaikan iklim usaha adalah syarat utama. Proses perizinan yang panjang dan tumpang-tindih serta aturan yang kerap berubah menjadi hambatan serius. Kepastian hukum dan penyederhanaan regulasi bukan hanya tuntutan investor asing, melainkan juga kebutuhan mendesak bagi pengusaha dalam negeri.
Kedua, dorong inovasi dan teknologi agar industri kita bisa naik kelas. Jangan lagi hanya menjadi pemasok bahan mentah atau barang murah. Produk bernilai tambah tinggi harus mulai dikembangkan. Pemerintah dan swasta perlu bersinergi membangun ekosistem riset, pendidikan vokasi, serta akses pembiayaan yang memadai.
Langkah berikutnya adalah diversifikasi pasar dan produk. Kita tak bisa terus bergantung pada dua atau tiga negara tujuan ekspor utama. Amerika Utara, Afrika, Timur Tengah, hingga Asia Tengah dan Selatan menyimpan potensi besar. Demikian pula, industri baru seperti farmasi, alat kesehatan, serta pertanian berbasis teknologi bisa menjadi tulang punggung baru ekspor nasional.
Terakhir, bangun ekosistem industri terintegrasi yang mampu menopang pertumbuhan jangka panjang. Kawasan industri dengan fasilitas logistik memadai, pelabuhan efisien, serta pusat pelatihan dan inovasi harus disebar merata ke luar Jawa. Konektivitas yang baik akan memangkas biaya produksi dan mempercepat distribusi.
Indonesia punya semua bahan dasar untuk menjadi kekuatan manufaktur di kawasan –pasar domestik besar, tenaga kerja muda, sumber daya alam, dan posisi geografis yang strategis. Namun, semua itu tidak akan berarti jika tidak diiringi keberanian serta kemauan politik untuk membenahi sektor industri dari hulu ke hilir.
Sinergi
Pakar strategi dari Harvard, Michael Porter, dalam teorinya tentang keunggulan kompetitif bangsa menekankan bahwa daya saing suatu negara tidak semata ditentukan oleh harga atau volume produksi, melainkan juga oleh produktivitas industri, kualitas infrastruktur, mutu sistem pendidikan, serta kapasitas inovasinya. Tanpa sinergi antarpemangku kepentingan, peluang Indonesia untuk melompat ke tahap industrialisasi modern akan makin sempit.
China shock adalah peringatan. Ini bukan sekadar ancaman, melainkan juga alarm yang membangunkan kita dari tidur panjang. Jika kita hanya bertahan dengan kebijakan proteksi sementara atau subsidi yang menenangkan sesaat, kita sedang menunda persoalan besar.
Namun, jika kita menjadikan momen ini sebagai titik balik, inilah kesempatan langka untuk mereformasi wajah industri nasional. Ya, reformasi itu tidak mudah. Namun, jika pemerintah mampu memberikan kepastian hukum, menyederhanakan birokrasi, dan menciptakan ruang tumbuh yang adil, pelaku industri akan bergerak. Investasi akan mengalir, lapangan kerja terbuka, dan produk Indonesia bakal tampil di pasar global dengan percaya diri.
Kita tak bisa hanya menjadi penonton di tengah pusaran ekonomi global. Kini saatnya mengambil peran yang lebih besar. (*)