Buka konten ini
BATAM (BP) – Konflik antara karyawan dan manajemen PT Maruwa Indonesia terus memanas. Keributan terjadi pada Jumat (23/5) malam di kawasan industri Bintang, Tanjunguncang, Batam, setelah janji manajemen untuk membayar sebagian gaji yang menunggak tak juga ditepati.
Sumanti, perwakilan HRD PT Maruwa, membenarkan bahwa belum ada kepastian yang diberikan kepada para karyawan terkait pembayaran hak-hak mereka.
Kemarahan ratusan karyawan pecah ketika pihak komisaris yang sebelumnya berjanji akan mencicil tunggakan pada Jumat (23/5), justru datang bersama pengacara.
Alih-alih membawa solusi, mereka justru menyampaikan bahwa perusahaan akan dilikuidasi. ”Itu bukan mediasi. Karyawan datang untuk menagih janji, bukan membicarakan likuidasi,” ujar Sumanti.
Sebelumnya, manajemen telah menjanjikan pembayaran sebagian gaji yang tertunggak. Namun, dalam pertemuan pada Jumat (23/5), para komisaris justru menyampaikan informasi baru soal rencana likuidasi tanpa kejelasan pembayaran. Hal inilah yang membuat situasi memanas dan para pekerja merasa dibohongi.
Menurut pihak HRD, manajemen mengklaim tidak memiliki dana untuk memenuhi kewajiban kepada karyawan. Saat ini terjadi kebuntuan perundingan atau deadlock antara kedua pihak. Total tunggakan gaji dan hak-hak lainnya diperkirakan mencapai Rp7 miliar, sementara aset perusahaan hanya sekitar Rp2 miliar.
Sumanti menegaskan bahwa HRD tidak berpihak kepada siapa pun dalam konflik ini.
“Kami hanya berharap kedua belah pihak mendapatkan haknya secara adil. Namun yang utama, hak-hak karyawan tetap harus dipenuhi,” katanya.
Rencananya, proses mediasi lanjutan akan dilakukan kembali pada Senin (2/6) di Dinas Ketenagakerjaan Kota Batam. Para pekerja berharap ada langkah konkret dari pemerintah untuk mengawal penyelesaian masalah ini dan memastikan hak-hak mereka dibayarkan.
Diberitakan sebelumnya, PT Maruwa Indonesia menghentikan seluruh operasionalnya sejak awal April 2025. Perusahaan yang bergerak di bidang Flexible Printed Circuit (FPC) ini menghentikan produksi karena pasokan material dari mitra di Malaysia terputus. Hal ini kemudian memicu gejolak internal.
Manajemen dituding membuat keputusan sepihak dalam menutup operasi. Para pekerja mengaku diliburkan sejak 9 April tanpa kejelasan nasib, bahkan informasi penutupan hanya disampaikan secara lisan. Mereka juga menyayangkan tawaran pesangon dari manajemen yang hanya sebesar 0,5 kali masa kerja, jauh di bawah ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Selain itu, karyawan juga mengungkapkan adanya tunggakan iuran BPJS serta dugaan pengalihan material produksi ke Jepang. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa perusahaan masih beroperasi di luar negeri, sementara cabang di Batam dihentikan tanpa solusi bagi para pekerja.
Saat ini, sebanyak 205 karyawan terdampak penutupan ini, terdiri atas 49 karyawan tetap dan 156 karyawan kontrak. Mereka masih menunggu kejelasan, sembari berharap agar pemerintah benar-benar hadir membela hak mereka.
“Jangan sampai kami jadi korban kelicikan korporasi,” ujar Susi, salah satu karyawan.
Diberitakan sebelumnya, PT Maruwa Indonesia menghentikan seluruh operasionalnya sejak awal April 2025. Perusahaan yang bergerak di bidang Flexible Printed Circuit (FPC) ini menghentikan produksi karena pasokan material dari mitra di Malaysia terputus. Hal ini kemudian memicu gejolak internal.
Manajemen dituding membuat keputusan sepihak dalam menutup operasi. Para pekerja mengaku diliburkan sejak 9 April tanpa kejelasan nasib, bahkan informasi penutupan hanya disampaikan secara lisan. Mereka juga menyayangkan tawaran pesangon dari manajemen yang hanya sebesar 0,5 kali masa kerja, jauh di bawah ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Selain itu, karyawan juga mengungkapkan adanya tunggakan iuran BPJS dan pengalihan material produksi ke Jepang. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa perusahaan masih beroperasi di luar negeri, sementara cabang di Batam dihentikan tanpa solusi bagi para pekerja.
Kini, sebanyak 205 karyawan terdampak penutupan ini, terdiri dari 49 karyawan tetap dan 156 kontrak. Mereka masih menunggu kejelasan, sembari berharap agar pemerintah benar-benar hadir membela hak mereka. “Jangan sampai kami jadi korban kelicikan korporasi,” ujar Susi, salah satu karyawan. (*)
Reporter : EUSEBIUS SARA
Editor : RYAN AGUNG