Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Para guru besar (gubes) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menyampaikan protes mereka terhadap pemerintah. Hal itu merupakan buntut sejumlah kebijakan yang mereka anggap merugikan.
Tak hanya itu, pernyataan sikap tersebut juga merupakan bentuk keberatan atas munculnya narasi tentang mahalnya biaya pendidikan kedokteran hingga penanganan kasus perundungan di kalangan dokter.
Jumat (16/5), para profesor kampus tersebut menyampaikan pernyataan resmi di lobi Gedung Kampus FKUI Salemba, Jakarta.
Pernyataan itu dibuat oleh 158 guru besar. Dekan FKUI Prof. dr. Ari Fahrial Syam menyatakan, setidaknya ada 70 guru besar yang hadir dalam acara itu. ”FKUI memberikan fasilitasi bagi keresahan guru besarnya,” katanya.
Dia menjelaskan, sikap tersebut merupakan puncak dari keresahan para guru besar terkait sederet kebijakan pemerintah di sektor pendidikan kedokteran dan layanan kesehatan. Dimulai saat penyusunan UU Omnibus Law sektor kesehatan.
”Setelah berjalan ternyata ada hal-hal yang tidak sesuai dengan UU dan juga PP (peraturan pemerintah, red) sehingga terganggunya proses pendidikan kedokteran dan juga pela-yanan kesehatan,” bebernya.
Yang paling baru adalah kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang memutasi dosen sekaligus dokter FKUI dr Piprim Basarah Yanuarso SpA ke RSUP Fatmawati, Jakarta.
Ari mengatakan bahwa Piprim adalah dokter anak subspesialis kardiologi. Tidak banyak yang memiliki subspesialis ini di FKUI. ”Kalau tiba-tiba harus dipindahkan, proses itu (pendidikan dan pelayanan, red) terbengkalai,” ujarnya. Piprim bukan satu-satunya. Menurut Ari, ada enam staf pengajar yang juga dokter dimutasi. Para gubes khawatir ke depan masih akan terus terjadi mutasi secara mendadak.
Selain itu, para guru besar juga keberatan dengan narasi Kemenkes terkait profesi dokter yang mereka anggap negatif. Misalnya soal dan mahalnya menjadi mahasiswa kedokteran hingga perundungan.
Terkait mahalnya pendidikan dokter, Ari menyebut hal ini karena tidak ada subsidi dari negara, sehingga fakultas harus mencari dana melalui UKT. ”Pendidikan kedokteran menurutnya memerlukan praktik dan kelas di laboratorium yang membuat pendidikan ini lebih mahal,” katanya.
Sedangkan terkait perundungan (di kalangan dokter), para gubes khawatir dengan cara penyelesaian Kemenkes. Ari mencontohkan kasus perundungan di RSUP Kariadi yang berujung pada penutupan sementara prodi anestesi FK Universitas Diponegoro (Undip).
”Penutupan ini berdampak pada mahasiswanya. Ada yang menganggur, tidak sekolah,” ujarnya. Dia mengibaratkan untuk menangkap tikus tidak perlu membakar lumbungnya.
Sementara itu, Ketua Senat Akademik UI Prof. dr. Budi Wiweko, Sp.OG, juga memberikan kritik terhadap intervensi Kemenkes pada sistem pendidikan. Menurutnya, untuk mencetak dokter yang berkualitas tergantung pada kolegium, rumah sakit pendidikan, dan fakultas. ”Kalau salah satu tidak optimal maka hasilnya tidak akan maksimal,” ujarnya.
Dalam pernyataan sikap itu, ada lima hal yang diserukan oleh para gubes. Di antaranya menjamin pendidikan dokter tetap berada dalam sistem akademik yang bermutu dan terstandar, setiap perumusan kebijakan melibatkan institusi, bukan untuk urusan politik jangka pendek, menghentikan framing buruk terhadap profesi dokter dan tenaga kesehatan, serta pentingnya peran kolegium profesi kedokteran dan kedokteran spesialis sebagai lembaga yang independen.
Di tempat terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes Aji Muhawarman menegaskan, pihaknya memahami yang disampaikan oleh para guru besar FKUI sebagai bagian dari kebebasan berekspresi.
”Bahwa dalam berbagai proses penyusunan kebijakan dan pelaksanaan program kesehatan, Kemenkes banyak melibatkan dokter-dokter lulusan FKUI, termasuk beberapa ketua kolegium yang juga merupakan alumni FKUI yang aktif berdiskusi dengan Kemenkes,” katanya. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : RYAN AGUNG