Buka konten ini
SURABAYA (BP) – Pemerintah Amerika Serikat (AS) bakal memberlakukan tarif hingga 3.500 persen untuk impor panel surya dari empat negara di Asia Tenggara. Hal tersebut dianggap bisa menjadi kesempatan Indonesia untuk mengembangkan ekosistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Namun, butuh komitmen untuk membangun fondasi industri panel surya tanah air.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Anthony Utomo mengatakan, rencana pengenaan tarif tinggi panel surya itu sudah diduga. Sebab, langkah AS untuk menutup semua jalur alternatif yang digunakan Tiongkok. Gedung Putih menuduh Tiongkok menggunakan negara Asia Tenggara untuk bisa menghindari tarif ekspor yang mencapai 145 persen.
“Yang perlu dicermati, Indonesia tidak masuk dalam daftar tersebut. Ini bisa jadi jendela kesempatan,’’ ungkapnya kepada Jawa Pos (Batam Pos), Jumat (25/4).
Dia menjelaskan, kesempatan ekspor itu seharusnya bisa memberikan motivasi agar investor mulai menggarap potensi panel surya dan komponen pembangkit listrik tenaga surya lainnya. Sebab, saat ini Indonesia masih belum mempunyai ekosistem yang baik. “Perusahaan yang memproduksi panel surya di Indonesia masih segelintir orang,” ucapnya.
Memang, lanjut Anthony, tarif tersebut bisa batal atau berubah kapan saja. Namun, seharusnya pemangku kepentingan di Indonesia bisa sadar tentang peluang yang ada. Sebab, kebutuhan energi ramah lingkungan secara global makin besar. “Yang jadi masalah memang minat konsumsi energi surya di Indonesia masih rendah. Harus ada kesadaran dari konsumen agar nantinya pertumbuhan industri juga pesat,” bebernya.
Sebelumnya, The Guardian melaporkan bahwa AS berencana untuk meerapkan tarif hinga 3.521 persen untuk panel surya dari beberapa negara Asia Tenggara. Yakni, Kamboja, Thailand, Malaysia dan Vietnam. Rencana itu menyusul tuduhan bahwa perusahaan Tiongkok melakukan dumping ke empat negara tersebut agar produk mere-ka bisa ke Amerika Serikat. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : GALIH ADI SAPUTRO