Buka konten ini

Ekonom Tim Perumusan KEKDA, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kepulauan Riau
Pernahkah kita membayangkan bahwa keputusan yang diambil ribuan kilometer jauhnya di Washington, DC, bisa berdampak langsung pada perekonomian Provinsi Kepulauan Riau (Kepri)? Mulai dari harga bahan baku industri, kelangsungan usaha di kawasan Free Trade Zone (Kawasan Perdagangan Bebas), hingga kesejahteraan para pekerja, semuanya bisa berubah drastis hanya karena satu kebijakan: tarif resiprokal yang baru-baru ini kembali diberlakukan secara agresif oleh Amerika Serikat. Bagi Kepri yang hidup dari denyut nadi ekspor, kebijakan ini bukan sekedar headline luar negeri, tapi soal keberlangsungan sektor industri kita.
Linimasa Babak Baru Perang Tarif Amerika
Sebenarnya cerita soal perang tarif ini bukan baru kemarin sore. Sejak Juli 2018, dunia sudah dibuat deg-degan oleh ketegangan antara dua raksasa ekonomi dunia: Amerika Serikat dan China. Waktu itu, di masa jabatan pertamanya, Presiden Donald Trump mulai menaikkan tarif untuk produk-produk dari China dan dibalas oleh China dengan kebijakan serupa. Konflik sempat mereda pada Januari 2020, ketika kedua negara menandatangani “Fase Satu” kesepakatan perdagangan, yang menandai upaya awal deeskalasi ketegangan. Namun bukannya selesai, kondisi malah makin panas setelah Trump kembali duduk di kursi presiden pada 2024.
Pada 2 April 2025, dalam sebuah pidato di Rose Garden Gedung Putih yang Trump sebut sebagai ”Hari Pembebasan” (Liberation Day), Ia mengumumkan penetapan struktur tarif dua tingkat yaitu tarif dasar sebesar 10% untuk semua impor dari negara-negara mitra dagang, dan tarif tambahan yang lebih tinggi untuk sekitar 60 negara yang dianggap menerapkan praktik perdagangan tidak adil terhadap Amerika Serikat. Indonesia termasuk salah satu diantaranya.
Namun, pada 9 April 2025, Trump mengumumkan penangguhan selama 90 hari terhadap tarif resiprokal untuk sebagian besar negara mitra dagang, kecuali China. Penangguhan ini bertujuan untuk memberikan waktu negosiasi bilateral dengan negara-negara yang telah menyatakan minat untuk berdialog mengenai kebijakan perdagangan tersebut. Bagi China, tidak hanya dikecualikan dari penangguhan pemberlakuan tarif, namun malah dinaikkan menjadi 145% pada tanggal 10 April 2025. Sebagai respons, China memberlakukan tarif balasan sebesar 125% terhadap barang-barang asal Amerika dan mengambil langkah-langkah tambahan seperti melarang impor pesawat Boeing serta memasukkan sejumlah perusahaan AS ke dalam daftar kontrol ekspor. Langkah ini membuat Trump semakin “terbakar api”, hingga puncaknya pada 15 April 2025, Trump mengenakan tarif hingga 245% terhadap produk-produk dari China sebagaimana tertuang dalam lembar fakta yang dirilis Gedung Putih. Banyak pengamat menyebut kondisi ini sebagai babak baru perang dagang AS-China, meski bukan merupakan cerita baru.
Bagaimana Nasib Kepri?
Di tengah pusaran perang tarif itu, ekspor Kepri jelas berpotensi ikut terguncang. Hal ini tentu perlu diwaspadai mengingat perekonomian Kepri utamanya ditopang oleh industri pengolahan, termasuk industri berorientasi ekspor. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepri, Amerika Serikat adalah tujuan ekspor terbesar terutama untuk barang-barang nonmigas. Bahkan, tren menunjukkan Kepri selalu mengalami surplus perdagangan dengan Amerika Serikat, artinya ekspor jauh lebih tinggi dibangdingkan impor. Sepanjang Januari hingga Desember 2024, nilai ekspor nonmigas Kepri ke AS tembus US$4,602.38 juta. Angka ini setara dengan 25,21% dari total ekspor nonmigas. Pada awal 2025, Amerika Serikat masih menjadi negara tujuan ekspor nonmigas terbesar pada Januari-Februari 2025 mencapai US$669,15 juta dengan peranannya sekitar 19,41%. Kalau ditelisik lebih dalam, komoditas HS85 atau komoditas mesin dan peralatan listrik, khususnya produk elektronik, adalah andalan ekspor Kepri ke Amerika Serikat. Hal ini adalah sebuah cerminan dari betapa kuatnya sektor industri dan manufaktur di Kepri.
Pada Januari 2022-Februari 2025, nilai ekspor elektronik Kepri ke Amerika Serikat tercatat USD9,36 miliar dengan produk 10 produk utama yakni alat/mesin pembersih debu untuk circuit board, cable modem and modem cards, sel fotovoltaik sebagai bahan baku panel surya, aparatus untuk carrier-current line systems, mesin kopi, switchboard & control panel, kabel penghantar, Uninterruptible Power Supply (UPS) atau suplai daya tak terputus, inverter, battery charger, perangkat komponen telepon. Di sisi lain, nilai ekspor semikonduktor ke AS sebesar USD11,60 juta atau dengan pangsa 0,12% dari total ekspor elektronik Sumatera. Bisnis pro-ses ekspor ke Amerika Serikat saat ini berlaku pengiriman langsung produk dari Batam ke negara tujuan Amerika Serikat dengan order yang berasal dari Hongkong (34,84%), Taiwan (16,12%), AS (15,78%), dan Singapura (9,87%).
Tapi ya, sekuat-kuatnya industri, kalau kondisi global sedang gonjang-ganjing, tetap saja membuat waswas. Apa yang terjadi di luar negeri bisa saja membuat pusing pelaku industri di Kepri. Jadi, ketika negara tujuan ekspor seperti Amerika mulai pasang kuda-kuda dengan kebijakan dagang yang lebih ketat, kita juga harus siap-siap atur strategi.
Kalau dipikir-pikir, kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat bak efek domino global. Begitu satu negara dikenai tarif tinggi, maka negara tersebut akan mencari jalur dan pasar alternatif untuk menyalurkan produknya. Dan Indonesia, khususnya Provinsi Kepri, bisa jadi salah satu tujuan pelarian utama. Kenapa? Karena Kepri ini strategis, dekat dengan jalur pelayaran internasional, punya kawasan FTZ seperti Batam, Bintan, dan Karimun, plus sistem logistik yang terus berkembang.
Nah, inilah yang harus diwaspadai, banjirnya barang impor dari negara-negara yang dikenai tarif tinggi oleh Amerika Serikat. Terutama dari negara-negara Asia seperti China, Vietnam, dan Korea Selatan. Kalau sebelumnya mereka fokus mengirimkan barang ke pasar Amerika, sekarang bisa jadi dialihkan ke Asia Tenggara. Dan Kepri, sebagai pintu gerbang laut dan kawasan industri, jadi sangat rawan sebagai “tempat parkir” produk-produk melimpah itu.
Apa bahayanya? Jika kita tidak hati-hati, industri lokal bisa saja kelabakan. Produk dari luar, apalagi jika harganya lebih murah, bisa memukul produsen dalam negeri. Industri kecil menengah (IKM) bisa kehilangan pasar. Bahkan investor dalam negeri pun bisa ragu-ragu untuk bertahan kalau persaingan menjadi tidak sehat. Jangan sampai Kepri jadi tempat transit atau dumping barang-barang sisa dari pasar ekspor dunia.
Kesimpulan sementara, dua potensi dampak adanya tarif resiprokal sudah berhasil teridentifikasi: naiknya beban biaya ekspor serta potensi kebanjiran produk alihan negara lain yang terdampak tarif resiprokal.
Inovasi Produk dan Diversifikasi Pasar Ekspor Sebuah Keharusan
Merespons kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat, Pemerintah RI memilih jalur negosiasi. Presiden telah menugaskan utusan khusus untuk melakukan negosiasi tarif ke Negeri Paman Sam. Respons lain, pemerintah pun mulai mengatur langkah dengan menerapkan tarif impor hingga 200% untuk produk asal China. Ini bukan semata-mata ikut-ikutan perang tarif, tapi bentuk proteksi demi menjaga industri lokal agar tidak kebanjiran barang murah dari luar. Suatu langkah yang perlu diapresiasi.
Untuk konteks Kepri, pemerintah daerah juga perlu ambil langkah antisipatif. Misalnya dengan memperketat pengawasan barang masuk di kawasan FTZ, memperkuat regulasi bea masuk untuk barang-barang tertentu yang bisa mengancam industri lokal, dan memperkuat sistem karantina dan standar mutu. Intinya, Kepri harus tetap terbuka untuk perdagangan global, tapi juga harus pintar menjaga agar tidak dimanfaatkan sebagai tempat “buangan” produk asing.
Selain itu, ini juga menjadi momen yang tepat untuk memperkuat daya saing produk lokal Kepri. Agar tidak kalah saing dengan produk luar, pelaku industri di Kepri wajib terus meningkatkan kualitas produk. Inovasi, efisiensi produksi, dan pemenuhan standar internasional wajib hukumnya jika ingin tetap eksis. Pemerintah dapat berperan melalui regulasi yang menguntungkan pelaku industri, memberikan insentif usaha, dan akses pasar yang lebih luas. Bukan hal tidak mungkin, jika semua kompak, tidak hanya bisa sekadar bertahan, tapi justru bisa tumbuh di tengah badai perdagangan ini.
Selain inovasi, diversifikasi pasar juga satu keharusan. Jangan hanya bergantung pada satu-dua negara tujuan ekspor. Negara-negara di Asia Selatan, Timur Tengah, hingga Afrika bisa jadi peluang baru yang menjanjikan. Sehingga tingkat ketergantungan Kepri menjadi lebih rendah serta tidak rentan apabila terjadi goncangan di sektor perdagangan seperti saat ini.
Pada akhirnya, kita menarik suatu kesimpulan. Sekarang ini, dunia sedang memasuki babak baru dalam perdagangan internasional. Proteksionisme mulai naik daun lagi, dan kompetisi antarne-gara semakin sengit. Tapi Kepri jangan hanya jadi penonton. Dengan letak geografis yang strategis, infrastruktur industri yang mumpuni, dan pengalaman panjang sebagai pemain global, Kepri punya semua modal untuk tetap berdiri tegak. Kuncinya cuma satu: siap bertransformasi dan sigap membaca arah angin. (*)