Buka konten ini

Communication Specialist di Yayasan Konservasi Alam Nusantara
Krisis iklim memang akan memengaruhi semua orang, tetapi mereka yang miskin dan komunitas rentan adalah yang terdampak paling besar. Salah satu bagian dari komunitas ini adalah perempuan. Kaum perempuan sering menjadi kelompok yang paling rentan pada kondisi bencana alam ataupun bencana lainnya.
Maka pada Konferensi Perubahan Iklim global (COP-23) pada 2017 di Jerman, lahirlah Gender Action Plan. Dokumen ini menjadi awal mula pengakuan atas peran perempuan dalam aksi-aksi penanganan krisis iklim. Pada COP 25, para pihak menyetujui Enhanced Gender Action Plan yang memiliki target lima tahun hingga COP 30 mendatang. Prioritas yang dibahas antara lain adalah peningkatan kapasitas, manajemen pengetahuan, kepemimpinan, koherensi, hingga pelaporan.
Ternyata isu-isu tersebut juga mengemuka pada kegiatan Indonesian Women Leadership Learning Exchange yang digelar pada medio Juni 2023 di Samarinda. Kegiatan ini diikuti oleh para perempuan penjaga alam yang bekerja di dataran dan lautan. Mereka berasal dari Kalimantan Timur dan Papua Barat Daya, lokus pendampingan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).
Salah satu isu yang mengemuka adalah kepemimpinan perempuan. Para perempuan yang juga menjaga hutan dan melindungi lautan ini, merasa bahwa tingkat kepercayaan diri mereka awalnya rendah sehingga merasa tidak mampu terlibat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hajat hidup mereka.
Rasa ini muncul dari tingkat pendidikan yang relatif rendah, dan kesempatan berbicara di ruang publik yang masih jarang. Sejatinya dengan meningkatkan kepercayaan diri para perempuan penjaga alam ini, maka mereka akan lebih banyak berkontribusi dalam memberikan pendapat atau melakukan aksi yang akan mempengaruhi sesamanya, sehingga kepemimpinan perempuan pun semakin dikenali.
Peran perempuan dalam menjaga alam sudah tak terbantahkah. Bahkan Badan Perubahan Iklim dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCC) sudah menggarisbawahi lima alasan penting perempuan harus terlibat dalam mengurangi dampak krisis iklim. Pernyataan tersebut diunggah pada laman UNFCC untuk menyambut Hari Perempuan Internasional Maret 2023 lalu.
Alasan penting pertama adalah aksi mengendalikan perubahan iklim harus melibatkan seluruh umat manusia. Perempuan menguasai separuh populasi dunia, keterlibatan mereka akan mampu mempercepat mitigasi krisis iklim. Kedua, memberdayakan perempuan akan menghasilkan lebih banyak solusi krisis iklim.
Lanjut di poin ketiga, perempuan adalah kunci untuk membangun resiliensi iklim dalam masyarakat. Pada kejadian bencana alam, peran perempuan dikenali cukup tinggi, baik berkontribusi dalam pemulihan pasca bencana melalui upaya memenuhi kebutuhan keluarga, dan juga ikut serta memperkuat sesamanya.
Kemudian, pada poin keempat, perempuan adalah kelompok rentan terdampak krisis iklim. Kini, perubahan positif sedang terjadi. UNFCC mengakui bahwa sejumlah negara sudah mengakui pentingnya keterlibatan perempuan dalam perencanaan iklim yang menjadi alasan penting kelima.
Indonesia pun sudah menunjukkan perubahan yang signifikan terhadap keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan. Badan Pusat Statistik selalu mencatat indikator Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG). Status IDG mencerminkan indikator peranan aktif perempuan yang diambil dari data keterwakilan di parlemen, pengambilan keputusan, dan distribusi pendapatan. Tahun 2022, IDG Indonesia adalah 76,59 naik dari tahun sebelumnya yaitu 76,26 (2021); 75.57 (2020); dan 75,24 (2019).
Selain itu, pada 16 November 2023, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menerbitkan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Nomor 6 Tahun 2023 tentang Parameter Kesetaraan Gender dalam Peraturan Perundang-undangan dan Instrumen Hukum Lainnya. Diharapkan dengan adanya peraturan ini, Pemerintah pada setiap tingkatan dapat mengejawantahkan kesetaraan gender dalam kebijakan-kebijakan yang akan ditetapkan.
Kesempatan para perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan perlu didorong dan dibuka aksesnya secara terus-menerus. Laporan Sekretaris Jenderal PBB tentang Capaian Kesetaraan Gender pada konteks Perubahan Iklim menggarisbawahi isu ini. Pernyataan tersebut disampaikan pada pertemuan 66th session of the Commission on the Status of Women, 22 Maret 2022 di Amerika.
Bahwasanya kapasitas perempuan untuk terlibat dan membangun resiliensi akan bergantung pada hilangnya tantangan struktural dan kesenjangan gender, baik dalam pendidikan, kesehatan hingga kesempatan kerja. Adapun partisipasi dan kepemimpinan kelompok perempuan sangat penting untuk menangani krisis iklim, lingkungan dan risiko bencana lebih efektif. Investasi sumber daya manusia ke kaum perempuan, adalah salah satu upaya jangka panjang untuk Ibu Bumi. (*)