Buka konten ini

Ekonom Tim Perumusan KEKDA, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kepulauan Riau
Problema Keterjangkauan Harga dan Keterbatasan Pasokan
Pemerintah selama ini telah memberikan insentif tarif Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk industri, yang bertujuan meningkatkan daya saing dan mendorong pertumbuhan sektor manufaktur di Indonesia. HGBT diberikan kepada tujuh sektor industri strategis yang membutuhkan gas bumi sebagai bahan baku atau sumber energi utama dalam proses produksinya. Sektor-sektor tersebut meliputi industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri dengan menyediakan energi yang lebih terjangkau.
HGBT diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2020, yang menetapkan harga gas bumi sebesar 6 USD/MMBTU. Dengan adanya HGBT ini, diharapkan industri dapat menekan biaya produksi, meningkatkan efisiensi, dan mempertahankan daya saing produk lokal di pasar global. Di Provinsi Kepri, terdapat 6 (enam) perusahaan yang memperoleh HGBT yaitu PT. PLN Batam, PT. Ecogreen Oleochemical, PT. Musimas, PT. Citra Tubindo, PT. Rainbow Tubular dan PT. Enerco RPO Indonesia.
Namun, kebijakan HGBT telah berakhir pada tahun 2024, dan sampai saat ini perpanjangan kebijakan tersebut masih dalam proses pembahasan di Kementerian ESDM. Selama proses kebijakan HGBT belum diperpanjang, perusahaan-perusahaan di Batam yang tadinya menerima HGBT mengalami penyesuaian harga menjadi harga gas pipa komersil, atau sekitar 8,54-9,02 USD/MMBTU. Bahkan di wilayah lain, seperti Pulau Jawa, harga gas dapat mencapai lebih dari 10 USD/MMBTU. Berakhirnya kebijakan HGBT di 2024 ini adalah satu hal penting.
Hal penting lainnya adalah ketersediaan pasokan gas pipa (supply) saat ini ternyata ndilalah diyakini tidak mencukupi kebutuhan (demand). Berdasarkan data neraca gas dari Pertamina Gas Negara (PGN), total permintaan gas di Sumatra Tengah (termasuk estimasi kebutuhan Kepri), Sumatra Selatan dan Jawa Barat terus meningkat setiap tahun. Tahun 2025, kebutuhan gas diperkirakan 600 BBTUD dan naik menjadi 650 BBTUD pada tahun 2028. Secara spesifik, kebutuhan gas di Kepri diprakirakan akan terus merangkak hingga 5 tahun ke depan, baik untuk memenuhi kebutuhan PLN maupun retail, termasuk industri.
Di sisi lain, pasokan yang tersedia semakin terbatas. Produksi gas pipa secara nasional saat ini dihadapkan dengan kondisi natural declining atau fenomena penurunan produksi gas yang terjadi secara alami yang bersumber dari alokasi gas Medco E&P Grissik (MEPG). Ketersediaan gas pipa yang terus menurun tersebut menyebabkan produksi gas pipa tidak dapat mengimbangi kebutuhan industri. Di Kepri sendiri, juga terjadi defisit pasokan gas, dimana pasokan yang tersedia jauh dibawah proyeksi kebutuhan. Pasokan gas pipa yang tersedia sekitar 43,35 BBTUD untuk dialokasikan untuk PLN dan retail, termasuk industri.
Bak kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dua tantangan telah teridentifikasi, keterjangkauan harga dan ketersediaan pasokan gas. Perusahaan berbasis gas bumi ternyata tidak hanya dihadapkan dengan risko kenaikan biaya produksi karena berakhirnya kebijakan HGBT, namun harus dihadapkan dengan risiko gas yang tidak mencukupi kebutuhan. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, industri terpaksa menggunakan alternatif pengganti gas pipa sebagai bahan baku dan energinya. Opsi yang tersedia dan ditawarkan adalah menggunakan Liquefied Natural Gas (LNG) atau Gas Alam Cair, yang notabenenya jauh lebih mahal dibandingkan harga gas pipa komersil (Harga LNG 16,77 USD/MMBTU atau hampir 3 kali lipat dibandingkan HGBT). Tak Ayal, kondisi ini membuat industri harus menghadapi tantangan terutama dalam menjaga efisiensi biaya produksi (cost of production), di tengah ketidakpastian ekonomi global yang masih terus berlanjut.
Industri Pengolahan sebagai Tulang Punggung Ekonomi Kepri
Sebagai provinsi yang memiliki kawasan industri strategis, Kepri sangat bergantung pada sektor industri pengolahan. Data dari Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam) mencatat jumlah kawasan industri eksisting di Batam saat ini sebanyak 30 kawasan. Jumlah ini meningkat dari 9 kawasan pada 1997 menjadi 30 kawasan pada 2023. Selain itu, total industri yang beroperasi di dalamnya mencapai 700-an pelaku industri yang didominasi sektor manufaktur elektronik, logam, dan galangan kapal.
Rilis PDRB triwulan IV-2024 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa Pertumbuhan Ekonomi Kepri tercatat 5,14% (yoy), lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2023. Jika dilihat secara sektoral, Lapangan Usaha (LU) Industri Pengolahan memberikan andil pertumbuhan tertinggi sebesar 2,73% terhadap ekonomi Kepulauan Riau triwulan IV-2024. Jika dilihat secara historis, selama lima tahun terakhir, peran industri pengolahan terhadap pertumbuhan ekonomi Kepri terbukti masih dominan dibandingkan sektor lain. Bahkan pada saat pandemi Covid-19 pada 2020 lalu, disaat PDRB Kepri tumbuh negatif, industri pengolahan masih bisa tumbuh positif dan menjadi tulang punggung dalam menjadi ketahanan ekonomi Kepri.
Meskipun jumlah perusahaan yang menikmati HGBT relatif kecil dibandingkan dengan keseluruhan jumlah industri yang ada di Kepri, namun dampak rambatannya yang perlu menjadi perhatian. Gas bumi yang selama ini dinikmati dengan harga lebih rendah telah menjadi faktor penting dalam menjaga daya saing industri di Kepri (Batam), terutama bagi sektor yang membutuhkan energi besar. Selain itu, rencana pemberlakuan harga gas baru dan komposisi pasokan melalui skema LNG ini juga memicu kekhawatiran bagi pengelola kawasan industri dalam memberikan pelayanan energi yang bersih, konsisten dan handal bagi para tenant dalam kawasan.
Tanpa tarif HGBT dan skema substitusi menggunakan LNG, harga gas industri akan naik ke tingkat keekonomian yang lebih tinggi, meningkatkan biaya produksi secara signifikan. Kenaikan biaya produksi akibat perubahan skema harga gas dapat mencapai 10-20%. Hal ini tentu akan berpotensi mengurangi daya saing produk lokal dibandingkan dengan produk impor, serta dapat menyebabkan penyesuaian operasional yang berdampak pada efisiensi tenaga kerja. Lebih jauh lagi, daya tarik investasi di Kepri bisa terdampak jika biaya energi tidak lagi kompetitif dibandingkan dengan kawasan industri lain di negara-negara tetangga, sebut saja Johor-Singapore Special Economic Zone (JS-SEZ) yang digadang-gadang berpotensi menjadi “saingan berat” kawasan industri di Batam. Di tengah persaingan bisnis yang semakin dinamis dan kompetitif, pengelola kawasan industri dituntut untuk semakin efisien dalam memberikan layanan kepada para tenant agar kawasan Batam semakin menarik bagi para calon investor.
Mencari Solusi: Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Keputusan mengakhiri tarif HGBT di tahun 2024 tentu memiliki alasan kuat dari sisi fiskal dan kebijakan energi nasional. Namun, yang tak kalah penting adalah memastikan bahwa industri pengolahan, termasuk di Kepri tetap mampu bertahan dan berkembang. Tanpa solusi yang tepat, skema baru harga gas ini berisiko menekan daya saing sektor industri yang selama ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi Kepri.
Pada jangka pendek dan solusi paling mendesak, dari perspektif kebijakan, diharapkan Kementerian ESDM dapat segera memberlakukan peraturan baru mengenai implementasi skema HGBT, agar industri tidak mengalami lonjakan biaya produksi secara mendadak. Keputusan ini harus mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan industri dan keberlanjutan fiskal negara, sehingga industri tetap mendapatkan harga gas yang kompetitif tanpa membebani anggaran negara secara berlebihan. (*)