Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengabulkan sebagian permohonan mengenai uji materi pasal 86 ayat 4 Undang-undang Penguatan dan Pengemba-ngan Sistem Keuangan (P2SK). Salah satu poin putusan tersebut adalah menegaskan independensi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Ketua Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Indra Perwira menyatakan, dalam perkembangan negara-nega-ra modern, muncul yang disebut cabang kekuasaan keempat. Pengembangan dari konsep the new separation of power (pemisahan kekuasaan). Terdapat satu ciri mendasar, yaitu independen.
“Lembaga independen berarti tidak boleh dicampuri atau dipengaruhi oleh lembaga negara lain. Kalaupun ada hubungan, semata-mata dalam rangka check and balances,” ungkapnya kepada Jawa Pos (grup Batam Pos), Kamis (17/1).
Indra mengategorikan cabang kekuasaan baru itu ke dalam tiga fungsi. Yakni, fungsi auxiliary, auditory, dan monetary. Fungsi monetary dalam sistem ketatanegaran saat ini di dijalankan oleh Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan LPS.
Jika anggaran ketiga lembaga itu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) wajar. Karena fungsi legislatif adalah cabang kekuasaan yang memegang hak budged. Jika harus disetujui oleh Menteri Keuangan (Menkeu), berarti mengubah kedudukan LPS. Dari suatu lembaga negara menjadi sekedar instansi pemerintahan yang sub ordinasi Kementerian Keuangan.
“Hubungannya jadi bersifat administrasi. Oleh sebab itu saya nilai putusan MK tersebut sangat tepat, mengembalikan kedudukan LPS sebagai lembaga negara independen,” tutur Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran itu.
Menurut dia, pembatalan norma itu tidak bisa ditunda karena, menyangkut keadilan konstitusional. “Masa sekarang masih dianggap konstitusional, tapi dua tahun lagi inkonstitusional. Jadi, peme-rintah dan DPR harus segera merevisi UU tersebut,” ucapnya.
Dalam amar putusan Nomor 85/PUU-XXII/2024, salah satu poinnya menegaskan independensi LPS dengan memberikan pemaknaan baru terhadap sejumlah frasa yang termuat dalam UU P2SK. Frasa yang dimaksud antara lain, ‘untuk mendapat persetujuan’ yang terdapat pada Pasal 86 ayat 4. Kemudian frasa ‘Menteri Keuangan memberikan persetujuan’ pada ayat 6 UU PPSK inkonstitusional bersyarat, sepanjang tidak dimaknai persetujuan DPR.
Ketentuan serupa juga berlaku untuk frasa ‘yang telah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan’ yang terdapat dalam ayat 7 Pasal 7 angka 57. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang penyusunan rencana kerja dan anggaran tahunan (RKAT) operasional LPS. Ketua MK Suhartoyo menyatakan, putusan tersebut dikabulkan sebagian dan berlaku setelah pembentuk UU melakukan perubahan. Paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. ”Atau apabila belum dibuat maka frasa ’sepanjang disetujui DPR’ dianggap berlaku,” terangnya.
MK mengabulkan permohonan uji materi itu untuk menjaga independensi LPS dari lembaga lain. Dalam hal ini adalah Kementerian Keuangan. Mengingat, LPS merupakan satu-satunya lembaga yang dibedakan proses penyusunan RKAT dalam UU P2SK. Sehingga, perlu disamakan dengan BI dan OJK sebagai lembaga independen di sektor keuangan.
”Mahkamah menilai sekalipun diperlukan keterlibatan Menkeu dalam penyusunan RKAT, tidaklah tepat apabila bentuknya berupa persetujuan karena berpotensi mengurangi independensi LPS dalam mengambil keputusan,” ujarnya.
Independensi LPS sejalan dengan International Association of Deposit Insurers (IADI). Yang prinsipnya menyatakan bahwa lembaga penjamin harus dioperasionalkan secara independen, memiliki tata kelola yang baik, transparan, akuntabel dan bebas dari intervensi pihak eksternal. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : GALIH ADI SAPUTRO