Buka konten ini
Karena jauhnya jarak dan sulitnya akses jalan untuk sekadar bisa sampai ke puskesmas pembantu, Eliswatin hanya dibantu sang ibu saat persalinan. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya naik truk di jalanan berbatu setelah baru melahirkan.
PERSALINAN hanya dibantu ibu kandung, ari-ari tertinggal di perut, diusung di tandu darurat, dinaikkan truk, menyeberangi sungai dengan rakit, untuk bisa sampai ke puskesmas dan kemudian rumah sakit. Sungguh Eliswatin tak pernah membayangkan proses kelahiran anak keduanya bakal seberat ini.
”Kondisinya terpaksa. Oleh ibu saya hanya diminta ngeden, pelan-pelan, sedikit demi sedikit. Rasanya sedih kalau diingat,” kata Eliswatin kepada Jawa Pos Radar Genteng/Banyuwangi (grup Batam Pos) di RSUD Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (13/1) mengenang saat sang ibu, Mariatun Khibtiyah, harus menjadi bidan dadakan.
Kediaman Eliswatin dan keluarga di Dusun Sukamade, Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, termasuk daerah terpencil. Berada di tengah hutan jati dan perkebunan. Memang ada puskesmas pembantu dan bidan, tapi sarananya sangat terbatas. Jadilah sang ibu yang harus membantu persalinan istri Laksono tersebut.
Sebab, pada Sabtu (11/1) pekan lalu itu, hanya Mariatun yang ada di rumah saat Elis, sapaan akrabnya, mulai merasakan sakit sejak dini hari sekitar pukul 02.00.
Sekitar pukul 07.00, bayi Eliswatin lahir dengan selamat. Seorang bayi laki-laki dengan berat 4 kilogram dan panjang 55 sentimeter. Si buyung pun diberi nama Muhammad Chandra Pradita. Tapi, ada masalah. Karena ditangani dengan segala keterbatasan, plasenta alias ari-ari bayi tertinggal di dalam perut.
”Setelah bayinya lahir, bidan desa datang. Karena kondisinya seperti itu, saya harus dilarikan ke puskesmas,” ujar Elis yang bersama sang suami sudah dikaruniai putri berusia 11 tahun.
Elis yang menderita diabetes tergolong ibu hamil risiko tinggi seharusnya memang sudah berada di rumah sakit atau setidaknya berada di rumah siaga di Desa Sarongan sejak beberapa hari sebelum hari perkiraan lahir. Tapi, jalanan desa yang rusak jadi penghalang.
Apalagi, jaraknya juga tak dekat: 14 kilometer. Dan, harus melewati tengah hutan dengan jalur penuh bebatuan. Ditambah menyeberangi sungai pula.
Untuk mengeluarkan ari-ari yang tertinggal, oleh bidan, Elis disarankan dibawa ke puskesmas induk di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran. Tapi, persoalan lebih besar lagi muncul: bagaimana caranya ke Puskesmas Sumberagung yang berjarak sekitar 33 kilometer, berbatu, lewat hutan pula?
”Akhirnya diputuskan diangkut truk,” terangnya.
Warga lalu membuatkan tandu darurat yang diberi kasur, kemudian digotong ramai-ramai, dan dinaikkan ke truk.
”Bisa dibayangkan bagaimana rasanya naik truk di jalanan berbatu, padahal baru melahirkan,” katanya.
Setiba di tepian Sungai Sukamade yang berjarak sekitar 2 kilometer dari rumah Elis, truk harus berhenti. Sebab, tidak ada jembatan dan arus sedang agak besar.
Tak ada pilihan, harus menyeberang dengan getek. ”Saya dibopong warga menyeberangi sungai dengan naik getek,” ungkapnya.
Di seberang sungai sudah menunggu angkutan yang lebih baik: trooper. Dengan mobil tersebut, Eliswatin dibawa ke Puskesmas Sumberagung melalui jalan di tengah kebun yang masih penuh bebatuan selama dua jam.
”Atas bantuan petugas medis di Puskesmas Sumberagung, ari-ari bayi bisa dikeluarkan. Alhamdulillah,” katanya.
Tapi, perjuangan Elis belum selesai. Lantaran pendarahannya tidak kunjung reda, dia harus dirujuk ke RSUD Genteng yang berjarak total sekitar 66 kilometer dari kediamannya.
”Rasanya lemas. Saya pasrah karena harus dirujuk lagi,” paparnya.
Sampai di rumah sakit milik Pemkab Banyuwangi itu sekitar pukul 12.00, Elis langsung mendapat perawatan intensif. Dari observasi petugas medis, kadar hemoglobinnya hanya enam.
”Saya dan tole sama-sama lemah, tapi alhamdulillah malamnya sudah membaik,” tuturnya.
Dia mendapat tiga kali transfusi darah selama perawatan di RSUD Genteng itu. Beruntung, cadangan golongan darah O seperti miliknya melimpah. Karena kondisinya semakin membaik, Elis dan si buyung akhirnya diizinkan pulang kemarin.
Tapi, seberat apa pun perjuangan yang harus dijalani, Elis tak habis-habisnya bersyukur karena dikaruniai anak kedua. Bersama sang suami, dia telah lama menanti untuk memberi adik kepada Siti Noviah, anak sulungnya yang lahir 11 tahun silam.
Direktur RSUD Genteng dr Hj Siti Asiyah Anggraeni memastikan kondisi Elis dan sang anak telah membaik. Terkait ari-ari yang tertinggal di perut, Asiyah menyampaikan itu karena kontraksi rahim tidak cukup kuat untuk mengeluarkan plasenta.
”Kami jelaskan, saat ibu sampai di rumah sakit, kondisinya masih terjadi pendarahan. Ternyata karena ada sisa plasenta yang masih tertinggal,” katanya.
Elis berterima kasih atas perawatan tim medis RSUD Genteng. ”Apalagi hari ini (kemarin) juga dapat bingkisan dari Ibu Bupati (Ipuk Fiestiandani),” ucapnya.
Dia tentu harus melewati kembali jalanan berbatu, menyeberangi sungai, dan menyusuri hutan untuk bisa sampai ke rumahnya lagi. Tapi, kondisinya sudah lebih baik. Hatinya juga jauh lebih tenang.
”Mudah-mudahan akses ke kampung kami juga segera diperbaiki,” harapnya. (***)
Reporter: SALIS ALI MUHYIDIN
Editor : RYAN AGUNG