Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Pola ancaman dan teror siber yang terus dialami masyarakat sipil menjadi sorotan pegiat keamanan siber. Mereka mendesak pemerintah dan DPR serius melakukan pembahasan regulasi keamanan dan ketahanan siber yang masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2025 di DPR.
Ketua Cyberity Foundation Arif Kurniawan mengatakan, peristiwa teror di ruang siber berupa peretasan situs seperti yang dialami Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) merupakan bentuk kejahatan siber. Saat ini kejahatan tersebut bisa ditangani menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam Pasal 30 UU ITE, disebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun. Namun, sayangnya, pasal tersebut hanya terbatas pada ruang lingkup informasi.
Arif menjelaskan, ruang lingkup siber sejatinya tidak sebatas pada informasi elektronik. ”Ada banyak cakupan wilayah dalam masalah siber. Salah satunya menyangkut masalah keamanan siber dan ketahanan siber untuk seluruh lapisan masyarakat,” katanya, Sabtu (11/1).
Sementara itu, Ketua Umum YLBHI M. Isnur mencatat, sejak Oktober tahun lalu YLBHI telah mengalami tiga kali serangan siber. Peretasan terakhir terjadi pada 7 Januari lalu. Situs YLBHI tidak dapat diakses publik dan berubah menjadi situs judi daring.
Menurut Isnur, pola peretasan tersebut diduga kuat berkenaan dengan laporan, kritik, dan respons-respons YLBHI terhadap jalannya pemerintahan. Mulai kritik terkait situasi hukum dan HAM di 2024, kekerasan aparat kepolisian, kenaikan PPN 12 persen, hingga rilis terkait Jokowi pemimpin korup versi OCCRP.
Sebenarnya, kata Isnur, peretasan itu bisa ditangani kepolisian menggunakan UU ITE.
”Tapi, problemnya adalah penegakan hukum yang tidak serius. Polisi tidak pernah serius menyidik serangan-serangan digital ke aktivis,” paparnya. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : RYAN AGUNG