Buka konten ini
Ombudsman RI Perwakilan Kepri menyoroti penyimpangan dalam distribusi elpiji kemasan 3 kilogram (kg) bersubsidi di Kota Batam yang dinilai mengganggu stabilitas harga dan ketepatan sasaran subsidi.
Hal ini menjadi perhatian utama Ombudsman menyusul adanya laporan mengenai harga yang sering tidak sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Kepala Ombudsman Kepri, Lagat Parroha Patar Siadari, menegaskan bahwa salah satu masalah utama dalam distribusi elpiji 3 kg adalah harga yang sering melambung tinggi di masyarakat.
Meskipun HET yang ditetapkan Wali Kota Batam adalah Rp21 ribu per tabung, banyak pengecer yang menjual dengan harga lebih tinggi, mencapai Rp26 ribu hingga Rp28 ribu, dengan kenaikan harga berkisar antara Rp5 ribu hingga Rp7 ribu.
“Harga sering tidak stabil. Dari HET Rp21 ribu, mark-up harga di lapangan bisa mencapai Rp26 ribu hingga Rp28 ribu. Kenaikannya berkisar Rp5 ribu hingga Rp7 ribu, bahkan lebih,” kata Lagat, Rabu (5/2).
Selain itu, Ombudsman Kepri juga mengungkapkan adanya monopoli distribusi oleh agen-agen tertentu yang bekerja sama dengan Pertamina daerah, yang dianggap menyebabkan ketidakseimbangan pasokan dan harga yang tidak terkendali.
Lagat menyarankan agar penataan distribusi dilakukan dengan memperbaiki pola distribusi dan meningkatkan pengawasan terhadap agen dan pangkalan.
Salah satu rekomendasi yang diberikan Ombudsman adalah agar Pertamina dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) melakukan razia terhadap pengecer liar yang menjual elpiji 3 kilogram tanpa izin dan dengan harga jauh di atas HET. Sekaligus, menata jika ada pengecer untuk dijadikan subpangkalan asal mau mengikuti ketentuan dari pemerintah. Langkah ini diharapkan dapat mencegah terjadinya penyelewengan dan memastikan subsidi gas tepat sasaran.
“Pertamina dan Disperindag perlu mengoptimalkan pengawasan terhadap agen dan pangkalan, serta melakukan tindakan tegas terhadap pengecer liar. Ini sangat penting untuk memastikan bahwa gas subsidi sampai ke masyarakat dengan harga yang wajar,” ujarnya.
Ke depan, Ombudsman mendukung rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melakukan penataan ulang dalam distribusi gas 3 kilogram. Salah satu rencana besar yang akan diterapkan adalah peningkatan status pengecer menjadi subpangkalan, yang akan mendistribusikan gas langsung ke masyarakat. Selain itu, pembelian gas oleh masyarakat akan dilakukan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tercatat dalam aplikasi Merchant Apps Pangkalan (MAP).
Diharapkan, dengan adanya penataan ulang ini, distribusi gas melon akan menjadi lebih terkontrol dan subsidi gas dapat tepat sasaran, mengurangi penyalahgunaan yang selama ini terjadi. ”Penataan distribusi yang lebih baik bisa mene-kan dampak inflasi dan memastikan subsidi gas sampai ke masyarakat yang membutuhkan,” tambah Lagat.
Terpisah, Pertamina Patra Niaga Area Kepulauan Riau memastikan bahwa distribusi elpiji 3 kilogram di Batam dalam kondisi baik tanpa ada kelangkaan maupun antrean yang mengkhawatirkan. Hal ini disampaikan oleh Sales Branch Manager Pertamina Patra Niaga Area Kepri, Gilang Hisyam, setelah melakukan pengecekan stok secara rutin di beberapa titik distribusi.
“Alhamdulillah, secara umum kondisi Batam cukup kondusif. Tidak ada kelangkaan elpiji 3 kilogram, dan tidak ada antrean,” kata Gilang dalam wawancara, Rabu (5/2).
Pengecekan stok dilakukan dengan mengunjungi beberapa pangkalan di berbagai lokasi di Batam. Dalam beberapa hari terakhir, pengecekan sudah dilakukan di tiga titik, delapan titik, hingga sepuluh titik di Batam.
Gilang memastikan bahwa stok elpiji yang ada di pangkalan-pangkalan sudah terjaga dengan baik, bukan barang yang baru tiba, melainkan barang yang sudah dikirim beberapa hari sebelumnya oleh agen resmi. Harga jual elpiji 3 kilogram di Batam pun sesuai dengan ketentuan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Batam, yakni Rp21 ribu per tabung di pangkalan resmi Pertamina.
Terkait pembahasan kebijakan pemangkasan pangkalan atau “cut pangkalan,” Gilang menyebut bahwa mekanisme tersebut belum diterapkan di Batam. Di wilayah Kepri, khususnya Batam, mekanisme pengecer belum diterapkan karena jumlah pangkalan yang sudah cukup banyak. “Kami sejatinya tidak mengenal mekanisme pengecer karena jumlah pangkalan sudah cukup banyak,” ujarnya.
Saat ini, terdapat sekitar 2.300 pangkalan elpiji di Batam, yang memastikan setiap RT minimal memiliki satu pangkalan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Gilang menambahkan bahwa rasio antara jumlah pangkalan dengan kepadatan penduduk di Batam cukup ideal.
Meski demikian, Pertamina membuka peluang bagi pendaftaran pangkalan tambahan atau sub-pangkalan melalui fitur Merchant Apps Pangkalan (MAP), yang masih dapat dibantu oleh pangkalan resmi dalam proses pendaftarannya. “Sejauh ini, sub-pangkalan memang belum ada di Batam,” kata Gilang. (***)
Reporter : ARJUNA
Editor : RATNA IRTATIK