Buka konten ini
Rombongan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kepulauan Riau (Kepri) mengunjungi lokasi penangkaran buaya milik PT PJK di Pulau Bulan, Kecamatan Bulang, Jumat (31/1). Kunjungan ini dilakukan setelah insiden jebolnya kandang penangkaran yang menyebabkan puluhan ekor buaya kabur, beberapa waktu lalu.
Dalam kunjungan tersebut, anggota dewan tidak hanya menyoroti masalah teknis terkait jebolnya kandang, tetapi juga mempertanyakan urgensi dan manfaat keberadaan penangkaran buaya ini. Mereka ingin memastikan bahwa usaha penangkaran tidak hanya menguntungkan perusahaan, tetapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat dan negara.
Muhammad Musofa, salah satu anggota DPRD Kepri, khususnya mempertanyakan kontribusi penangkaran buaya ini terhadap negara. Ia membandingkan dengan penangkaran babi yang jelas memberikan pemasukan pajak bagi negara.
”Kalau penangkaran babi itu jelas ada sumbangsih pajaknya untuk negara, nah, buaya ini seperti apa? Tujuannya apa? Meng-hasilkan bagi rakyat atau tidak? Jangan hanya menyusahkan rak-yat saat (buaya) lepas seperti ini,” ujar Musofa.
Menanggapi pertanyaan tersebut, perwakilan PT PJK, Toni, menjelaskan bahwa penangkaran buaya ini memiliki perizinan dari pihak Karantina. Ia menjelaskan bahwa tujuan penangkaran ini untuk mengakomodasi limbah dari peternakan babi PT ITS. Selain itu, kulit buaya yang ditangkar juga diekspor ke luar negeri sebagai produk bernilai ekonomi dan ada pajak yang dibayarkan ke negara.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Kepri, Tommy Steven Sinambela, menegaskan bahwa peran BBKSDA dalam penangkaran ini terbatas pada pengawasan kesehatan dan keberlangsungan hidup buaya yang ditangkar.
Urusan pemanfaatan buaya bukan kewenangan BBKSDA.
Tommy menjelaskan bahwa buaya penangkaran berbeda dengan buaya liar. Buaya penangkaran sudah terbiasa diberi makan, sehingga kesulitan bertahan di alam liar, seperti yang terlihat pada temuan 3 ekor buaya yang mati setelah lepas dari penangkaran.
Namun, meski buaya penangkaran lebih lemah dibandingkan buaya liar, masyarakat tetap diminta waspada. ”Bagaimanapun, ini tetap reptil buas, jadi harus tetap hati-hati. Makanya kita upayakan perburuan besar-besaran,” ujar Tommy.
Hingga kemarin, tim gabu-ngan telah berhasil menangkap 38 ekor buaya, tiga di antaranya dalam kondisi mati.
Tommy menambahkan bahwa setiap buaya penangkaran memiliki tanda khusus berupa potongan pada sirip ekor, sesuai dengan aturan yang mewajibkan penandaan untuk membedakan buaya penangkaran dengan buaya liar.
Ketua DPRD Kepri, Iman Sutiawan, memberikan tanggapan tegas terkait insiden kaburnya buaya ini. Ia menilai kejadian tersebut menunjukkan kelalaian perusahaan dalam menjaga keamanan kandang penangkaran. ”Kami meminta pertanggungjawaban perusahaan agar kejadian serupa tidak terulang,” ujarnya.
Berdasarkan data sementara, dari 105 buaya di penangkaran, 39 ekor di antaranya kabur, dan 66 tetap berada di penangkaran. Dari jumlah yang kabur, 38 ekor telah ditangkap, tiga di antaranya ditemukan mati, dan satu ekor masih belum ditemukan.
Sementara itu, pihak perusahaan mengklaim hanya tersisa satu ekor yang belum ditemukan. Iman Sutiawan meragukan klaim tersebut dan meminta perusahaan untuk menghitung ulang jumlah buaya yang ada dan memastikan identifikasi yang jelas.
Iman juga mengangkat dampak kejadian ini terhadap masyarakat, khususnya para nelayan yang kini merasa takut melaut. ”Kami meminta perusahaan memberikan kompensasi kepada masyarakat yang terdampak, meskipun hingga saat ini perusahaan masih mempertimbangkan hal tersebut,” jelasnya.
Terkait keberlanjutan penangkaran buaya ini, Iman mengusulkan agar operasional PT PJK di Pulau Bulan dihentikan. ”Penangkaran ini sudah berjalan 36 tahun, tapi tidak ada kontribusi nyata bagi negara. Tempat ini tidak lagi layak,” katanya.
DPRD Kepri memberikan waktu satu pekan kepada PT PJK untuk memberikan jawaban resmi atas berbagai tuntutan yang disampaikan.
Senada dengan Iman, anggota DPR RI Dapil Kepri, Endipat Wijaya, juga menekankan pentingnya evaluasi terhadap operasional penangkaran buaya. ”Ke depan, SOP (Standar Operasional Prosedur) harus dijalankan dengan jauh lebih baik agar kejadian seperti ini tidak terulang,” ujar Endipat.
DPRD Kepri dan DPR RI akan terus mengawal perkembangan kasus ini untuk memastikan keselamatan masyarakat serta keberlanjutan ekosistem di wilayah tersebut. (***)
Reporter : Eusebius Sara
Editor : RATNA IRTATIK