Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Program tiga juta rumah membutuhkan pembiayaan yang besar. Kondisi likuiditas perbankan ke depan juga akan dipengaruhi oleh dukungan kebijakan pemerintah dan otoritas terkait.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) menunjukkan kondisi likuiditas perbankan masih ample. Tecermin dari rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) yang tinggi sebesar 25,59 persen per Desember 2024. Rasio alat likuid/non-core deposit (AL/NCD) dan liquidity coverage ratio (LCR) masing-masing di level 112,94 dan 213,07 persen.
”Likuiditas perbankan ke depannya diproyeksikan masih manageable, mengingat saat ini rasio likuiditas secara industri yang masih cukup tinggi dan jauh di atas threshold,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae lewat jawaban tertulis, Rabu (29/1).
Dalam sektor pasar modal, industri perbankan berperan dalam menerbitkan produk pengelolaan investasi yang terkait pembiayaan perumahan bernama efek beragun aset berbentuk surat partisipasi (EBA-SP). Yaitu, surat berharga yang terdiri dari sekumpulan kredit pemilikan rumah (KPR) yang diterbitkan melalui proses sekuritisasi sehingga, menjadi instrumen investasi pendapatan tetap yang dapat ditransaksikan di pasar sekunder.
”EBA-SP ini merupakan instrumen yang dapat melengkapi sumber pendanaan dan menjaga stabilitas likuiditas bank,” jelas Dian. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) per 15 Januari 2025, terdapat 9 EBA-SP yang diperdagangkan dengan total nilai sebesar Rp2,21 triliun.
Dalam mendukung program 3 juta rumah, OJK telah memiliki kebijakan terkait perhitungan pembobotan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) kredit. Sejalan dengan tingkat loan to value (LTV) atas pemberian kredit. Kemudian, penetapan kualitas kredit yang dapat hanya didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga (1 pilar) untuk kredit jumlah tertentu. Serta, dapat memiliki kualitas kredit yang berbeda untuk debitur yang memiliki sumber pembayaran dan proyek yang berbeda.
Deputi Gubernur BI Juda Agung menyatakan, melihat rasio alat likuid perbankan cukup tinggi meski, terjadi penurunan dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Hal itu wajar seiring pertumbuhan kredit yang mencapai 10,39 persen year-on-year (yoy).
”Kami melihat dengan pertumbuhan kredit juga masih tinggi ke depan, tentu saja memang perlu tambahan-tambahan likuiditas. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan Bank Indonesia untuk memberikan likuiditas yang meradai bagi perbankan tetap terus dilakukan. Termasuk kebijakan insentif likuiditas (makroprudensial/KLM) apabila bank menyalurkan kredit di sektor-sektor prioritas,” bebernya.
Hingga pekan kedua Januari 2025, BI telah menyalurkan insentif KLM sebesar Rp 295 triliun. Angka itu meningkat Rp36 triliun dari Rp259 triliun pada akhir Oktober 2024. Hasil asesmen bank sentral menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit di 2024 jika tanpa insentif likuiditas diper-kirakan hanya 9,6 persen yoy. ”Jadi efektif KLM di dalam mendorong kredit,” klaim Juda. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : GALIH ADI SAPUTRO