Buka konten ini
SIDOARJO (BP) – Belum reda heboh pagar laut di Tangerang, kasus serupa muncul di perairan Surabaya-Sidoarjo, Jawa Timur. Bedanya, di perairan tersebut tidak ada pagar laut. Tapi, sudah ada pihak swasta yang memiliki sertifikat hak guna bangunan (HGB).
Kasus itu awalnya diungkap pemilik akun X bernama @thanthowy. ”Aku nemu sesuatu di PSN Waterfront Surabaya. Ada area HGB kurang lebih 656 ha di timur Ekowisata Mangrove Gunung Anyar,” tulis pemilik akun yang merupakan Dosen Manajemen Universitas Airlangga, Minggu (19/1), dilansir dari jawapos.com (grup Batam Pos). Pemilik nama lengkap Thanthowy Syamsudin itu menyebut, ada tiga lokasi yang memiliki HGB.
Yakni, titik koordinat 7.342163°S, 112.844088°E seluas kurang lebih 219,32 ha; titik 7.355131°S, 112.840010°E seluas kurang lebih 285,17 ha, dan titik 7.354179°S, 112.841929°E seluas kurang lebih 152,37 ha. Temuan itu dia dapat dari situs resmi BPN, yakni bhumi.atrbpn.go.id.
Kabar tersebut sampai juga kepada Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi. Dia menegaskan, secara teritorial, perairan yang terdapat HGB tersebut bukan wilayah Surabaya. ”Jadi, pulau itu separo ikut Surabaya, separo ikut Sidoarjo. Saya (sudah) koordinasi dengan BPN. Ada informasi, ternyata itu bukan di Surabaya, tetapi di Sidoarjo, bisa klarifikasi di sana,” tuturnya, Selasa (21/1).
Dia menegaskan, tidak mungkin ada HGB di atas perairan Surabaya. Sebab, hal itu melanggar putusan MK 85/PUU-XI/2013 dan UUD 1945. Apalagi Pemkot Surabaya berkomitmen menjaga ruang terbuka hijau. ”Kami ini ingin mempertahankan mangrove menjadi tempat untuk menahan aliran air laut ke Kota Surabaya. Sehingga selalu saya katakan, kita akan mempertahankan ruang terbuka hijau,” tegas Eri.
Jawa Pos kemarin mewawancarai Camat Sedati, Sidoarjo, Abu Dardak. Dia membenarkan ada area laut di wilayah Desa Segoro Tambak, Sedati, yang memiliki HGB atas nama perusahaan swasta. HGB itu, menurut dia, atas nama PT SI milik H. ”Sekarang yang meneruskan orang lainnya,” katanya, Selasa (21/1).
Sekdes Segoro Tambak Edi Setiyawan juga membenarkan ada area laut yang memiliki HGB di wilayah Segoro Tambak. ”Benar, itu sudah lama,” ungkapnya saat dihubungi Jawa Pos. Mengenai luasnya, Edi belum bisa mengatakannya. Dia mengaku akan meninjau kembali area laut atau timur bibir pantai dari Desa Segoro Tambak. ”Masih mau tinjau lagi, maaf,” kelitnya.
Plt Bupati Sidoarjo Subandi mengatakan tidak mengetahui detail awal mula HGB di perairan Sedati tersebut. Namun, sepengetahuanya, HGB itu sudah lama. Meski demikian, dia berkomitmen ke depan tidak mengizinkan lagi. ”Misalnya mengurus perpanjangan, kan tetap ada ke daerah. Terkait pajaknya dan lainnya. Nah, laut di HGB kan tidak boleh,” tegasnya.
Menurut Subandi, HGB itu sebenarnya sudah berakhir sejak empat tahun lalu. Pemkab Sidoarjo akan berkoordinasi dengan BPN untuk tidak memperpanjang. ”Pemiliknya belum mengurus perpanjangan. Jika izin ke kita, kita tidak mau,” tegasnya.
Di tempat terpisah, Pj Gubernur Jatim Adhy Karyono turut bicara soal adanya HGB seluas 656 hektare di kawasan pesisir Sidoarjo. Pemprov Jatim akan berkoordinasi dengan BPN soal hal tersebut. ”Kita menunggu Kanwil BPN. Termasuk langkahnya,” kata Adhy. Jika kasus di Sidoarjo sama dengan Tangerang, Adhy menjelaskan bahwa pihaknya akan ikut kebijakan pemerintah pusat. ”Yang pasti, kami mengikuti kebijakan pusat,” tambah Adhy.
Menurut Adhy, HGB seluas 656 hektare itu bukan di bawah naungan pemprov. Menurut Adhy, pemprov hanya berwenang terkait tata ruang laut. Misalnya, zona industri, zona biota laut, kabel listrik, dan sebagainya. Dia juga menegaskan bahwa HGB seluas 656 hektare tersebut bukan bagian dari proyek strategis nasional (PSN). ”Ini bukan PSN, tidak ada PSN,” tegasnya.
Berlaku hingga 2026
Kepala BPN Jawa Timur Lampri memastikan wilayah tersebut masuk area Sidoarjo, bukan Surabaya. Namun, pendalaman masih dilakukan lebih lanjut. Investigasi dimulai, Selasa (21/1). ”BPN Jatim dan BPN Sidoarjo mulai turun ke lapangan,” katanya. Investigasi lapangan dilakukan untuk memastikan kondisi fisik. Dari pantauan pertama kemarin, tidak ditemukan adanya pagar laut atau penanda khusus lainnya. Tanda-tanda reklamasi juga tidak ditemukan.
”Tapi, investigasi masih dilanjutkan karena kami juga mencari tahu, apakah dulu sebenarnya ada tanahnya? Jadi abrasi,” imbuh Lampri. Pihaknya juga akan mendalami apakah lahan tersebut sebelumnya digunakan pemegang sertifikat hak guna bangunan (HGB). Investasi data dan administrasi juga bakal dilakukan. Saat ini pihaknya masih menelusuri berkas-berkas yang dilampirkan hingga HGB tersebut keluar. Lampri menjelaskan, penelusuran awal menunjukkan adanya tiga sertifikat HGB yang tercantum di sana. ”Yaitu, HGB nomor 3, 4, dan 5. Semuanya diterbitkan pada 1996 dan berlaku hingga 2026,” ucapnya. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : GALIH ADI SAPUTRO