Buka konten ini
JALUR GAZA (BP) – Aksi genosida Israel di Jalur Gaza selama 15 bulan meluluhlantakkan berbagai fasilitas kesehatan. Puluhan rumah sakit di Gaza rusak berat hingga kesulitan menangani warga Gaza yang terluka akibat serangan Israel. Kini, setelah gencatan senjata terealisasi, dokter pun mengisahkan pengalaman mereka selama terjadinya perang.
Dilansir Al Jazeera, dr Jamal Salaha berbicara tentang kelegaan yang dirasakannya saat orang-orang yang tewas dan terluka akhirnya berhenti berdatangan ke rumah sakitnya.
”Ini adalah kali pertama bagian penerima tamu rumah sakit atau unit gawat darurat kosong,” kata Salaha, Senin (20/1). Dia adalah dokter umum di Rumah Sakit Syu-hada Al Aqsa di Deir el-Balah, Gaza Tengah.
Gencatan senjata yang dimulai Minggu (19/1) telah menghentikan 471 hari serangan gencar Israel. Jumlah korban tewas mencapai lebih dari 47 ribu warga Palestina dan melukai lebih dari 111 ribu orang.
Salaha berkisah, dirinya baru saja mulai bekerja di Rumah Sakit Al Shifa Kota Gaza ketika perang meletus pada Oktober 2023. Dia bekerja di departemen bedah saraf selama 33 hari sebelum terpaksa pindah ke Rumah Sakit Al Aqsa karena serangan Israel.
Selama perang Israel di Gaza, Salaha mengatakan bahwa dirinya hanya memiliki tiga hari libur kerja dan merawat orang-orang dalam kondisi yang mengerikan. ”Setiap hari kami menerima pasien yang terluka, sebagian besar dalam kondisi kritis,” katanya.
Dia mengaku banyak melakukan tindakan operasi. Namun, dengan fasilitas yang sangat terbatas. ”Kami (sering) melakukan operasi tanpa sarung tangan, tanpa obat yang cukup, dan tanpa ventilator,” ujarnya.
Ketika gencatan senjata diumumkan, Salaha awalnya tak percaya. Namun, setelah semua itu benar terjadi, Salaha mengaku bahwa dirinya akhirnya bisa tidur nyenyak lagi.
Namun, dia tetap berhati-hati tentang masa depan. Mengingat skala kehancuran di Jalur Gaza, runtuhnya sistem kesehatannya, dan kemungkinan kekerasan kembali terjadi. ”Kami membutuhkan banyak obat-obatan dan perlengkapan medis untuk menangani semua kasus (yang tersisa),” ujarnya.
Mohammad Nemnem, seorang pekerja medis di Rumah Sakit Kamal Adwan, menggambarkan skala kerusakan setelah pasukan Israel membakar dan menghancurkan seluruh fasilitas perawatan. ”Tidak ada departemen di rumah sakit ini yang dapat menawarkan layanan medis apa pun,” katanya kepada Al Jazeera.
Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan pada Senin bahwa hanya setengah dari 36 rumah sakit di Gaza yang masih beroperasi sebagian. Hampir semua rumah sakit rusak dan hanya 38 persen pusat perawatan kesehatan primer yang berfungsi.
”Rumah sakit itu membutuhkan upaya besar dan banyak waktu untuk menjadi rumah sakit lagi yang dapat menyediakan layanan medis bagi masyarakat,” kata Nemnem. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : RYAN AGUNG